Boleh dibilang ormas-ormas yang menyatakan dirinya bagian
dari Islam yang nasibnya tidak kunjung selesai dan selalu mengalami kontroversi
adalah Ahmadiyah. Bahkan hingga saat ini nasib Ahmadiyah bagaikan buah
simalakama; dilematis.
Ahmadiyah menjadi organisasi yang paling kontroversial
jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lainnya, khususnya di Indonesia.
Di satu sisi, ajarannya sebagai bagian dari agama Islam dilindungi oleh
pemerintah dan dihormati oleh organisasi-organisasi agama lainnya, di pihak
lain ajarannya dilarang diajarkan dan berkembang di bumi pertiwi ini. Lalu
sebenarnya bagaimanakah ajaran Ahmadiyah itu? Sementara di kalangan Ahmadiyah
sendiri terpecah menjadi dua kubu, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.
Untuk menjawab hal itu secara obyektif, maka perlu dilihat bagaimana tentang ajaran-ajaran
Ahmadiyah dari sumber-sumber pengikut-pengikut Ahmadiyah sendiri. Kemudian dari
paparan-paparan tersebut dikritisi untuk menjernihkan perkaranya.
Ahmadiyyah (Urdu:احمديّة Ahmadiyyah) atau sering pula
disebut Ahmadiyah, adalah jamaah muslim yang didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad
(1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab,
India. Ia mengaku sebagai Mujaddid,
Al-Masih dan Al-Mahdi. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Qodian Internasional.
Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak
1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Pada tanggal 13 Februari
1835, di kota Amritsar, ada kuil emas kaum Sikh yang pada pertengahan tahun
1984 menjadi pusat perhatian dunia. Di sanalah sosok bayi mungil Mirza Ghulam
Ahmad dilahirkan. Kebetulan, pada saat kelahirannya, Andrew Jackson sedang menjadi
Presiden Amerika Serikat. Joseph Smith dua tahun sebelum kelahirannya telah
mendirikan gereja Latter-Day Saints. Lous Philipe saat itu merupakan
pemerintahan monarki dari Prancis. Dua tahun setelah kelahiran Ahmad, Victoria
menjadi Ratu Inggris dalam usia 18 tahun. Dan Chopin sedang mencapai masa kejayaan
dalam karirnya.
Mirza Ghulam Ahmad adalah
putera Mirza Ghulam Murtadha. Leluhurnya telah bermigrasi di tahun 1530 dari
Samarkand ke India, sewaktu pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di
distrik Gurdaspur, Punjab, India. Di sini mereka mendirikan kota yang sekarang
disebut Qadian, yang aslinya bernama 'Islam Pur Qadi'. Nama ini diperpendek
sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan akhirnya menjadi Qadian. Keluarganya
termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas.
Keluarga Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu
Ghulam Ahmad dan keluarganya disebut Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam
Ahmad dikenal orang dengan nama Mirza Ghulam Ahmad.
Mirza Gul Muhammad, nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang keturunan
raja Mughol yang memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Ia juga memiliki
lahan yang sangat luas di daerah Punjab.
Mirza Ghulam Ahmad
mendapatkan pendidikan dasar di desanya sendiri, kemudian di kota Btala
kira-kira 10 mil dari Qadian. Mirza Ghulam Ahmad menempuh pendidikan kelas
menengah didaerahnya juga. Ia belajar gramatika bahasa Arab, ilmu mantiq, dan
filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl Ilahi, Maulavi Fazl Ahmad, dan Maulavi
Gul Ali Shah. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran dari ayahnya yang menjadi
seorang dokter yang berpenglaman. Selama menempuh masa studinya, Mirza Ghulam
Ahmad adalah seorang murid yang rajin dan gemar membaca buku.
Pada masa remaja, Mirza
Ghulam Ahmad atas perintah ayahnya, telah disibukkan dengan urusan tanah
pertanian, suatu hal yang tidak disukainya. Untuk memenuhi kehendak ayahnya
pula, Mirza Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot, dan bertempat
tinggal di sana dari tahun 1864 sampai 1868. Selama bertempat tinggal di
Sialkot Mirza Ghulam Ahmad banyak terlibat dalam perdebatan dengan para
misionaris Kristen. Setelah itu Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan pekerjaannya
dan kembali ke Qadian serta mulai mengawasi lahan tanah pertanian miliknya. Di
samping pekerjaannya sehari-hari, pada periode ini ia mengisi waktunya untuk
merenungkan Al-Qur'an serta mempelajari tafsir dan hadits.
Mirza Ghulam Ahmad menekankan
peningkatan nilai-nilai akhlak dan keruhanian serta mematuhinya secara ketat
dalam segenap lingkup kehidupan. Hasilnya ialah beliau telah berhasil
mengukuhkan suatu komunitas beranggotakan banyak orang yang hidup berdasar petunjuk
dan teladan beliau, mengikuti ajaran Islam selaras dengan fitrah dan
kemampuannya masing-masing. Pola dan tradisi yang beliau terapkan telah menjadi
jaringan alamiah dalam diri para anggota komunitas tersebut, sehingga bisa
dikatakan kalau jemaat yang beliau dirikan adalah salah satu oraganisasi yang
mencerminkan tujuan hakiki kehidupan manusia dan cara-cara pencapaiannya.
Tahun 1878 Mirza Ghulam Ahmad
membuat tulisan-tulisan sanggahan cemerlang di surat kabar-surat kabar atas
serangan-serangan pemikiran yang dilakukan oleh Swami Daynanda Sarasvat,
anggota kelompok hindu Bombay dengan nama Arya Samaj yang didirikan oleh Ram
Mohan Roy di Calcutta pada tahun 1828.
Pada tahun 1880, Mirza Ghulam
Ahmad menulis bukunya yagn pertama dengan judul Burahini Ahmadiyah."
Buku ini menjelaskan dengan cemerlang berdasarkan argumen yang kuat terhadap
serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, Kristen, maupun kepercayan lain yang
menyerang Islam.
Bai'at dalam Jemaat Ahmadiyah
Setelah pengaruhnya sudah
sedemikian besar, kemudian pada tahun 1885 Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan
diri menjadi seorang Mujaddid (versi Lahore), Nabi (versi Qadian). Kemudian
pada tanggal 1 Desember 1888, mengaku telah menerima ilham Ilahi untuk mengambil bai'at
dari orang-orang. Kemudian, beliau mempersilahkan kepada siapa saja yang
ingin atau berminat untuk berbai'at kepada Mirza Ghulam Ahmad dalam perjuangan
Islam. Pada tanggal 12 Januari 1889 mengumumkan 10 syarat untuk bai'at dan
kemudian ada sejumlah orang yang berbai'at kepadanya.
Bai'at yang pertama kali diselenggarakan adalah di kota
Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889 di rumah seorang mukhlis bernama Mia Ahmad Jaan.
Dan orang yang bai'at pertama kali adalah Hz. Maulvi Nuruddin
ra (yang nantinya menjadi Khalifah pertama Jemaat Ahmadiyah). Pada hari itu
kurang lebih 40 orang telah bai'at
Sepuluh Syarat Bai'at
Adapun
isi dari 10 bai'at Mirza Ghulam Ahmad itu adalah sebagai berikut:
1.
Orang yang bai'at, berjanji
dengan hati jujur bahwa di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur,
senantiasa akan menjauhi syirik.
2.
Akan senantiasa menghindarkan
diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim,
perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, huru-hara, pemberontakan; serta
tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya meskipun bagaimana
juga dorongan terhadapnya.
3.
Akan senantiasa mendirikan
shalat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti perintah
Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan sekuat tenaga akan senatiasa mengerjakan shalat
tahajjud, dan mengirimkan shalawat kepada Yang Mulia Rasulullah saw, dan
memohon ampun dari kesalahan dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat
setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus,
serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
4.
Tidak akan kesusahan apapun
yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin
khususnya karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan
atau dengan cara apapaun juga.
5.
Akan tetap setia terhadap
Allah Ta'ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau
suka, nikmat dan musibah; pandeknya, akan rela atas putusan Allah. Dan senatiasa
akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah.
Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta'ala ketika ditimpa suatu musibah,
bahkan akan terus melangkah ke muka.
6.
Akan berhenti dari adat yang
buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar akan menjunjung tinggi
perintah al-Quran Suci atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan
menjadi pedoman baginya dalam setiap langkahnya.
7.
Meninggalkan takabur dan
sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi
pekerti halus, dan sopan santun.
8.
Akan menghargai agama,
kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hartanya,
anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
9.
Akan selamanya menaruh belas
kasihan terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan
faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan ni'mat yang dianugerahkan Allah
Ta'ala kepadanya.
10. Akan
mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan al-Masih
Mau'ud", semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal ma'ruf
dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi
ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan
persahabatan, ataupun ikatan kerja.
Dan selanjutnya, pada tahun
1891 baru Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai al-Masih yang
dijanjikan. Selain itu Mirza Ghulam Ahmad juga menyatakan bahwa dirinya adalah
juga Imam Mahdi al-Muntazhar yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan
perjuangan Islam.
Nama Ahmadiyah diklaim oleh
pengikutnya sebagai indikasi kebangkitan kembali agama Islam, Al-Qur'an dan
satu dakwah yang terlahir berdasr bimbingan Ilahi kepada sang pendiri Jemaat
Ahmadiyah. Sebutan Ahamdi atau Ahmadiyah hanyalah sebagai pembeda bagi Muslim
Ahmadi dari umat Muslim lainnya yang masih saja sedang menunggu kedatangan
Al-Masih dan Imam Mahdi yang Dijanjikan. Muslim Ahmadi meyakini bahwa pendiri
Jema'at mereka adalah Al-Masih yang Dijanjikan tersebut.
Sekarang ini, penganut dari hamper
semua agama besar di dunia masih sedang menunggu kedatangan "Al-Mahdi".
Apakah pesan dan fungsi dari masing-masing pembaharu itu akan sama dan identik?
Ataukan masing-masing dari mereka membawa pesan sendiri-sendiri yang berbeda
dan bertentangan satu sama lainnya dengan pesan dari para guru akbar tersebut
pada saat kedatangan yang kedua kalinya itu? Jika pesan mereka adalah identik
satu sama lain, maka akan diperlukan lebih dari satu wujud guna menyampaikan
pesan dan memberi teladan yang selaras dengan yang dimaksud. Kalau sampai
pesan-pesan itu saling bertentangan, maka kedatangan sekian banyak pembaharu, alih-alih menciptkan
kedamaian, pemenuhan ruhani dan kesatuan, malah hanya akan membuncahkan
permusuhan, perselisihan dan chaos.
Al-Qur'an seperti juga
kitab-kitab suci agama lainnya mengandung nubuatan-nubuatan akbar mengenai
kemunculan seorang guru universal dan pembaharu di akhir zaman, yang akan
menghidupkan kembali dan memperbaharui keimanan kepada Tuhan serta membawa
persatuan, kedamaian dan kepuasan ruhani. Umat Muslim seperti juga umat
Kristiani, sama sedang menunggu kembalinya Al-Masih dan juga turunnya Imam
Mahdi. Umat Buddha juga sedang mengharapkan kedatangan kembali Buddha,
sedangkan umat Hindu menunggu kembalinya Krishna. Semua nubuatan itu terpenuhkan
dalam kedatangan satu orang. Karena Tuhan itu Maha Esa, maka kebenaran tidak
bisa terbagi dan petunjuk bagi umat manusia serta penawar dari segala penyakit
zaman, tentunya juga harus berbentuk satu, komprehensif dan konsisten.
Mirza Ghulam Ahmad mulai
mengakui menerima wahyu Ilahi sejak usia muda. Dakwahnya menyatakan diri
sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud dilakukan di akhir tahun 1890 dan
dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad langsung
mendapat tantangan luas. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih
bagi umat Kristiani, sebagai Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Khrisna sebagai
bagi umat Hindu, dan sebagainya. Jelasnya, Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang
Dijanjikan bagi masing-masing bangsa dan ditugaskan untuk menyatukan umat
manusia di bawah bendera satu agama. Muhammad saw, Nabi Suci umat Islam adalah
seorang Nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal dan sosok Mirza Ghulam
Ahmad yang menyatakan diri sebagai Al-Masih yang Dijanjikan, juga menyatakan
dirinya tunduk danmenjadi refleksi dari Muhammad, Sang Khatam al-Nabiyyin.
Menjelaskan tentang tujuan
diutusnya wujud Masih Mau'ud, beliau menjelaskan:
"Tugas
yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan
di antara hamba dan Khaliknya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan
pengabdian kepda Allah dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri
semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta
memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama
ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian
yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi dan melalui
kehidupanku sendiri, manifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki
manusia, namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya
adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah
sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kotoran pemikiran
polytheistik."
Menuyusul wafatnya pada thaun
1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti beliau sebagai Khalifah. Sistem
khilafah merupakah rahmat Ilahi yang turun setelah seorang Nabi dan meneguhkan
solidaritas, kohesi, dan persatuan di antara para mukminin. Sosok khalifah
merupakan pimpinan keruhanian dan adminstratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah.
Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat tahun 2002
adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad (1928-2003) yang berkedudukan di London dan
terpilih sebagai Khalifah keempat pada tahun 1982. Pada tahun 2003 terpilih
Khalifah V, yaitu Mirza Maroor Ahmad Atba.
Dengan bimbingan Khalifah,
Jemaat ini selalu berusaha berada di barisan terdepan dalam khidmat (pelayanan)
dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sudah sekolah-sekolah, klinik dan rumah
sakit yang didirikan di berbagai negeri. Dalam rumah-rumah sakit tersebut,
mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Pada saat-saat bencana alam
di seluruh dunia, Jemaat ini selalu membantu secara sukarela untuk menolong
mereka yang terkena, baik secara finansial atau pun fisikal, tanpa membedakan
agama, warna kulit, ataupun bangsa. Jemaat ini juga telah memiliki jaringan
televisi global yang bernama MTA International yang mengudara duapuluh empat
jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut
biaya.
Dunia ini yang telah demikian
banyak menyaksikan tragedi seabad terakhir dan yang sekarang juga masih belum
lepas dari kungkungannya, sesungguhnya sedang berada di tepi jurang malapetaka yang
pasti tiba sebagai ganjaran dari keserakahan, sikap mementingkan diri sendiri,
prasangka dan terutama sekali karena ketiadaaan keadilan yang absolut dan
hakiki. Hazrat Ghulam Ahmad telah memberikan petunjuk bagi manusia akhri zaman
ini tentang bagaimana berperilaku di tengah komuntas dunia guna mencapai
kedamaian dan keharmonisan. Ia berujar:
"Nasihatku kepda
kalian adalah agar kalian ini menjadi teladan dalam semua kebaikan. Jangan
sampai kalian malas dalam melaksanakan kewajiban kalian kepada Tuhan dan jangan
juga mengabaikan kewajiban kalian kepada sesama manusia."
Dari tempat terpencil di
Qadian, sekarang Jemaat ini telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia
dan populasinya sudah demikian banyak di mana sebanyak 80 juta manusia telah
bai'at dalam Jemaat pada tahun 2002.
Jemaat Islam Ahmadiyah
meyakini dirinya sebagai perwujudan dari Islam hakiki. Fungsinya adalah untuk
mempersatukan menusia dengan sang Khalik dan menciptakan kedamaian, baik di
tingkat individual maupun kolektif.
Tujuan Pendirian
Menurut pendirinya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, misi
Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan
Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya tersebut
adalah untuk pembaharuan terhadap moral umat Islam dan nilai-nilai spiritual.
Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para
pengikut Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman
yang enam dan Rukun Islam
yang lima. Gerakan Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa
membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam
di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan
saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan
sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al-Quran, "Tidak
ada paksaan dalam agama" serta menolak
kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun.
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan internasional
yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan Jemaat
Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup
internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika,
Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia,
Australia, dan Eropa.
Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang.
Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa-bahasa besar di
dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al-Qur'an kedalam 100 bahasa di
dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Qur'an
dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda,
dan Jawa.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Setelah pendiri gerakan Ahmadiyah wafat pada tanggal 26
Mei 1908, gerakan ini dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai Maulavi
Hakim Nuddin. Setelah ia wafat pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman
Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri gerakan
Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang
krusial dan mendasar. Sang putra Mirza Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan
fatwa:
1.
Mirza Ghulam Ahmad itu
betul-betul Nabi.
2.
Mirza Ghulam Ahmad ialah
sosok Ahmad yang diramalkan dalam al-Qur'an surat al-Shaffat ayat 6.
3.
Semua orang Islam yang tidak
berbai'at kepadanya, sekalipun tidak pernah mendengar nama Mirza Ghulam Ahmad,
hukumnya kafir dan keluar dari agama Islam.
Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan
dalam Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai
Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian India, tetapi setelah Pakistan
merdeka dari India, Ahmadiyah Qadiyan hijrah berpusat di Rabwah.
Perkembangannya sampai sekarang. Sang Khalifah berkedudukan di Inggris Raya dan
Ahmadiyah Qadiyan menyebut dirinya Jama'ah Ahmadiyah.
Sedangkan mereka yang tak sepaham dengan pendapat putra
Mirza Ghulam Ahmad bergabung dalam satu wadah yang bernama Ahmadiyah Anjuman
Isy'ari Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan
dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore. Maulana Muhammad Ali yang menjabat sebagai
sekretaris Mirza Ghulam Ahmad tidak
menyetujui pendapat putra gurunya dan hijrah ke Lahore. Khawaja Kamaluddin,
Maulana Sadruddin dan anggota-anggota senior Ahmadiyah yang lain membentuk
Ahmadiyah tandingan tersebut dengan tujuan untuk mengembalikan Ahmadiyah kepada
akidah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang telah diamanahkan oleh sang
pendiri.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa
mereka:
1.
Percaya pada semua aqidah
dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dan Hadis,
dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf
dan Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw
adalah Nabi yang terakhir.
2.
Nabi Muhammad saw adalah khatam al nabiyyin.
Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
3.
Sesudah Nabi Muhammad saw,
malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
4.
Apabila malaikat Jibril
membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat), satu kata saja kepada seseorang, maka
akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun nabiyyîn, dan berarti
membuka pintu Khatam al-Nubuwwat.
5.
Sesudah Nabi Muhammad saw,
silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu
walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah
dan segar.
6.
Sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad saw, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah,
para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang
nabi.
7.
Mirza Ghulam Ahmad adalah
mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadis, mujaddid akan tetap ada dan kepercayaan Ahmadiyah
Lahore bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai
mujaddid.
8.
Percaya kepada Mirza Ghulam
Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam
dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak
percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
9.
Seorang muslim,
apabila mengucapkan kalimah syahadah,
dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa
salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa
disebut kafir.
10. Ahmadiyah
Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi
Nabi Muhammad saw.
Sejarah Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera
Tawalib, yakni suatu pesantren di Sumatera Barat, meninggalkan negerinya
untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abu
Bakar Ayyub, (alm) Ahmad
Nuruddin, dan (alm) Zaini
Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir
karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam.
Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India
karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam.
Sampailah ketiga pemuda Indonesia
itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman
Isy'ari Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah
beberapa waktu di sana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang
ada di desa Qadian dan
setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan
Hadhrat Khalifatul Masih II ra, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra.
Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah
Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran di sana, Mereka mengundang
rekan-rekan pelajar di Sumatera
Tawalib untuk belajar di Qadian.
Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera
Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu,
untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun
setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II ra berkunjung
ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud, juru bicara para pelajar
Indonesia dalam Bahasa Arab.
Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II ra. Ia
meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia,
beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT yang datang dari
Qadian, India, dikirim sebagai muballigh ke Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1925,
Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II ra berangkat
dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh.
Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan
orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana,
Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan
Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat
Ahmadiyah dengan (alm) R.
Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Terjadilah Proklamasi
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak
sedikit para Ahmadi Indonesia
yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R.
Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau
merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi
yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan
di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln.
Abdul Wahid dan (alm) Mln.
Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan
kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain
(alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah
satu tokoh penting, sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di
kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau
kepada negara. Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan
legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan
dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal
13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di
Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya
membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak
korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya
mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif
Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang Khadim
Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi
simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan
sebagai salah satu Pahlawan
Ampera.
Di awal era 70-an, melalui Rabithah Alam al-Islami
semakin menjadi-jadi, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka
ketika Rabithah Alam al-Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim
pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai
akibatnya, banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin
oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik.
Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika
Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat
dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan
kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim
Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju
Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik
Indonesia, Abdurahman Wahid
dan Ketua
MPR, Amin Rais.
Ahmadiyah Lahore
Pada tahun 1926, Haji Rasul
mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah
dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan
Nabi sesudah Muhammad adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan
dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi
berdiri 4 April 1930.
Dalam dakwahnya di Indonesia, banyak kaum cendekiawan
muslim yang tertarik mengenai faham-faham pemikiran Islam yang dijelaskan oleh
Mirza Wali Ahmad Baigh. Bahkan HOS Tjokroaminoto segera menerjemahkan buku
karya Maulana Muhammad Ali yang berjudul Da'wah al-Amal menjadi Pengajakan
Bekerja. Melalui HOS Tjokroaminoto inilah pemikiran-pemikiran mengenai
keindahan Islam yang dipaparkan gerakan Ahmadiyah sedikit demi sedikit dikenal
oleh masyarakat luas. Hal ini dapat dimaklumi karena HOS Tjokroaminoto
mempunyai banyak murid yang terpelajar dan di antara muridnya adalah Soekarno
yang juga mengagumi pemikiran-pemikiran Ahmadiyah. Sebagaimana
halnya dengan putra pendiri organisasi Muhammadiyah, Jumhan Ahmad Dahlan telah
dikirim ke India untuk mempelajari secara langsung mengenai pembaharuan
pemikiran-pemikiran Islam dari Ahmadiyah yang telah dikenal di Indonesia.
Dakwah gerakan Ahmadiyah ini telah memberikan sumbangan
yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi Islam secara modern dalam
gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam wacana Ahmadiyah bukan merupakan
Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di sini Islam
dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok dengan masyarkat
modern.
Di samping Ahmadiyah Lahore, sebenarnya Ahmadiyah Qadiyan
pun ikut berkembang, tetapi lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik
sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib, Padang Panjang. Jika Ahmadiyah
Lahore bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka Qadiyan lebih
banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat
oleh mubaligh-mubaligh muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga
berbeda. Jika Ahmadiyah Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional,
maka Ahmadiyah Qadiyan lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka
pembentukan masyarakat ethis (ethical community). Selain itu, Ahmadiyah
Qadiyan lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada
umumnya, walaupun bercorak teologi daripada fiqih.
Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 300 cabang, terutama di
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali.
NTB, dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok
telah diserang massa (2002/2003 dan 2006) karena dianggap mengandung ajaran
sesat.
Status
di Berbagai Negara
Pakistan
Di Pakistan, parlemen telah mendeklarasikan pengikut
Ahmadiyah sebagai non-muslim. Pada tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi
konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang meyakini bahwa
Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun
Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku
sebagai agama tersendiri di luar Islam.
Indonesia
Dalam satu rapat pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) di Bogor, September 2005, memutuskan untuk menolak memberi label
"sesat dan menyesatkan" untuk komunitas Ahmadiyah, dan menyatkan NU
akan mengakomodasi semua komunitas agama di Indonesia. Kalangan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) mendukung fatwa NU tentang Ahmadiyah ini. LSM
berdalih bahwa apa yang diyakini kaum Ahmadiyah adalah suatu ekspresi dari
kebebasan beragama yang dijamin oleh Negara Keatuan Republik Indonesia.
Di pihak lain, dalam Musyawarah Nasional ke-2 di Jakarta,
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai
golongan di luar Islam dan merupakan aliran yang sesat dan menyesatkan semenjak
tahun 1980. pada tahun 1984,
terbit surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Depag RI yang berisikan
penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan menodai agama. Surat
Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan bahwa
Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan Negara. Pada tahun 2001,
Bupati Lombok Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan
Ahmadiyah. Setahun kemudian, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI)
yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan seminar di Masjid
Al-Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena
penodaan akidah. Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI
yang antara lain dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi
Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai
pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati Kuningan, Jawa Barat, karena
di Kuningan telah tumbuh subur komunitas Ahmadiyah di Manis Lor. Kemudian, pada
awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai
kesesatan Ahmadiyah. Ikut andil dalam menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah ini
adalah majalah Sabili. Kemudian, pada
tahun 2005, MUI mengeluarkan ketegasan fatwanya lagi tentang aliran Ahamadiyah
yang di luar Islam dan sebagai sekte yang sesat menyesatkan.
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri pada
tahun 1978 telah mengeluarkan Undang-undang melalui keputusan Menteri Agama
mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara lain menyatakan agar umat beragama
menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, supaya
dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira,
saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan interagama
yang sama (antara pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa pancasila.
Malaysia
Di
Malaysia Ahmadiyah telah lama dilarang.
Brunei Darussalam
Sebagaimana di Malaysia, di Brunei Darussalam pun status terlarang
ditetapkan untuk Ahmadiyah.
Kontroversi Ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam,
ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya
karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yaitu Isa Al-Masih dan Imam
Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang
mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu
kedatangan Isa Al-Masih dan Imam Mahdi.
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya
adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa Al-Masih dan Imam Mahdi telah
datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. Namun
umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa Al-Masih dan Imam Mahdi belum
turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan
penafsiran ayat-ayat al-Qur'an saja.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam
Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai
keterangan Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah menurut pengikutnya
Pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah
Punjab, India,
lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan
sebagai seorang mujaddid dari zaman ini oleh para pendukungnya. Orang tuanya
Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal
kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat
agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh
dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini
menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik
oleh para pimpinan komunitas. Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi
sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya
berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian
terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan
masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan
Masih Mau'ud (Al-Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke
seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah
lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw, langsung mendapat tentangan
luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau'ud, Allah Swt telah
menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:
Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi
dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati
perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat
Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat
Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah "Nabi Yang
Dijanjikan" bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan
umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad SAW sebagai nabi umat
Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan
sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai Al-Masih yang dijanjikan
juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman
Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, ia
menjelaskan:
“Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku
dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan
kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan
memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama,
sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada
kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan
menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini
telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri,
memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya
bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan
kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang
bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik.”
Menyusul wafatnya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908,
para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok Khalifah merupakan
pimpinan keruhanian dan administratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan
tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat ini (2007) adalah
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang berkedudukan di London, dan terpilih sebagai
Khalifah kelima. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara dan cermat mengamati
budaya dan masyarakat lainnya.
Dengan bimbingan seorang Khalifah, Jemaat Ahmadiyah berada di
barisan terdepan dalam khidmat dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak
sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan di berbagai negeri,
dimana mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Saat terjadi bencana
alam, Jemaat Ahmadiyah membantu secara sukarela secara finansial ataupun fisik
tanpa membedakan agama, warna kulit atau pun bangsa. Jemaat Ahmadiyah telah
memiliki jaringan televisi global yang bernama "MTA (Muslim Television
Ahmadiyya) International", yang mengudara dua puluh empat jam sehari dalam
beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya. Jemaat
Ahmadiyah telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya
diperkirakan sudah mencapai 80 juta manusia yang telah berbai'at ke dalam
Jemaat pada tahun 2001.
Media elektronik
Salah satu media elektronik milik Ahmadiyah yang terbesar
adalah televisi. Mereka telah membuat satu televisi yang mereka namai MTA,
yaitu Moslem Television Ahmadiyya. Proyek ini dirintis oleh Khalifah Ahmadiyah
yang ke-empat, Mirza Tahir Ahmad
Ajaran
Teologi Ahmadiyah
Ada beberapa teologi Ahmdiyah yang barangkali bagi
orang-orang yang menganggap Ahmadiyah itu merupakan aliran sesat oleh sebagian
kalangan. Namun dalam pembahasan teologi kali ini yang barangkali tidak sedikit
yang pulan mengenalnya secara mendalam. Karena itu, dalam hal ini kita akan
mencoba kajian teologi Ahmadiyah agak sedikit mendalam.
Dan setelah memahami teologi yang satu ini setidaknya
akan memberikan wawasan tersendiri yang sangat terhormat bahwa dalam Ahmadiyah
ada hal-hal yang barangkali orang belum mendalaminya. Sehinga ia mendpatkan
pencaerahan baru.
1. Asma Allah
Ism (nama) pada hakikatnya hanyalah milik Allah. Selain
dari-Nya tidak suatu ism pun. Sebab, tatkal suatu benda tercipta, maka
timbullah namanya. Akan tetapi, setelah nama itu terbentuk, setiap detik
perbuhan yang terjadi pada dzatnya justru menafikan nama tersebut, kecuali
nama-nama anugerah yang berkaitan dengan Allah. Nama yang tidak membutuhkan
perubahan itu merupakan nama yang mengalir dan hidup.
Sebaliknya, nama yang dikenal selama ini etrdiri dari dua
macam. Pertama, nama yang kosongdan tidak mengandungmakna. Hal itu
meruopakan nama yang jamid (statis), suatu nama yang mati. Ia itdak
berhak disebut nama sebab definisi kedua dari nama adalah sesuatu yang
menidentifikasi suatu benda. Jika di dalam nama itu tidak terdapat kemampuan
untuk memberikan identifikasi, maka hal itu bukanlah sebuah nama. Oleh karena
itu, asma (namanama) dengan sendirinya akan kelaur dari daftar defines
tersebut. Nama sifat yang di dalamnya tidak ada kaitan dengan sifat-sifat
Allah, secara konstan tidak akan pas bagi makhluk. Contoh, jika seseorang
karena kearifan dan kebijaksanaannya yagn tinggi, dia disebut dan terkenal
dengan hakim (orang yang bijak), maka tatkala dia mencapai usia
tua-renta, dari hari ke hari arif dan bijaksananya akan semakin berkurang dan
berkurang. Jadi, nama tersebut tidak memadai lagi untuk menandakan
sifat-sifatnya itu.
Asma Allah itu azali dan abadi, sedangkan seluruh perkara
waktu adalah berkaitan dengan makhluk-makhluk (wujud yang diciptakan). Zaman,
pada zatnya atau waktu pada zatnya, tidaklah memiliki makna. Ia merupakan
sebuah sifat yang trkandung di dalam suatu penciptaan, berkaitan dengan
makhluk, yang mengndung makna berbeda dalam hubungannya dengan setiap makhluk.
Allah telah mengajarkan nama-nama kepada Adam. Pengajaran
itu menunjukkan berbagai perkara. Salah satu di antaranya adalah Allah Swt.
Telah mengajarkan kalimat melalui musammiyat (ism/nama-nama). Dan yang
dimaksud musammiyat adalah perkara-perkara dalam kehidupan manusia yang
pengungkapannnya dapat dilakukan melalui isyarat, tidak perduli apakah itu fi'il
(pekerjaan) atau pun nama-nama makhluk. Sedangkan perkara kedua adalah
pengajran kepada Adam melalui bahasa Arab yang telah diajarkan hakikat dan
sifat potensi-potensi yang terpendam di dalam setiap benda.
Waktu tidak terdapat pada Allah karena di dalam Dzat-Nya
tidak ada perubahan. Sesuatu yang di dalam dzatnya terjadi perubahan, mutlak
padanya terdapat unsure waktu. Sedangkan segenap makhluk yang ada, kesemuanya
itu tengah berjalan dalam suatu proses perubahan. Tdiak ada suatu benda pun
yang terlah diciptakan dan terlahir lalu dia tetap berada dalam kondisi diam
(statis). Hanya ada dua kemungkinan pada
suatu benda, benda itu sedang mengalami perkembangan atau menjalani degradasi
(kemunduran). Benda itu berkembang kea rah kehidupan atau semakin condong kea
rah kematian.
Dalam satu waktu yang sama Allah Swt. Berperan sebagai
Wujud yang menghidupkan dan sekaligus Wujud yang mematikan. Dan tidaklah benar
apabila dikatakan bahwa Tuhan itu dalam aktu tertentu merupakan Wujud yang menghidupakan
lalu pada waktu yang lain Dia merupakan Wujud yang mematikan. Justru secara
berpautan kedua sifat-Nya itu beraksi bersamaan. Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur'an, "…Setiap waktu Dia berada dalam kesibukkan."
Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan,
mematikan, memelihara, memberi reseki dan lain-lain. Sifat-sifat-Nya
menampakkan berbagai manifestasi. Dan tidak hanya berhenti pada suatu
manifestasi saja. Sebab, jika Dia berhenti maka suatu Dzat Yang Mahakuasa
wujud-Nya akan punah.
"Dia
Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak
mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala
sesuatu. (yang memiliki sifat-sifat
yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta
segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya Telah
datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka barangsiapa melihat
(kebenaran itu), Maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta
(Tidak melihat kebenaran itu), Maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan Aku
(Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu)."
Bada'a
adalah proses penciptaan awal yang sebelumnya tidak terwujud apa pun. Sedangkan
khalq adalah proses penciptaan di mana terjadi atau direkayasa
perubahan-perubahan menakjubkan dalam skala yang rinci sehingga mulai
bermunculan bentuk-ebntuk baru. Contohnya, bahan-bahan kimia. Dengan meramu
bahkan kimia atau dengan merekayasanya; dengan berubah formulanya, maka akan
tercipta produk-produk baru. Dan ada satu cabang ilmu khusus yang berkaitan
dengan hal itu, yaitu syhthetic chemistry. Yakni menciptakan suatu
produk baru yang belum ada seblunya namun penciptaan itu bersal dari
bahan-bahan kimia lainnya yang sudah ada. Bukan penciptaan dari Sesutu yang
belum pernah ada sama sekali. Untuk hal ini kata bada'a tidaklah tepat,
tetapi kata khalq sangat tepat baginya.
Allah tidak berawal dan tidak memiliki akhir, di dalam Dzat-Nya tidak ada
perubahan dan terlepas dari waktu. Dan ketika Allah Swt. Mengadakan penciptaan,
maka dari sisi makhluk akan timbul ketentuan waktu, akan tetpai pada Dzat-Nya
tidak terjadi perubahan.
2. Konsep Wahyu
Di kalangan aliran Ahmadiyah,
panangn terhadap konsep wahyu tidak terjadi banyak perbdaan antara Qadian dan
Lahore. Masalh wahyu ini masih parales dengan konsep kenabian, Imam Mahdi, dan
Masih Mau'ud serta sosok controversial Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Menurut
Ahmadiyah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah Swt. yang disampaikan kepada para
penerimaannya dan bukan merupakan inspirasi yang kemudian diucapkan dengan
kalmat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan menurut Ahmadiyah Lahore, dalam
hal ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, bahw wahy didefiisikan sebagai
isyarat yan cepat. Wahyu itu sendiri merupakan sabda yang masuk ked lam kalbu
para Nabi dan orang-orang tulus ikhlas. Lebh lanjut dia mengatakan bahwa wahyu
Allah Swt. tidak hanya diturunkan kepada para Nabi saja, akan tetapi diberikan
pada seluruh manusia bahwak kepada semua makhluk ciptaan Allah Swt. seperti
bainatang, tumbuhan, dan yang alinnnya, namun proses transmisi wahyu tergantung
ke dalam konteks di mana spesies penerima wahyu itu berada.lebih lanjut Maulana
Muhammad Ali mengungkapkan bahwa di dalm AlpQur'an disebutkan ada lima macam
wahyu: pertama, wahyu yang diturunkan kepada makhluk yang tidak bernyawa
seperti bumi dan langit.
Kedua, wahyu yang diturnkan kepada binatang.
Ketiga, wahyu yan diturunkan kepada malaikat.
Keempati, wahyu yang diturunkan kepda manusia biasa.
Dan kelima, wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.
Bentuk dari kelima wahu itu bermacam-macam bergantung pada siapa yang meneirma
wayhu tersebut.
Aliran Ahmadiyah meyekini
bahwa Ghulam Ahmadd (Al-Mahdi dan Masih Mau'ûd) menerima wahyu dari
Allah Swt., namun wahyu yan diterima dan disampaikan oleh Ghulam Ahmad
berfungsi sebagai interpretasi Al-Qur'an bukan teks yagn menyamai Al-Qur'an itu
sediri. Ahmadiyah sendiri meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan satusatunya kitab
suci yang dapat memperbaiki dan memperbaharui berbagai macam kerusakan yang
ada, tetapi tidak dapat berjalan denagn mulus tanpa ada tuntunan dari Allah
Swt. dan tuntunan itu dating salah satunya melalui Ahmadiyah. Sebenarnya Ghulam
Ahmad sendiri mengakui bahw petunjuk yang diterimanya hanyalah ilham, tetapi
oleh para pengikutnya kemudian dinyatakan sebgai wahyu. Dalam kasus tersebut,
Ghulam Ahmad sendir tidak menyalahkan pengikutnya bahwakan memberikan
pembenaran, sehingga di kalngan Ahmadiyah akhirnya banyak menggunakan
istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah, wahy tasyir', wahyu ghair
tasyri', wahyu walayah, wahyu matluw, wahyu ghair matlum, dan sebagainya.
Menurut Ahmadiyah, kalam
Allah Swt. dating dalam beragam muatan dan varian pesan, di antaranya masalah
syariat dan hokum, tradisi dan wejangan, nasihat-nasihat serta kewajiban dan
acaman. Wahyu akan turun terus-menerus hingga hari kiamat tiba, sebab menurut
pandangn Ahmadiyah bahwa komnukasi Tuhan degnan manusia terjadi melalui wahyu.
Merekan menyandarkan argumentasi tersebut pada QS. Al-Syûra [42]: 51. atas
dasar tersebut, Ahmadiyah meyakini bahw proses tansmisi wahyu dari Allah wt.
terjadi melalui berbagai macam cara di antaranya, pertma, wahyu dating
langsung berupa kalam yang diilhamkan
langsung ke dalam kalbu para Nabi dan orang-orang tulus. Hal ini merupakan
bentuk isyarat yang ceapt seperti yang diberikan kepada para pengikut Nabi Isa
a.s. dan Ibu Muas a.s. Kedua, di belakang tirai. Jenis wahyu trsebut ada
tiga macam, yaitu mimpi yagn baik (mubasyarah) berupa petunjuk Allah
Swt. yang diterima seseroang dalam keadaan setengah tidur, petunjuk Ilahi yang
diterima seseorang dalm keadan sadar dan melihat dengan mata ruhani (kasyaf)
and petunjuk Ilahi yang dating kepada seseorang dalam keadaan sadar dan
mendengar dengan telinga rohani (ilham). Dan ketiga, wahyu turun
melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang diterima oleh para
Nabi melalui malaikat Jibril.
Wahyu jenis pertama dan kedua
merupakan tingkatan proses pewahyuan yang paling rendah dan akn tetap terbuka
selama-lamanya, dalam pengertian bahwa wahyu jenis tersbeut akan datng dan
diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu tersebtu akan diturunkan kepada
orang-orang tulus yan diangkat ke derajat kenabian, tetapi yang menjadi catatan
adalah bahwa orang-orang tersebut mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki ornag
pada umumnya. Kelebihan tersebut adalah "indra rohani." Indra
ini akan melihat, mendengar, dan meraskan sesuatu yang tidka akan didegnar,
dilihat, dan dirasakn orang lain kecuali ygn mengalaminya. Wahyu seperti ini
disebut wahu ghair matluw ( wahyu yang tidak dibacakan dan diucapkan)
atau wahyu khafy (wahyu batin). Sementara wahyu jenis ketiga hanya
diberikan kepada para Nabi dan tertutup setelah berakhirnya masa kenabian Nabi
Muhammad Saw., Karen beliau penutup para Nabi. Wahyu jenis ini disebut wahyu
nubuwwah (wahyu kenabian atau wahyu matluw (wahyu yang dibacakan dan
diucapkan). Sementara itu, menurut Nazir Ahmad bahw wahyu terputus sesudah Nabi
Muhammad saw. adalah wahyu tasyri' bukan wahyu mutlak, yang dapat
diterima oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan kepada para Nabi.
Sementara Khalifah AHmadiyah,
Bashiruddin Ahmad emngaktan bahw pewahyuan itu akan terus terbuka meskipun
tidak ada syari'at yang diturnkan, tetapi para Nabi yang diutus hnaya
mengungkapkan kekayaan yang terkandugn dalm Al-Qur'an yan masih tersebmbuni.
Lebih lanjut Khalifah II mengatakan, bukan hanya wahyu yang kami percaya akan
terus terbuka selama-lamanya, melainkan wilayah kenabian pun akan terus
terbuka. Melihat argumentasi di atas tidak terjadi banyak perbedaan mengenai
wahyu antara Qadian dan Lahore, hanya saja alrian Qadian meyakini bahwa bukan
hanya wahyu yang akan tetap datang dan terbuka, tetapi kenabian pun akn terus
berlangsung. Titik permasalahan yang kontroversial dalm hal ini adalah bahw
aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagi Al-Masih dan Al-Mahdi yang diangkat
oleh Allah Swt. melalui ilham yang diterimanya, kemudian ia dianggap sebagai
Nabi, karena dianggap sebagai duplikat Nabi Isa a.s., sehingga mereka meyakini
bahwa proses penerimaan wahyu terjadi pda Ghulam Ahmad.
Secarasubstnsial tidak
terdapat perbedaan di antara kedua aliran tersebut, hanya term-term tertentu
yang membedakan keduanya dalam masalah tersebut.
Sebagian pendapat yang selama
ini banyak mengkritisi negative terhadap Ahmadiyah mengaktan bahwa liaran
Qadian meyakini wahyu yng ditunkan Allah Swt. kepada manusia berjumlah lima,
yaitu: Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur'an, dan Tadzkirah yang diturunkan
kepada Ghulam Ahmad.
Namun demikin, sejak
pembacaan dan pengkajian terhadap sumber-sumber primer yang ada, keterangn
tentang hal tersebut tidak ditemukan. Terkaitdegnan konsep wayu, yang
membedakan antar Ahmadiyah degnan umat Islam selama ini adalh terletak pada
pendefinisian wahyu dan ilham. Amadiyah meyakini bahwa wahyu dan ilham itu
sama, sementr kelompok "mayoritas" membedakannya. Menurut pemahaman
yang berkembang pada mayoritas umat Islam saat ini adalah antar wahyu dan ilham
itu berbeda. Wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan Rasul, sementar ilham
diturnkan kepada manusia biasa dan derajat di antara keduanya asngat berbeda.
Dalam hal ini memang terjadi perbedaan mendasar pada wilayah epistemology
antara Ahmadiyah dan umat Islam pada umumnya.
3. Syariat Jihad
Kita semua mendengar dalam alam reformasi saat ini banyak
teriakan ”Jihad!” ”Jihad!” dari empat penjuru. Tetapi jihad
macam apa sesungguhnya yang diajarkan Al-Qur’an Karim?
Jihad terhadap orang-orang kafir dengan Al-Qur’an merupakan
jihad besar. Di sini kita dituntut untuk menampilkan akhlak
mulia dengan contoh teladan dari Rasulullah Saw. Penyebaran Islam dengan
senjata atau paksaan tidak diperkenankan. Kebebasan beragama amat dijunjung
tinggi dalam Islam.
Jadi, setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak kebenaran
berdasarkan keterangan. Perintah berperang dengan senjata diizinkan jika mereka-mereka
yang berdaulat, berkuasa dan membawa nama agama datang untuk memerangi orang
Islam serta memaksa orang dengan kekerasan agar meninggalkan agama Islam. Dalam
keadaan berperang pun telah diperintahkan agar jangan melampaui batas.
Jika musuh berhenti memerangi dan menghendaki perdamaian, maka peperangan harus
dihentikan.
Allah memerintahkan berperang tidak untuk memusnahkan agama lain, bahkan untuk
melindungi berbagai agama.
Ayat ini menerangkan dengan kata-kata yang tegas, bahwa perang agama dapat
dibenarkan jika suatu bangsa atau negara atau pemerintahan melarang orang
mengatakan Rabbunallah –“Tuhan kami hanyalah Allah,”
memaksa orang-orang agar keluar dari Islam, atau mencegah dengan kekerasan agar
orang tidak menerima Islam, atau membunuhi orang karena beragama Islam. Jadi,
kepada bangsa/Negara yang seperti itu jihad dengan senjata dapat
dilakukan. Jika peperangan terjadi antarbangsa, antarsuku, atau antarkelompok,
peperangan yang demikian hanya peperangan biasa dengan dimensi politik, alasan
keamanan, mempertahankan diri dan sebagainya. Peperangan yang demikian bukanlah
peperangan atas nama Tuhan (agama).
Singkat kata, Jemaat Ahmadiyah tidak mengingkari jihad,
melainkan menentang salah pengertian tentang jihad. Kesalahpahaman konsep
jihad mengakibatkan Islam sangat menderita. Perang dan pertikaian di
dunia Islam sering terjadi. Sesungguhnya jihaad kabir (besar) hanya
dapat dilakukan dengan perantaraan Al-Qur’an, bukan dengan senjata atau kekerasan.
Jihad dengan senjata hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat yang
ditentukan oleh Al-Qur’an serta contoh-contoh dari Rasulullah Saw.
telah terpenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, maka jihad dengan
menggunakan senjata tidak diperlukan lagi.
4. Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad Tentang Jihad
Selain itu, jihad erat hubungannya dengan situasi
dan kondisi yang sedang terjadi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengemukakan bahwa
pada suatu masa negeri Punjab di Hindustan, ketika di bawah kekuasaan dan
pemerintahan kaum Sikh, keadaan yang amat memilukan terjadi menimpa umat Islam.
Hz. Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
“Kaum muslimin belum lagi lupa akan masa-masa kekuasaan Sikh,
ketika mereka disiksa dalam tungku api dan tidak hanya 74 materinya yang
musnah, bahkan agamanya dalam keadaan amat buruknya. Sulit bagi mereka untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban agama, sampai suatu ketika seorang muslim
dibunuh karena mengucapkan adzan.” (Pengumuman, 10 Juli 1900)1
Selanjutnya dalam literatur Sikh disebutkan:
“Rupanya kaum Sikh ini terdorong oleh rasa benci terhadap
kaum muslimin, wanita dan anak-anak dibantai tanpa ampun, kampung halaman
dimusnahkan, perempuan-perempuan dicabuli dan beribu-ribu mesjid dihancurkan.”
(Encyclopaedia of Sikh Literature, hlm. 1127)
Ketika kerajaan Inggris menguasai Hindustan dan mengambil
alih kekuasaan Sikh, pada tanggal 1 November 1854 di Allahabad, pemerintahan
Inggris atas nama Ratu Victoria memberi kebebasan bagi setiap penduduk untuk
meyakini dan menjalankan ibadahnya masing-masing dengan rasa aman dan berdasarkan
hukum berhak memperoleh perlindungan serta keamanan yang setara tanpa kecuali.
Beliau menjelaskan sebagai berikut:
“Masalah kedua yang telah saya tegaskan adalah mengenai ajaran
Jihad yang telah disalah-pahamkan oleh sebagian orang Islam yang tidak
tahu. Tuhan telah memberi tahu saya, bahwa perbuatan-perbuatan yang dianggap jihad,
sama sekali kontroversial dengan ajaran Al-Qur’an. Jelas, Al-Qur’an
mengizinkan kaum muslimin untuk berperang dengan cara-cara yang rasional
daripada cara-cara peperangan Musa dan lebih elok daripada cara-cara peperangan
Yoshua, putra Nuh. Asal muasalnya adalah dari kenyataan bahwa orang-orang yang telah
mengangkat pedang kepada kaum muslimin tanpa alasan benar, membunuh dan berbuat
sangat aniaya, mereka patut dihukum dengan pedang. Tetapi hukuman tidak sekeras
apa yang dikenakan kepada musuh pada peperangan Musa. Seseorang yang memeluk
Islam atau setuju untuk membayar pajak kepala, ia dibebaskan dari hukuman, dan
cara ini adalah sesuai dengan hukum alam. Pendeknya, pada zaman Rasulullah Saw.
dasar jihad Islam adalah bahwa Tuhan telah murka kepada orang-orang
zalim. Akan tetapi hidup di bawah kekuasaan suatu pemerintahan yang baik
seperti pemerintahan Ratu kita, kalau membuat rancana jahat terhadapnya, itu namanya
bukan jihad tetapi suatu gagasan biadab yang lahir dari kejahilan.
Berbuat jahat terhadap suatu pemerintah yang memberi kebebasan hidup dan
keamanan penuh, dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan sepenuhnya, adalah suatu
tindakan kriminal, bukan jihad…Walhasil, Tuhan Maha Besar telah
menempatkan saya dalam ketentuan bahwa ketulusan, taat dan berterima kasih
harus ditampakkan kepada suatu pemerintah yang baik seperti umpamanya
pemerintah Inggris. Saya dan jemaat terikat oleh ketentuan ini. Saya telah menulis
buku dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu tentang masalah ini, dan telah
membeberkannya dengan terperinci bagaimana kaum muslimin di India Inggris
berkehidupan tentram dalam pemerintahan Inggris, dan bagaimana mereka dapat
menyebarkan agama dengan bebas dan menunaikan kewajiban agama tanpa hambatan
apa pun, betapa keliru dan jahat jadinya kalau mempunyai gagasan jihad terhadap
pemerintah yang beberkah dan cinta damai ini.” (Tuhfah Qaisariyyah, hlm.
9-10)
Jadi, menurut Imam Mahdi/Masih Mau’ud a.s.
dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasarnya melakukan jihad dengan
senjata kepada pihak yang berdaulat di anak benua India,
karena tidak terdapatnya syarat-syarat untuk ber-jihad pada masa dan
situasi ketika itu.
Kenyataan sejarah Islam juga membuktikan, bahwa Rasulullah
Saw. pada tahun 628 M telah mengirimkan utusan-utusan yang membawa surat seruan
kepada raja-raja, kaisar-kaisar dan penguasa-penguasa untuk mengikuti beliau Saw.
dan menerima Islam, di antaranya Heraklius (Romawi), Negus atau Najasyi
(Abessinia),
Kisra (Persia), Muqauqis (Mesir), Raja Bahrain, Penguasa Oman dan Yamama,
Harith al-Ghassani (Syam) serta Harith al-Himyari (Yaman). Mengutip Haekal dalam
buku Sejarah Hidup Muhammad, terdapat suatu riwayat ketika perlawanan
terhadap kaum muslimin di Mekkah semakin menjadi-jadi, Rasulullah Saw.
menyarankan agar mereka mengungsi dengan cara berpencar. Mereka bertanya ke mana
sebaiknya harus pergi, kemudian Nabi Muhammad Saw. memerintahkan umat Islam
agar pergi hijrah
ke Abessinia karena di sana diperintah oleh Negus, seorang Raja Abessinia
(Ethiopia) yang beragama Kristen, yang memiliki toleransi dan keadilan.
Beliau Saw. bersabda:
“Tempat itu
diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi
jujur; sampai nanti Allah menentukan jalan buat kita semua.”
Dari sejarah Islam dapat diambil pelajaran yang sangat berharga,
meskipun Abessinia adalah negeri Kristen, sama seperti Inggris yang merupakan
negeri Kristen, namun Rasulullah Sasw. menyebutnya sebagai negeri yang
jujur dan diperintah oleh seorang raja Kristen yang baik serta tidak menganiaya
penduduknya, dan dalam konteks seperti inilah kemudian Hz. Mirza Ghulam Ahmad
a.s. juga mengatakan hal yang sama kepada negeri Inggris yang saat itu
diperintah oleh Ratu Victoria. Pendiri Jemaat Ahmadiyah selanjutnya
mengemukakan tentang jihad dengan senjata kepada pemerintah Inggris
sebagai berikut:
“Tak diragukan bahwa alasan ber-jihad tidak ada di
negeri ini pada waktu sekarang. Karena itu, muslimin negeri ini dilarang atas
nama agama memerangi dan membunuh mereka-mereka yang menolak hukum Islam. Tuhan
Maha Besar dengan jelas melarang jihad dengan pedang dalam suasana aman tenteram.”
(Tuhfah Golarwiyah, asy-Syirkah al-Islamiyah, Rabwah, hlm. 82)
Barangkali, itulah tanggapan pembelaan Ahmadiyah mengenai
tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu adalah bonekanya Inggris yang dapat
dikendalikan oleh Inggris. Dengan kata lain, tercetusnya aliran Ahmadiyah yang
digawangi oleh Mirza Ghulam Ahmad itu adalah atas suruhan Inggris.
Dari kronologis munculnya makna jihad yang
dilatarbelakangi oleh sosio kultur-histori pendirian Ahmadiyah oleh Mirza
Ghulam Ahmad, akhirnya dalam perkembangan berikutnya Amadiyah mencoba
merumuskan makna jihad di atas yang tidak lepas dari pendapat pendirinya, Mirza
Ghulam Amad.
Bagi Amadiyah, jihad didefinisikan sebai tindakan
mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan kekuatan yang dimiliki
dalam menghadapi pertempuran, menyamapikan pesan kebenaran, ataupun mengerhakan
seluruh adya kemampuan dalam menghadapi suatu urusan atau dengan kata lain
jihad adalah tidak menahan apa pun, menerhkan segala daya dengan memaksakan
diri dalm mencapai suatu tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh
Ahmadiyah, menyatakan bahwa sekitar 40 ayat dalam Al-Qur'an yang terkait dengan
masalh jihad dan semuanya emngnadung pengertian berjuang sekuat tenaga atau
berusaha keras. Dalam pandangan jihad menurut Al-Qur'an adalah perjuangan untuk
menegakkan kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridhai Allah Swt. Tindakan
mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamkn jihad, dalam Al-Qur'an
istilah yang tepat sering disebut qital.
Ahmadiyan mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori,
yaitu pertama, Jihad Shagir adalah perjuangan membela agama,
nusa, dan banga dengan memeprgunakan senjata terhadap musuh-musuh yang
menggunakan kekerasakan dan senjata dengantujuan memusnahkan agama, nusa, dan
bangsa. Ahmadiyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad dengna senjata untuk
membela agama sudah tidka diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada sorang
atau pihak yang mempergunakan senjata untuk membela dan mengembangkan agama.
Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah nilainya. Kedua,
Jihad Kabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan
dalil-dalils atau keterangan, baik liasn maupun tulisan untuk menyebarluaskan
ajaran Al-Qur'an kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang
sedang dilancarkan oleh Ahmadiyah saat ini. Ketiga, Jihad Akbar
adalah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu amarah
sendiri, jihad yang ketiga ini merupakan bentuk jihad paling berat, karena
menghadapi setan dan hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat. Jihad dalam
bentuk ini dialukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan
aktivitas. Hanya usahaya dan doa sebagai jalan untuk memohon pertolongan Allah
Swt. secara terus menerus dan juga dengan menjalnkan shalat. Kategori jihad ini
sangt tergantung pada faktro darisifat manusia itu sendiri dalam menerjemahkan
hawa nafsunya dalm akitivitas prksis sehai-hainya.
Khlifah II Ahmadiyah Bashirudin Mahmud Ahmad menyimpulkan
baha banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang AHmadiyah terkait
dengan permasalahan jihad. Menurut pandangannya dan kemudian menjadi paham Ahmadiyah,
bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu, petama, perang
jihad dan kdua, perang lumrah. Perang jihad adalah perang yagn terjadi
karean dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh
yang dihadapi adalh sekelompok orang atau pihak yagn mencoba membeinasakan dan
melakukantidnakan kekeasaan dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa
seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya.
Isu yan menjadi mainstream dalam peperangan tersebut adalah perang agama
atau perang suci (holy war). Khalifah II ini lebih lanjut menjelaskan,
bahw jika seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi
seperti di atas, mak wajib bagi setiap kaum muslimin untuk berjihad, tetapi ada
persyaratan yang harus dipenuhi dalam perang jihad tersebut, di antaranya
adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan menginstruksikan kepada
umatnya bahw siapa asja yang berhak mengikuti perang jihad dan siapa yang harus
menunggu gilirannya, karena hal ini akan mempermudah koordinasidan konsolidasi
di antara umat Islam. Khlifah II mengatakan bahwa barng siapa yagn pada
gilirannya harus turun ke medan jihad dan tidak melaksanakannya, maka menjadi
dosa baginya.
Ahmadiyah memandang bahwa saat ini banyak roang yang
telah tergelincir pada "lubang hitam" atau kesalahpahaman dalam
memahami konsep jihad Ahmadiyah, dalm arti bahwa mereka menganggap Ahmadiyah
telah mengingkari jihad. Sebenarnaya, Ahmadiyah sendiri tidak mengingkari
jihad, hanya saja menentang kesalalahpahaman terhadap interpretasi makna jihad
yng selalu diartkan dengan mengangkat senjata, sehinga karena pemaaman yagn
salah tersebut, umat Islam menderita dewasa ini.
Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, bahwa isu
Ahmdiyah yang tidak mempunyai syariat jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk
berjihad ketika pemerintah Inggris melakukan penjajahan serta berkuasa di India
dan Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang,
bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiyah yang pada waktu itu
tidak melakukan jihad dengan senjata melawan Inggirs. Hal yang muncul ke
permukaan adalah bahwa faktor politik mendorong Ahmadiyah untuk bersikap
seperti itu. Gerakan Ahmadiyah pada waktu itu telah melakukan kompromi dan
kesepakatan plitik dengan Inggris. Ahmadiyah telah melakukan perjanjian
perdamaian dan mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggirs di India dan Pakistan.
Sebagai imbalannya, mereka meminta dukungan dan perlindungan terhadap gerakan
mereka serta para jemaatnya supaya tidak mengalami intimidasi apa pun dari
pemerintahan Inggris. Lebih jauh banyak di kalangan pemimpin Ahmadiyah yang
menjadi "antek" atau "demang" pemerintah Inggris untuk
menjadi duta dan komunikator dengan masyarakat. Di samping itu, pemerintah
Inggris harus membantu kelangsungan gerakan Ahmadiyah dan perkembangannya ke
berbagai Negara.
Memang tidak dapat diasngkal kedekatan keluarga Ghulam
Ahmad dengan pemerintahan Inggris sebagiamana dijelaskan dalm pembahasan
terdahulu, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan kedekatan Ghulam Ahmad
dengan pemerintah Inggris sebagai berikut:
"Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Ingris bukan
hanya hubungan antara muslim yang hendak berterima kasih karena telah berbuat
baik kepadanya…, tetapi hubungan itu adalah lebih dekat kepada hubungan antara
seorang 'pelayan' kepada seorang 'majikan'. Denga mengutip perkataan Ghulam
Ahmad, 'Sungguh telah aku habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu
pemerintah Inggris.'"
Dalam keterangan yang lain, Ghulam Ahmad mengtakan bahwa
hanya dengan bernaung di bawah peperintahan Inggris, kehidupan masyarakat India
akan berlangsung aman, sentosa, danmerdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad sebagi imam
dan sosok yang dihromati dengan doktrin yang diasmpaikan kepad jemaatnya untuk
tidak melakuakn perlawnan dan mengangkat senjata kepada pemeritnahan Inggris
merupkan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahwakan Ghulam Ahmad menyarankan
kepada jemaatnya untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan kepada pemeritnahan
Inggris dan supaya menjadi kkoloni India lebh lama lagi. Menyangkal sekaligus
menjawab persepsi negative tersebtu, para pndiri (founding faters)
Ahmadiya, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam kitabnya Tahfah Golarwiyah
mengatakan bahwa, "Tidak sedikit pun keraguan bahwa syarat-syarat yang
diletakkan (dalam Al-Qur'an Suci) tidak didapat saat ini di negeri di mana
penusli hidup, karena itu di sini jihad dengan pedang tidak sah."
Dalam pandangan Ahmadiyah, penjajahan Inggris pada waktu
itu tidak menuntut kepada masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau
memaksakan melepaskan kepercayaan dan keyakinan agma masyarakat. Bahkan
Ahmadiyah memandang akan mewajibkan anggotanya untuk berjihad, jika seandainya
Inggris menuntut melepas atau menukar agama, maka hukumnya wajib, tetapi
situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu.
Khlifah II menyangkal tuduhan dan isu yagn berkmbang
tersebut, khalfah mengatakan, bahw mnurut hemat kami pada waktu itu belum tiba
saatnya melakukan jihad dengan senjata dan jika kami berada dalam posisi dan
sikap yang salah in sematamata hanya kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang
dikemukakan adalah bahwa Ahmadiyah lebih memilih mengaplikasikan bentuk jihad
kabir dan jihad akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia,
dan bukan jihad shaghir. Menurut Ahmadiyah bahwa pada abad XX, jihad
dalam bentuk perang sudah tiadk sesuai lagi. Jiad dengan lisan atau pun tulisan
adalah jihad yang palng tepat. Dalm tulsannya Ghulam Ahmad mengatakn bahwa:
"Pa sat ini Islam menghadapi ancaman yang
dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan tetapi alat yang mereka gunakan
berllainan sama sekali dengan apa yang mereka gunakan tiga belas abad yang
lampau (Perang Salib). Kini mereka menggunakan tulisan-tulisn untuk menyerang
dan memfitnah, baik dalam surat kabar, pentas-entas, maupun dalam buku-buku
bacaan. Kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang (berjihad) sekuat
tenaga untuk membatalkan propaganda palsu lawn. Adapun alatnya cukup dengan
pena dan tinta saja, untuk menulis karangan yang bermutu dan sangat
menguntungkan Islam…"
Dalam pandangan Ahmadiyah, ketika terjadi keterlibatn
dengan pemerintah pada pelaksanaan jihad kabir dan jihad akbar,
maka Ahmadiyah harus taat dan setiap kepada pemerintah dan Negara di mana
mereka berada. Hal ini dibuktikan dengan gerakan Ahmadiyah yang dengan gencar
melakukan perlawanan terhadap agama Kristen, Hindu, Budha, dan Marxis dengan
perlawnan menggunakan dalil-dalail dan keterangan yang argumetnatif serta
rasional menurut mereka. Bahkan sampai sat ini Ahmadiyah masih trus melakuakn
bebgai aplikasi jihad untuk kemajuan Islam tanpa harus mengangkat senjata.
Secara garis besa, ada dua hal yang menjadi alasan utama
bagi khalifah II mengapa Ahmadiyah tidak melakukan perlawanan kepada Inggris? Pertama,
di bawah pemerintahan Inggris kebebasan beragama menjadi terjamn, tidak ada
pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah politikus pemimpin
duniawi, tetapi tidak lebih dari sekadar pemimpin ruhani tidak ada factor
politik apa pun yang melatarbelakangi sikap Ahmadiyah dalam memandang jihad.
Labih jauh Ahmadiyah memandang bahw kemajuan Islam ditentukan oleh penghayatan
dan pengkajian umat Islam untuk menggali makna tersembunyi di balik Al-Qur'an.
Apabila Al-Qur'an itu dipahami dengan sebaik-baiknya, maka jihad seharusnya
dilancarkan dengan perantaraan Al-Qur'an bukan dengan pedang.
Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang
controversial antara Ahmadiyah dengan "mayoritas umat Islam" tentang
makna jihad. Hanya saja Ahmadiyah menganggap bahw di dalam makna jihad
terkandung makna qital, seperti dalam jihad shaghir, tetapi saat
ini jihad shaghir dengan makna qital dianggap sudah tidak ada,
sebaliknya yan ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda
dengan "mayoritas umat Islam" bahwa jihad masih bias dipahami dalam
bentuk jihad shaghir, jihad akbar, dan jihad kabir. Maka
dari itu, makna jihad menurut Ahmadiyah ketika dikatkan dengan pemerintahan,
mereka tidak memerhatikan siapa pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap
baik, bagaimanapun adanya penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk
kedaulatan dan kemerdekaan negeri sendiri meruapkan hal yang paling krusial dan
harus dipertahankan dengan berbagai cara.
5. Konsep Khilafath
Pemahaman Ahmadiyah tentang
konsep khilafah baik aliran Qadian maupun aliran Qadian maupun aliran Lahore
sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada Al-Qur'an. Namun demikian,
di antara kedua aliran Ahmadiyah tersebut berbeda dalam memberikan penafsiran.
Menurut Ahmadiyah Qadian, dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II),
bahwa perkatan khalifah (pengganti) yang tedapat dlam Al-Qur'an dipahami dan
dipergunakan dalam tiga pengertian, antara lain, pertama, khalifah
dipergunakan untuk Nabi-nabi yang disinyalir sebagai pengganti Allah Swt. di
dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai khalifah
dan sama juga sepeti Nabi Daud.
Kedua, khalifah dipahami sebagi makna bagi umat atau kaum yang datng
kemudian.
Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti Nabi yang dipilih oleh kaum
dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga,
khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti Nabi, karena mereka
telah mengikuti jejak para Nabi sebelumnya. Proses pergantian tersebut secara
langsung diangkat oleh Allah Swt. Khalifah dengan pangkat Nabi ini berkedudukan
sebagai pengganti atau pendamping baig Nabi yang ada sebelumnya atau pada
masanya, seperti Nabi Harun yagn merupakan khalifah bagi Nabi Musa.
Kategori khalifah dalalm
pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah para pemimpin ruhani. Aliran
Ahmadiyah Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua Nabi dan Rasul yagn
disebutkan dalam Al-Qur'an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin
pemerintahan. Para Rasul dan Nabi yang diutus Allah Swt. yang hanya menjabat
seabgai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa, Zakaria, dan
Harun, sementara Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Nabi sekaligus pemegang
tampuk kepemimpinan pemerintahan. Para khalifah yang menggantikan beliau,
seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
juga pemimpin pemerintahan, tetapi system khalifah ini berakhir sejak masa
Mu'awiyah berkuasa, karena penguasa yang dantang berikutnya hanya berdasarkan
keturunan atau pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khlifah
sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur'an.
Sementara AHmadiyah Lahore
menyatakan bahw ada dua macam khalifah. Pertamai, khalifah yang sesuai
dengan makna khalifah dalam Al-Qur'an.
Dalam ayat tersebtu dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang akan memimpin
peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan system kekhalifahan untuk
membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad Saw. adalah khalifah pertama
yang kemudian dilanjtukan oleh para sahabatnya khulafâ' al-Râsyidîn. Kedua,
khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spiritual yang mendirikan
sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat.
Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para mujaddid
yang akan memperbaharui agamanya.
Di kalangan alrian AHmadiyah
pun terjadi perbedaan penadpat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal.
Menuruit Ahmad Qadiyan setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah system
khilafah dalam Ahmadiyah yan dinela dengan khalifah Al-Masih. Doktrin khalifah
Al-Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai
keharusan adanya khalifah yang menggantikannya. Hal ini juga didarkan pada
hadits Nabi yan menggambarkan hakikat seorang khalifah dibandingkan dengan
pemimin Negara. Hadit tersebut adalah sebagai berikut:
"Akan ada kenabian
pada kamu selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada, kemudian Allah Swt.
mengangkatnya. Kemudian aka nada khilafah dengan pola kenabian selam
dikehendaki Allah Swt. aupaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian
aka nada kerajaan absolute dan itu ada selam dikehendaki Allah Swt. supaya ada.
Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada kerajaan absolute dan itu
ada selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada. Kemudian Allah Swt.
mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah dengan pola kenabian. Kemudian dia
berdiam diri."
Ahmadiyah Qadian meyakini
bahwa apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. telah terbukti menjadi
kenyataan. Sejarh Islam telah mencatat bagiman awal kekhalifhan dengan pola
kenabian dan dikenal dengan khilafah rasyidah, mulai dari Abu
Bakar ra. dan berakhir dengan Ali bin Abi Thalib ra. Setelah itu baru munculah
kekhalifahan dengan pola kerajaan yang berawal dari Mu'awiyah dan berakhir
dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola terseut terlewati dalam masa
kesejarahan Islam, merujuk pad hadits Rasul di atas, akan muncul kembali pola
kekhalifahan dengan system kenabian kedua pada masa Isa dan Mahdi. Atas dasar
polarisasi system kekhalifahn tersebut, maka AHmadiyah berdiri sebagai
kelanjutan system kekhalifahan tersebut. Dalam Ahmadiyah dikenal dengan khilafah
Al-Masih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari pekerjaan Ghulam Ahmad,
Al-Masih dan Imam Mahdi yang berpangkat Nabi.
Sestem khilafah dengan pola
kenabian yang ada pada masa Nabi MUhamam Saw. sebenarnya berbda dengan yang
terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah dengan pola kenabian pada masa Nabi
Muhammad Saw. mempunyai fungis ganda, yakini di samping sebagai Nabi yang
mempunyai misi menyebarkan dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalaknakan
fungisi pemerintahan. Sementra itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi
pada masa Ghulam Ahmad hanya berfungsi tunggal, semata-mata sebagai pemimpin
ruhani yang menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam arena kekuasaan dan
tidak memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiyah Qadian, setelah
Ghulam Ahmad meninggal menjadi wajib hukumnya untuk dicarikan penggantinya
sebagai khalifah bagi Jemaat Ahmadiyah yang menjadi pemimpin trtinggi yang
harus ditaati.
Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmadi, maka tampuk pimpinan
dilanjutakan para khalifah berikutnya. Berikut urutan pimpinan Ahmadiyah
Qadiyan adalah sebagai berikut:
Berbeda denan panagnan Amadiyah Qadian, Ahmadiyah Lahore
dengan dasar QS. Al-Nûr [24]: 55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai
landasannya, bahwa setelah kekahlifahan Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah
system khilafah dalam AHmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, tampuk
kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr Anjuman AHmadiyah.
Sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih
dibutuhkan khalifah, maka tidak wajiba ditaati karena kahlifah hanya berfungsi
sebagai penerima baiat saja, sementara tanggung jawab kepemimpinan tetap berada
di tangan Pusat Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajiba diaati. Menurut
aliran Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khalifah rasyidah dan termasuk
seetalh Gulam Ahmad tiadk ada lagi khalifah, yang ada hanyalah mujaddid
yang muncul setiap satu abad sekali.
Pandangan Ahmadiyah Lahore tentang khalifah ini menjadi
awal pemicu dari perpecahan di kalangan Ahmadiyah. Ada beberapa factor yang
menyebabkan perbedaan tersebut, di antaranya adalah pertama, perbedaan
penafsiran tentang suran dan wasiat Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan
penafsiran terhadap QS. Al-Nûr [24]: 55, tetapi yang menjadi permasalahan
kemudian adalh sikap kontroversial yang diambil oleh aliran Ahmadiyah Lahore
seputar penolakan terhadap system khalifah sebagaimana Ahmadiyah Qadian.
Penolakan itu muncul justru setelah Khalifah I Maulana Hakim Nuruddin meninggal
1914 M. Ahmadiyah Lahore mengingkari keabsahan khilafah setelah system tersebut
sudha berlangsung selama satu periode Khalifah I, padahal seharusnya justru
penolakan dan pengingkaran ini sudah disampaikan setelah Ghulam Ahmad
meninggal. Hal tersebut di kalangan Ahmadiyah dan beberapa pemerhati Ahmadiyah
justru mengundang kontroversial, bahkan yang muncul adalah isu negative bahwa
pemahaman yang dianut Ahmadiyah Lahore didorong oleh kekalahan politik pada
masa pemilihak Khalifah II, sehingga memisahkan diri ke Lahore. Pada sisi ini
perbedan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore dengan kaum muslim secara umum
tentang khilafah. Perbedaan tersebut terletak pada beberapa hal, antara lain,
menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang menggantikan Rasulullah Saw. tidak
berarti mengganti pangkat dan kedudukannya sebagai Nabi dan penerima wahyu,
melainkan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di
samping itu, bahwa makna khalifah setelah Rasulullah Saw. dalam pemimpin Negara
dan agama yang kewenangannya telah diberikan oleh yang berwenang. Sementara
Ahmadiyah Qadian menganggap bahwa khalifah yang menggantikan Nabi sekaligus
berfungsi mengganti kedudukan Nabi dan menerima wahyu dari Allah Swt.,
sementara Ahmadiyah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut hanyalah sebagai
mujaddid, tetapi dipilih oleh Tuhan melalui wahyu.
Adapun urutan pimpinan Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah
Movement) atau Ahmadiyah Lahore yang tidak mengenal khalifah sebagai pemimpin,
akan tetapi seorang Amir yang diangkat sebagai pemimpin adalah sebagai berikut:
Menurut sebagaian besar umat Islam, hal ini merupakan
sesuatu yang paling prinsipin yang membedakan antara mayoritas umat Islam
dengan aliran Ahmadiyah.
6. Iradah Allah
Iradah Allah tidak lahir
akibat suatu energi/kekuatan, justru yang menimbulkan energi. Setiap kekuatan
timbul dari Iradah Alalh. Demikian Allah telah memberikan introduksi tentang
Dzat-Nya:
"Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia."
Kun berupa iradah yang memutuskan untuk mewujudkan suatu
keputusan. Keputusan-Nya itu sudah ada, sebab Dia adalah 'Alimul Ghaib'
(Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib). Dia yang mengambil keputusan untuk
mewujudkan/menerapkan suatu kepatusan tertentu. Dari aspek itulah terdapat
istilah waktu. Tetapi waktu tersebut tidak menuntut terjadinya perubahan pada
Dzat-Nya. Dan tidak pula sekadar mengadakan perubahan pada suatu zat tertentu
sjaa, justru seluruh alam aya kadang-kadang Dia rubah. Di bagian mana saja Dia
menanamkan pengaruh/gerakan, di sanalah terjadi perubahan. Akan tetapi sejauh
yang berkaitan dengan energi/kekuatan, iradah Ilahi ini tidak memerlukan energi
seperti yang diperlukan oleh iradah makhluk.
7. Nabi Isa dan Al-Masih
Menurut kaum Ahmadiyah, kepercayaan tentang masih
hidupnya Nabi Isa di langit merupakan salah satu bahaya besar bagi keimanan
agama Islam dan kaum muslimin. Kaum muslimin yang percaya bahwa Nabi Isa masih
hidup di langit dengan jasad kasarnya, secara tidak sadar telah mendukung dan
membantu kelangsungan hidup agama Kristen serta cenderung memuliakan Nabi Isa
melebihi kemuliaan nabi Besr Muhammad Saw. sendiri.
Banyak orang salah dalam menafsirkan surat Al-Nisa [4]:
157-158. Menurut mereka, Nabi Isa tidak disalib tetapi diangkat oleh Allah ke
alngit. Orang yang disalib adalah orang lain. Allah telah menggantikan Nabi Isa
dengan orang lain yang diserupakan seperti dirinya. Bunyi ayat tersebut adalah:
"Dan
Karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa
putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak
(pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh
itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa
kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Menurut
kaum Ahmadiyah, perkataan wamâ shalbûhu dalam ayt di atas bukan berarti
bahw orang Yahudi tidak menaruh Nabi isa di atas salib, tetapi yang sebenarnya,
mereka tidak menyalibnya smpai mati, di dalam kamus Munjid terbaca pengertian shalbûhu
adalah Ia menyalib tulang-tulang, artinya mengeluarkan sum-sumnya.
Sedangkan
Nabi Isa tidak dipatahkan tulang-tulangnya dalam peristiwa penyaliban tersebut.
Adapaun maksud perkataan syubiha lahum (disamarkan atas mereka) bukan
berarti itu diaganti dengan orang lain, melainkan disamarkan seolah-olah telah
mati di atas kayu salib. Tentang perkatan rafa'a bukan berarti di angkat
ke langit akan tetapi pengertian tersebut sesuai dengan hadits Nabi Muhammad
Saw. yang berbunyi, "Apabila seorang hamba merendahkan hatinya, Allah
meninggikan derajatnya sampai langit ke tujuh."
Menurut
pengertian kaum Ahmadiyah, Nabi Isa telah wafat sebagaimana wafatnya manusia
lain dan beliau dikuburkan di daerah Kashmir Punjab Hindustan.
Pada
akhir zaman, Nabi Isa akan turun ke dunia sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam hadits Rasulullah Saw.:
Dari
Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Tuhan yang diriku di
tangan-Nya, akan turun Isa ibnu Maryam kapdamu menjadi hakim yang adil, maka ia
memecah salib, membunuh babi, menghentikan peperangan, and melimpahkan harta
yang banyak sehingga tak ada lagi yang menerimanya.
Menuru pemikiran kaum
Ahmadiyah, Yesus Kristus telah wafat dan turnnya putra Ibnu maryam ke dunia,
bukan berarti datangnya kembali dalam bentuk pribadi yang sama, tetapi itu
menunjukkan akan datangnya seorang Al-Mau'ud (yang ditunggu) di antara
kaum Muslim yang diberi tugas khusus untuk membawa risalah Islam kepada dunia
Kristen.
Begitu pula untuk
menjernihkan sanggahan bahwa Islam disebarluaskan atas ujung pedang, maka
sangat perlu menghapuskan doktrin palsu tentang datangnya seorang Mahdi yang
akan menyebarluaskan Islam dengan senjata. Islam tidak memerlukan kekerasan
atau paksaan demi kemenangan ruhaninya. Sebagaimana di zaman lampau, maka di
waktu yang akan datang pun Islam akan menawan hati manusia dengan keindhan yang
murni dari ajarannya.
Sebaliknya, Al-Mahdi adalah
nama lain bagi Al-Masih yang akan datang. Inilah arti penting dakwah Mirza
Ghulam Ahmad yagn menyatakan bahwa dia adalah Al-Masih dan Mahdi yang hanya
bertujuan untuk menghilangkan keduarintangan besar yang menghadang kemajuan Islam.
8. Konsep Kenabian
Pada umumnya, umat Islam
mendefiniskan Nabi dan Rasul adalah seorang laki-laki yang akil, baligh,
berbudi pekerti baik, dan kepadanya diturunkan wahyu syariat. Jika seorang
laki-laki tersebut diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat,
maka ia disebut sebagai Rasul. Sebaliknya, jika dia tidak diperintahkan
menyampaikan apa yang diterimanya sebagai wahyu, maka ia didefinisikan sebagai
Nabi.
Keterangan di atas memberikan
penjelasan bahwa setiap Rasul secara otomats berpangkat sbeagai Nabi, tetapi
tidak setiap Nabi berarti Rasl. Jumlah Nabi sangat banyak sekali, bahkan tidak
semuanya tersebut dalam Al-Qur'an. Ada yang menyebutkan bahwa jumlah Nabi
sebanyak 314 orang yang dimulai dari Nabi Adam as. dan berakhir hingga Nabi
Muhammad Saw.
Namun dalam perspektif
Muhammadiyah jumlah dan definisi Nabi yang sudah diuraikan di atas dianggap
kurang tepat. Menurut Ahmadiyah, jumlah Nabi tersebut tidak benar, karena
jumlah Nbi yang membwa syariat itu sangat sedikit. Hanya Nabi Musa as. Yang
membawa kitab Taurat dan Nabi Muhammad Saw. yang membawa Al-Qur'an. Sementara
bagi para Nabi yang lain, mereka hanya melanjutkan syariat-syariat Nabi
sebelumna. Adapun Zabur dan Injil bukanlah kitab sariat, karena semua Nabi
–setelah Nabi Musa as.– secara keseluruhan berhukum pad Taurat.
Adapaun pengertian Nabi itu
sendiri menurut Ahmadiyah adalah seorang laki-laki yang baligh, berakal,
berbudi pekerti yang baik, dan diturunkan wahyu kepdanya. Jika wahyunya
mengandung hukum-hukum yang belum terdapat dalam syariat sebelumnya, maka dia
dinamakan Nabi yang membawa syariat baru. Sementara jika mereka idak membawa
syariat baru, maka dia dinamakan Nabi pembantu. Fungsi dari Nabi pembantu itu
adalah menguatkan menjelaskan apa yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh
Nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiyah perbedaan antara Nabi dan Rasul hanya
nisbati, sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadiyah, baik Nabi
maupun Rasul sama-sama harus menyampikan wahyu yang diterimanya, Karen kalau
tidak disampikan ia akan berdosa Karen telah menyemunyikan pengetahuan yang
telah diterimanya dari Alalh Swt. Sinkatnya, menurut Ahmadiyah setiap Nabi
adalah Rasul adalah niscaya sebaliknya, setiap Rasul adalah Nabi.
Bagi kalgnan Ahmadiyah, baik
Qadian maupun Lahore mempunyai kategorisasi yang berbeda dengan umat Islam
secara umum. Menurut Ahmadiyah Qadian, ada tiga kategorisasi kenabian, yaitu: pertama,
Nabi Shahib Al-Syari'ah dan Mustaqil. Nabi Shahib Al-Syari'ah
adalah Nabi yang membawa syariat dan hukum perundang-undangan Allh Swt.,
sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang diangkat sebagai Nabi
yang tidak mengikuti Nabi sebelumnya, seperti kehadiran Nabi Musa as. Yan
kedatgangannya bukan Karena mengikuti ajaran sebelumnya, tetapi langsung
menjadi Nabi yang membawa syariat Taurat. Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw.
yang dating membawa Al-Qur'an.
Kedua,
Nabi Mustaqil Tashri', yaitu seorang hamba Allah Swt. yang berpangkat
sebagai Nabi yang kehadirannya tidak mengikuti Nabi sebelumnya, tetapi tiak
membawa syariat baru. Banyak para Nabi yang masuk dalam kategori ini, antara
lain: Nabi Zakaria, Yahyah, Sulaiman, dan Daud, semuanya ditugakan oleh Allah
Swt. untuk meneruskan apa yang telah diajarkan oleh Musa as. yang terdapa dalam
Kitab Taurat, meskipun kehadiran mereka bukan atas dasar mengikuti Musa as. Dan
ketiga, Nabi Zhili Ghair Tasyri', yaitu hamba Allah Swt. yang
berpangkat sebgai Nabi karena semata-mata mendapatkan anugerah dari Allah Swt.
Kepangkatannya didapatkan oleh karena kepatuhan kepada ajaran para Nabi
sebelumnya dan setia menjalankan syariatnya. Kategori Nabi seperti ini
kedudukannya berada satu tingkat di bawah kenabian dan idak membawa ajaran
baru. Mereka yang masuk dalam kategori ini salah satunya adalah Ghulam Ahmad.
Lain halnya dengan Ahmadiyah
Lahore yang membagi klasifikasi kenabian menjadi dua kategori yaitu, pertama,
Nabi Haqiqi, aitu Nabi yang ditunjuk langsung oelh Allah Swt. dan membaw
sariat. Kedua, Nabi Lughawi, yaitu seroang manusia biasa, tetapi
banyak persamaan yang cukup signifikan dengan para Nabi yang lain, yakni dia
menerima wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi bukanlah wahyu yng dapt berfungsi
sebgai syariat meskipun banyak mengandung banyak pengetahuan dan berita ghaib.
Nabi dengan kategori ini sering juga disebut dengan 'Nabi bukan haqiqi.'
Salah satu tokoh Ahmadiyah
Qadian, R. Syafi'i R. Batuah, mengatkan bahwa aliran Qadian lebih banyak
menggunakan istilah Nabi Zhili atau Nabi buruzi yang mengnadung
pengertian Nabi bayangan. Maksud dari pemaknaan tersebut adalh bahwa Nab yang
hadits akan menjadi bayangan Nabi sebelumnya, karena ia mengikuti dan tunduk
terhadap semua sifat yang dimiliki oleh Nabi sebelumya. Nabi buruzi atau
Nabi zhili ini diangkat oleh Allah Swt. Di kalangan Ahmadiyah Qadian
juga sering menyebut Nabi dalm kategroi ini sebagai Nabi ummati, majazi,
atau nabi kiasan. Sementara tokoh
Ahmadiyah Lahore, Djojosugito, menganggap bahwa Nabi mustaqil memiliki
wewenang untuk menghapus atau menambah ajaran yan dibawa oleh Nabi sebelunya
dengan petunjuk yang telah diberikan kewenangan oleh Allah Swt., sehingga
sedikit demi sedikit perubahan syariat kea rah yang lebih sempurna akan terjadi
secara kontinu selama proses kenabian mustaqil masih ada.
Terkait dengan Ghulam Ahmad,
terjadi perbedaan mendasar antara aliran Qadian dan Lahore. Alrian Qadian
menganggap bahwa kenabian yag membawa syariat bau sudah berakhir, tetapi untuk
kenabian zhili ghairi tasyri'i masih akan terus terbuka. Namun kenabian
ini akan berlangsung kedatangannya dari umat Nabi Muhammad Saw. Pada ranah ini,
aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi. Sementara aliran Lahore
meyakini bahwa Ghulam Ahmad hanyalah sebagai mujaddid, meskipun secara implicit
mereka menganggap sebagai Nabi lughawi atau majazi.
Pintu Kenabian Tetap Terbuka
Bagi kaum Ahmadiyah wahyu itu
banyak macamnya, yaitu:
1.
Wahyu
dengan syari'at
2.
Wahyu
tanpa syari'at
Wahyu dengan syari'at tidak
mungkin lagi turun sesudah Al-Qur'an karena syari'at Al-Qur'an telah sempurna
dan berlaku sampai hari kiamat. Sedangkan wahyu tanpa syari'at, mungkin saja
turun sewaktu-waktu.
Orang-orang yang percaya
bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw. tidak ada Nabi lagi, memaparkan dalail naqli
ayat Al-Qur'an:
"Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala
sesuatu."
Sedangkan bagi kaum Ahmadiyah, kalimat khataman
nabiyin itu mengandung pengertian:
Pertama, jika perkataan khataman di-idhafatka-kan/dirangkaikan dengan kata
benda jamak, maka artinya adalah yang afdhal, paling sempurna, yang paling
baik. Maka khataman nabiyyin artinya adalah yang paling baik dari
sekalian Nabi.
Kedua, arti khataman adalah cincin. Sebagaimana cincin
itu dipakah untuk prhiasan, begitu pula Nabi Muhammad Saw. merupakan perhiasan
bagi sekalian Nabi.
Ketiga, arti khataman adalah stempel atau cap. Kalimat mâ
yukhtamu bihi pada ayat di atas adalah berarti yang distempel. Dalam
konteks tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad adalah stempel bagi sekalian Nabi.
Dengan setempel pengesahan dari Nabi Muhammad umat Islam mengetahui kebenaran
semua Nabi.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka kaum Ahmadiyah
berkeyakinan bahwa pintu wahyu dan kenabian masih tetap terbuka. Tegasnya, Allah
masih akan terus menurunkan wahyu-wahyu-Nya senantiasa akan terus mengutus
Nabi-nabinya walau tanpa membawa syari'at baru.
Ahmadiyah dan Khaataman-Nabiyyiin
Keberatan utama yang ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah
ialah, bahwa Jemaat Ahmadiyah dituduh tidak mengakui serta menolak Nabi
Muhammad Musthafa s.a.w. sebagai khaatamannabiyyiin (33:41).
Pengingkaran kepada khaataman-nabiyyiin yang merupakan salah satu aqidah
yang sangat penting dalam ajaran Islam, berarti keluar dari Islam. Karena
alasan inilah kemudian berbagai macam fitnah bermunculan dan ditimpakan kepada
Jemaat Ahmadiyah.
Semua itu terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman
terhadap ajaran Islam dalam Ahmadiyah. Padahal Pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri
dengan jelas mengakui Nabi Muhammad s.a.w. sebagai khaataman-nabiyyiin,
dan pengakuan itu juga dipegang teguh para penerus beliau dan seluruh anggota
Jemaat Ahmadiyah. Dalam suatu kesempatan, berkaitan dengan pemahamannya mengenai
khaatamannabiyyiin, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda:
“Inti
dan saripati agama kami tersimpul dalam kalimah: Laa Ilaaha Illallaah
Muhammadur Rasuulullah. Itikad yang kami anut di dunia dan dengan karunia
serta taufik Allah, bersama kalimat itu kami akan berlalu dari alam fana
ini kelak ialah Sayyidina wa Maulana Muhammad Musthafa shallallaahu
‘alaihi wasallam adalah Khaataman-Nabiyyiin. Di tangan beliau agama
telah menjadi genap dan nikmat Allah telah mencapai derajat yang sempurna.
Dengan perantaraan agama itu manusia berjalan di atas jalan yang lurus dan
dapat mencapai hadhirat Allah Ta'ala…” (Izalah Auham, hlm.
169-170)
Inilah alasan terbesar para penentang Ahmadiyah yang
telah bangkit membawa tekad untuk menghancurkan dan mengeluarkan Jemaat
Ahmadiyah dari Islam. Mari kita simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang
jernih dan lapang disertai dengan pikiran yang tenang dan adil, sehingga dapat
kita simpulkan bahwa tuduhan mereka itu jauh dari nilai-nilai kebenaran.
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah mengimani seluruh makna
ayat khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Sunnah,
Hadits, Ijma’ dari orang-orang shaleh terdahulu, dan juga
bersesuaian dengan ungkapan serta pemakaian bahasa Arab. Jemaat Ahmadiyah
mengimani makna harfiah (letterlijk) ayat ini, dan juga mengimani
makna-makna hakikinya yang memiliki pengertian bahwa Hadhrat Rasulullah
Saw. adalah yang paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan
merupakan cincin [perhiasan] para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah
berakhir pada diri beliau. Kunci setiap fadhilah (keunggulan) telah
diserahkan ke tangan beliau. Syari’at beliau - yakni Al-Qur’an dan
Sunnah - akan terus berlaku hingga Hari Akhir dan meliputi seluruh
penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada
seorang pun yang dapat me-mansukh-kan syari’at ini barang setitik
pun juga.
Jadi, Nabi Muhammad Saw. adalah nabi/rasul pembawa syari’at
terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau Saw. adalah penutup
sekalian nabi. Tidak ada seorang nabi pun yang dapat terlepas dari lingkup ke-khaatam-an
beliau dari sisi mana pun juga. Tidak ada lagi nabi sebelum beliau yang secara
jasmani masih hidup di dalam era beliau. Tidak pula setelah beliau berlalu dari
dunia ini, masih ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup abadi secara
jasmani. Na’udzubillaah.
Dalam pengertian hakiki pun beliau
s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia dari nabi yang
terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau. Sebab, beliau
merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia
kenabian yang berasal dari ketaatan kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. tetap
akan berlangsung hingga Kiamat (4:70).
Ringkasnya, Jemaat Ahmadiyah
mengakui Rasulullah Saw.
sebagai khaataman-nabiyyiin dalam
makna harfiah ataupun makna hakiki, dan Jemaat Ahmadiyah secara terhormat
berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar Hadits, para ulama
dari segenap golongan penentang Ahmadiyah juga tidak mengakui Rasulullah Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam
makna-makna yang telah dijelaskan di atas. Walaupun mereka mengatakan Rasulullah Saw. sebagai
penutup sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang berlawanan. Yakni, na'udzubillaah,
Rasulullah
Saw. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa ibn
Maryam as., baik secara jasmani
ataupun secara ruhani. Ketika beliau s.a.w. diutus, hanya ada satu nabi lain
yang masih hidup secara jasmani. Namun disayangkan ia masih hidup di masa
kehidupan beliau s.a.w. dan ketika beliau s.a.w. telah wafat, ia masih tetap
hidup. Rasulullah Saw.
telah wafat dan tinggal di alam barzakh
1400 tahun yang lalu, tetapi Nabi
Israili ini masih tetap hidup abadi sampai sekarang dengan jasad kasarnya entah
di mana.
Jika dianggap benar bahwa Nabi Isa
as. dari Nazareth masih hidup di langit entah di mana dengan usia lebih dari
2000 tahun, lalu bagaimanakah beliau menjalankan kehidupan dan kewajibannya
sebagaimana layaknya manusia? Bagaimanakah beliau makan (5:76, 21:8-9)?
Bagaimanakah beliau shalat?
Bagaimanakah beliau mendirikan shalat dan
melaksanakan kewajiban berzakat serta
kepada siapakah zakatnya
diberikan (19:32-33)?
Jadi, cobalah bersikap adil sedikit. Bagaimanakah makna
jasmani kata khaatam penutup) itu menurut orang-orang yang percaya Nabi
Isa Al-Masih as. dari Nazareth masih hidup?
Dan benarkah Rasulullah Saw.
telah menjadi penutup di antara keduanya?
Selanjutnya dengan mengikuti
pandangan para ulama, kita semua mengetahui bahwa meskipun ada kekuatan suci Rasulullah Saw. yang
sangat agung, umat manusia zaman ini tetap saja terkena penyakit-penyakit
ruhani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit ruhani.
Kekuatan suci Rasulullah Saw.
secara langsung tidak mampu menyelamatkan umat ini. Sebab, seorang Rasul Bani
Israil, melalui semburan nafas kemasihannya
akan turun ke dunia ini untuk menyelamatkan umat dari cengkeraman maut serta
menganugerahkan suatu kehidupan ruhani baru.
Perhatikanlah! Dengan mengikuti
pandangan para ulama, tidakkah Nabi Isa putera Maryam as. dari Nazareth dapat
juga dianggap sebagai khaataman-nabiyyiin dalam
makna jasmani maupun ruhani?
Kepada Jemaat Ahmadiyah selanjutnya
dikatakan: “Kalian sepenuhnya tidak mengakui Rasulullah
Saw. sebagai nabi terakhir. Dan
dengan cara penafsiran, kalian telah membuka jalan bagi kedatangan seorang nabi
ummati (pengikut)
dan nabi zilli (bayangan),
sehingga dengan itu kalian telah melanggar
khaatamun nubuwwat.”
Jemaat Ahmadiyah mengakui bahwa
munculnya nabi ummati
seperti itu dapat terjadi dalam umat Islam dan nabi itu merupakan hamba kamil (sempurna)
dari Rasulullah Saw.
serta sepenuhnya meraih karunia dari beliau Saw., sama sekali tidaklah
menentang makna ayat khaataman-nabiyyiin.
Sebab, seorang hamba yang fana dan
kamil tidak
dapat dipisahkan dari majikannya. Jemaat Ahmadiyah bertanggungjawab untuk
membuktikan pendiriannya ini berdasarkan Al-Qur’an,
sabdasabda mulia Nabi Muhammad Saw., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari
ungkapan-ungkapan serta pemakaian bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan hal itu, pada
halaman selanjutnya akan dipaparkan lebih rinci. Namun sebelumnya, akan dibahas
bagaimana orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada Ahmadiyah sebagai
penghancur segel/meterai kenabian. Mereka menyatakan bahwa, secara mutlak,
tanpa syarat, tanpa pengecualian, dan dalam setiap makna harus mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai
nabi terakhir. Artinya, adanya kenabian jenis apa pun juga setelah Nabi
Muhammad Saw. tidak akan dibenarkan dan diakui, tetapi jika ditanyakan kepada
mereka, maka mereka terpaksa mengatakan: “…bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth
suatu hari nanti pasti akan turun ke dunia di tengah umat ini.”
Apabila Anda mempersoalkannya kepada
para ulama zaman ini, yakni, “Kalian telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. secara
mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi terakhir dalam makna bahwa sesudah
beliau Saw. tidak akan datang nabi jenis apa pun juga; lalu bagaimana pula
kalian telah memperoleh hak untuk membuat pengecualian itu dengan mengatakan
bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth akan dating kembali?”
Kemudian sebagai jawabannya, mereka
paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna, yaitu: “Karena Nabi Isa as.
adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang kedua kali
tidak akan memecahkan segel/meterai
Khaatamun Nubuwwat.” Apabila ditanyakan kepada mereka
apakah beliau akan datang membawa Syari’at
Musa, maka mereka mengatakan:
“Tidak, melainkan beliau akan dating tanpa syari’at.”
Kemudian apabila ditanyakan, “dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas,
perintah dan larangan bagi beliau? Hal-hal apa yang akan beliau nasihatkan, dan
hal-hal apa yang akan beliau larang?” Maka mereka mengatakan: “Pertama-tama
beliau akan menjadi anggota umat Islam, kemudian mengikuti Syari’at Islam, lalu
menjadi nabi.” Lebih lanjut mereka tidak mampu menjawab berbagai macam
pertanyaan. Yakni, apakah para ulama akan mengajarkan
Syari’at
Islam kepada Al-Masih? Atau, kepada
beliau akan diberikan pengetahuan tentang Al-Qur’an,
Sunnah dan
Hadits
melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara
langsung? Namun, dari emeriksaan ini
terbukti dengan telak bahwa mereka sendiri tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai
nabi terakhir secara penuh. Bahkan mereka memberikan pengecualian bahwa sesudah
Rasulullah s.a.w.
dapat saja datang seorang Nabi lama dari Bani Israil yang bukan pembawa syari’at, ummati, mengikuti Syari’at Islam kata
demi kata, dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.
Jemaat Ahmadiyah berhak menanyakan
kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi penganut aqidah semacam itu,
dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa
sesudah Rasulullah Saw.
tidak akan dating lagi kenabian jenis apa pun?
Arti Khaataman-Nabiyyiin
Firman Allah Ta’ala: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum
laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasulullah dan Khaataman Nabiyyiin [Meterai
sekalian nabi].” (33:41)
Bagaimana sesungguhnya hubungan
antara khaataman-nabiyyiin
dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu?”
Perlu diperhatikan adanya kata laakin (melainkan)
yang disisipkan sebelum kata rasulullah
dan
khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan
biasanya digunakan untuk menghilangkan
keraguan. Setiap orang Islam jika membaca kalimat pertama tersebut juga timbul
pertanyaan dan keraguan mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu? Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat
4 menyatakan, “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang
akan tanpa keturunan.”
Sejarah Islam mencatat bahwa empat
putra kandung Hz. Rasulullah Saw.
(Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim)
semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah Saw. sampai
dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya.
Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah Swt. dalam Surah
al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau Saw. tidak akan
memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia
menampilkan kata laakin dan
menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah
Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara
demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah
Saw. bukan bapak dari seorang
lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar
(terputus atau tidak berketurunan),
sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau
adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah
dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga.
Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wa
khaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama
lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan beliau, bahkan
beliau Saw. merupakan stempel para nabi. Dengan stempel atau cap beliau s.a.w.
seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi
beliau Saw. bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak
ruhani bagi para nabi.
Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau
cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah Saw., bahkan
lebih menguatkan kesempurnaan beliau Saw., bahwa segala sifat-sifat yang utama
yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan dating terkumpul
dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad
Saw. Hanya beliau Saw. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamulanbiya’, insan kamil, dan
rahmatan lil alamin sehingga
menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.
Kenabian
Setelah Nabi Muhammad Saw.
Dikatakan pula oleh para ulama penentang Ahmadiyah bahwa
pintu wahyu telah tertutup, malaikat Jibril tidak mungkin datang lagi ke dunia
menyampaikan wahyu sehingga adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. tidak dapat
dibenarkan. Bagaimanakah kita sebagai manusia, yang juga ciptaan-Nya, mencoba
menghalang-halangi sifat Mutakallim (Maha Berkatakata) Allah dan dengan
bangga mengatakan sampai dengan hari ini Allah tidak pernah sekali pun berkata-kata
kepada makhluk-Nya? Apa dasarnya kita dapat mengklaim bahwa malaikat Jibril
tidak pernah turun lagi ke dunia untuk menyampaikan wahyu? Bagaimana pula kita
dapat mengklaim bahwa seorang nabi tidak mungkin datang setelah Nabi Besar
Muhammad Saw.? Apakah kita yang mengatur pekerjaan Allah? Naudzubillah min
dzalik.
Sekarang akan kita fokuskan pada persoalan: Apakah
kenabian dapat datang setelah Nabi Muhammad Saw.? Kembali kita dihadapkan
kepada Al-Qur’an untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Sehari semalam
orang Islam diwajibkan minimum shalat 5X = 17 raka’at = 17X
membaca Surah al-Fatihah: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…”
Apakah jalan yang lurus itu? Apakah nikmat yang telah
dianugerahkan kepada mereka dan apakah kita juga dapat meraih nikmat-nikmat
tersebut seperti kaum-kaum yang terdahulu? Inilah jawaban Al-Qur’an mengenai
hal tersebut.
“…dan sekiranya mereka mengerjakan apa yang dinasihatkan
kepada mereka, niscaya (hal itu) akan lebih baik bagi mereka dan lebih
meneguhkan. Dan, jika demikian tentu akan Kami berikan kepada mereka ganjaran
besar dari sisi Kami; Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan yang lurus.
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul ini maka
mereka ini termasuk
di antara orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan nikmat, yakni:
nabi-nabi, shiddiqshiddiq, syahid-syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka
itulah sahabat yang sejati. Inilah karunia dari Allah, dan memadailah Allah
sebagai Zat Yang Maha Mengetahui.“ (4:67-71)
Inilah kelebihan Hz. Rasulullah s.a.w.
dibandingkan dengan nabi-nabi/rasul-rasul lainnya. Ayat ini sangat terang
benderang dan mudah dipahami. Sesungguhnya Allah Sendiri yang akan memasukkan
kita ke dalam golongan para nabi, shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh.
Bagaimana mungkin pintu kenabian sama sekali tertutup bagi umat Islam?
Penolakan terhadap pintu kenabian, yaitu tidak akan ada lagi nabi dalam bentuk
apa pun juga dalam umat Muhammad, secara langsung juga berarti penolakan
terhadap kemungkinan umat Islam tidak dapat meraih ketinggian martabat sebagai
shiddiq, syahid dan shaleh. Dengan kata lain, tidak ada lagi
para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh dalam umat Islam.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. bersabda mengenai kecintaannya
kepada junjungan beliau yaitu Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw.
sebagai berikut:
“Bagiku tidak mungkin meraih nikmat ini seandainya aku
tidak mengikuti jalan yang ditempuh majikanku, anutanku, kebanggaan para anbiya,
insan yang terbaik, Muhammad Musthafa Saw. Apa pun yang kuperoleh, telah
diperoleh karena mentaatinya. Aku mengetahui dari pengalaman pribadi dan
berdasar ilmu yang sempurna bahwa siapa pun tidak dapat mencapai kedekatan
kepada Tuhan tanpa mentaati nabi ini dan mustahil pula meraih makrifat yang
sempurna. Sekarang aku beritahukan pula bahwa sesudah orang mentaati Rasulullah
Saw., dengan sesungguh-sungguhnya dan sesempurnasempurnanya, ia dianugerahi
hati yang cenderung kepada kebajikan, suatu hati yang sehat, yakni tidak ada
kecintaan kepada dunia dan mulai mendambakan kelezatan abadi dan lestari.
Kemudian sebagai gantinya, hatinya sekarang layak memperoleh kecintaan yang
semurni-murninya dan sempurna kecintaan Ilahi.
Semua nikmat ini diperoleh sebagai warisan berkat ketaatan kepada Rasulullah
Saw.” (Ruhani Khazain, jld. 22; Haqiqatul Wahyi, hlm. 24-25)
Tetapi sayang sekali, disebabkan
penolakan terhadap kenabian, kata ma’a (termasuk)
dalam ayat tersebut telah diterjemahkan menjadi beserta
atau bersama-sama.
Ini berarti bahwa orang-orang Islam hanya akan beserta atau bersama-sama para
nabi dan bukan termasuk golongan para nabi. Akan tetapi pihakpihak yang
mengemukakan keberatan itu tidak menyadari bahwa dalam ayat itu tidak hanya
disebutkan para nabi saja, melainkan setelah itu disebutkan secara
berturut-turut para shiddiq, syahid dan
orang-orang shaleh.
Jika kata ma’a diartikan
sebagai beserta atau
bersama-sama,
maka kita harus menerima kenyataan pahit bahwa di dalam umat Islam tidak akan
ada seorang pun yang dapat menjadi seorang shiddiq,
syahid dan
shaleh, namun yang ada hanyalah beberapa
gelintir orang yang beserta/bersama-sama para shiddiq,
syahid dan orang-orang shaleh. Atau dengan
kata lain bahwa semua orang dalam umat ini akan dimiskinkan dari segala derajat
kebajikan dan ketakwaan. Dapatkah kita membayangkannya? Padahal umat Islam
telah diberi predikat oleh Allah Ta’ala:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia…” (3:110)
Hal yang sebenarnya adalah, bahwa
kata ma’a tidak
hanya berarti kebersamaan dua buah benda sehubungan dengan tempat dan waktu,
melainkan kadangkala kata ma’a juga
digunakan untuk menyatakan kebersamaan sehubungan dengan derajat/martabat.
Sebagai dalil penguat bahwa kata ma’a mempunyai
arti termasuk,
Al-Qur’an mengemukakan
sebagai berikut:
“Sesungguhnya
orang-orang munafik berada dilapisan paling bawah dalam Api; dan engkau tidak
akan mendapatkan penolong bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan
memperbaiki diri dan berpegang teguh kepada Allah, serta mereka ikhlas dalam
pengabdian mereka kepada Allah. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin.
Dan, kelak Allah akan memberi ganjaran besar kepada orang-orang mukmin.”
Dalam ayat tersebut, kalimat “termasuk golongan
orang-orang mukmin” digunakan bagi orang-orang yang bertaubat, memperbaiki
diri, beramal shaleh, berpegang teguh pada Allah dan tulus ikhlas dalam
pengabdiannya kepada agama. Jika kita melakukan halhal tersebut maka kita
termasuk golongan orang-orang mukmin. Apabila kata ma’a diartikan
sebagai beserta atau bersama-sama, maka pengertiannya adalah
bahwa sekalipun kita memiliki dan melakukan hal-hal mulia tersebut, kita tidak
akan menjadi orang mukmin, melainkan hanya ditempatkan beserta atau
bersama-sama dengan orang mukmin. Dapatkah kita terima pengertian ini? Jelasnya,
kata termasuk mempunyai nilai dan bobot yang lebih dari kata beserta atau
bersama-sama yaitu penekanannya pada imbalan atau predikat yang
akan diterima jika kita memenuhi dan melaksanakan syarat yang telah ditentukan.
Dalam Surah Ali ‘Imran ayat 194, juga dapat
ditemukan pemakaian kata ma’a (termasuk) sebagai berikut,
“Dan wafatkanlah kami dalam golongan orang-orang baik.”
Setiap orang Islam pasti mengartikan ayat ini sebagai
berikut:
“Ya Allah, masukkanlah aku dalam golongan
orang-orang yang baik (berbakti) dan wafatkanlah
aku.” Tidak ada seorang pun yang kemudian mengartikan: “Ya Allah, ketika
orang-orang yang baik (berbakti) akan wafat, maka wafatkanlah aku beserta atau bersama-sama mereka.”
Setelah dikemukakan beberapa dalil penguat pemakaian kata
ma’a, maka dapat disimpulkan arti kata ma’a jika dihubungkan dengan
4:67-71 seperti yang telah dijelaskan di atas, secara keseluruhan mengandung
arti bahwa pintu kenabian tetap terbuka dan seorang nabi dapat diutus dalam
umat Muhammad sepanjang nabi itu patuh dan taat kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw.
Di samping kesaksian Al-Qur’an, terlihat juga
dalam sabdasabda Rasulullah Saw. bahwa pintu kenabian tidak mutlak tertutup.
Ternyata beliau Saw. berkali-kali mengisyaratkan kedatangan Isa ibn Maryam
seperti yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits Shahih, bahkan
beliau Saw. menyebutnya dengan perkataan Nabi Allah sebanyak 4X seperti yang
dimuat dalam Hadits dengan redaksi panjang mengenai Dajjal dan
Nabi Allah Isa yang diringkas sebagai berikut:
“Dari Nawwas bin Sam’an ra. berkata:
Pada suatu pagi Rasulullah menceritakan tentang Dajjal,…Nabi
Allah Isa dan pengikut-pengikutnya terkepung…Nabi Allah Isa dan sahabatnya
berdoa kepada Allah…Nabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya datang di bumi
itu…Nabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya berdoa kepada Allah…” (Shahih
Muslim Syarah
Nawawi 18/63, Sunan
Abu Dawud 4/117, Sunan Tirmidzi 9/92, Sunan Ibnu Majah 2/356,
Musnad Ahmad 4/181, Mustadrak Hakim 4/492)
Dalil-Dalil Al-Qur’an Mengenai Kenabian Setelah
Nabi
Muhammad Saw.
Di bawah ini beberapa dalil Al-Qur’an mengenai
adanya nabi/rasul setelah Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
44:6-7
Allah Ta'ala bersifat mursil (yang mengutus
Rasul-rasul-Nya). Sifat Allah Ta'ala ini akan selalu dan terus bekerja
selama-lamanya. Sifat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Jadi, adanya
kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. adalah tidak mustahil dengan
mempertimbangkan salah satu sifat AllahTa'ala ini.
22:76
“Allah senantiasa memilih Rasul-rasul-Nya dari antara
malaikatmalaikat dan dari antara manusia.” Perkataan yashthafii
(memilih) dalam ayat ini, menurut peraturan bahasa Arab adalah fi'il mudhari,
yaitu menunjukkan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Jadi, Allah Swt.
sedang atau akan memilih rasul-rasul-Nya menurut keadaan zaman atau menurut
keperluannya. Dengan kata lain ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu.
3:180
Dalam ayat tersebut terdapat perkataan yadzara,
yamiidza, yuthli'a, yajtabii. Bentuk perkataan tersebut adalah fi'il
mudhari yang dipakai untuk zaman kini dan zaman yang akan datang. Jadi
maksud ayat ini adalah Allah Swt. akan (terus) engirimkan utusan-utusan-Nya untuk memisahkan yang baik
dari yang buruk dan untuk memberitahukan tentang kabarkabar ghaib.
7:36
Dalam
ayat ini: “Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari
antaramu ...”
Yang dimaksudkan anak cucu Adam adalah umat manusia. Baik umat manusia terdahulu
sebelum Nabi Muhammad Saw. dan umat manusia setelah Nabi Muhammad Saw. tetap
akan didatangi oleh Rasul-Rasul Allah dari antara anak cucu Adam (umat
manusia). Dengan kata lain ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu.
23:52
Kata ar-rusul,
berlaku juga bagi masa yang akan
dating Artinya, setelah Rasulullah Saw.
akan datang rasul-rasul lain yang memakan makanan yang baik dan mengerjakan
amalamal shaleh.
37:72-73
Ayat
ini menjelaskan apabila di dunia telah merajalela kesesatan dan kemungkaran,
maka Allah Swt. senantiasa mengirimkan utusan-utusan-Nya. Dan Allah tidak mendatangkan
azab sebelum mengutus seorang rasul (17:16).
6:125
Ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Ayat ini menjelaskan
bahwa hanya Allah Ta'ala yang lebih mengetahui di mana Dia menempatkan
tugas kerasulan. Hak prerogatif Allah Ta’ala ini tidak terikat dengan
tempat dan waktu. Adanya pernyataan Allah Ta'ala ini adalah karena
manusia [suka] mengatakan: “Kami sekali-kali tidak akan beriman sebelum kami
diberi seperti apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah.”
4:137
Ini adalah ayat Rukun Iman. Salah satunya adalah beriman
kepada rasul-rasul-Nya. Perintah beriman kepada rasul-rasul- Nya ini tidak
terikat dengan tempat dan waktu. Perintah ini berlaku untuk selama-lamanya bagi
tiap umat manusia di setiap zaman. Seandainya ayat khaataman-nabiyyiin kemudian
diartikan sebagai nabi penutup atau nabi terakhir yaitu tidak ada nabi apa pun
juga setelah Nabi Muhammad Saw., maka akan bertentangan dan bertabrakan dengan
ayat-ayat tersebut di atas yang menjelaskan dapat datangnya nabi/rasul setelah
Nabi Muhammad Saw. Padahal Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa tidak ada
pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya (4:83). Asas ini (tidak ada
pertentangan di antara ayatayat Al-Qur’an) adalah asas yang
mutlak harus terpenuhi ketika ingin menafsirkan Al-Qur’an.
Arti dan
Ungkapan Kata Khaatam Menurut Bahasa Arab
Setelah dikemukakan dalil-dalil
berdasarkan Al-Qur’an
mengenai dapat datangnya nabi setelah Nabi Muhammad Saw., alangkah baiknya
kemudian memperhatikan arti dan ungkapan kata khaatam
menurut kaidah bahasa aslinya.
Kata khaatam
menurut bahasa Arab adalah kata
benda tunggal, yang secara harfiah menurut kamus berarti cincin. Bentuk kata khaatam sebagai kata
benda tunggal yang digandengkan dengan kata benda jamak yaitu nabiyyiin di dalam Al-Qur'an hanya dapat
ditemukan dalam Surah al-Ahzab :
41.
Bentuk tersebut memiliki arti
derajat (rank) kemuliaan,
keunggulan, keutamaan, kesempurnaan, atau derajat lainnya, sehingga makna
sejati khaataman-nabiyyiin (cincin
para nabi) adalah bahwa beliau Saw. merupakan nabi yang tersempurna atau terunggul
atau termulia dari para nabi.
Contoh sederhana bentuk kata benda
yang digandengkan dengan kata benda juga dapat ditemukan dalam bahasa
Indonesia, misalnya pada kata bintang
lapangan atau bintang
panggung mengandung arti martabat atau status
(rank)
tertentu, yaitu orang yang memiliki pamor dan kualitas yang prima di lapangan
atau di atas panggung.
Nabi Muhammad Saw. dalam Surah al-Ahzab:
41 diberikan status oleh Allah Ta'ala sebagai
khaataman-nabiyyiin (cincin
para nabi) yaitu sebagai perhiasan para nabi. Deretan para nabi yang diutus
oleh Tuhan bagaikan deretan jari-jari, di mana ada satu jari yang memakai
cincin (bermahkota cincin), oleh sebab itu sejatinya Nabi Muhammad s.a.w.
adalah nabi yang termulia, terunggul, tersempurna, terindah dari para nabi.
Pada bagian selanjutnya akan
dikemukakan keterangan dalam Hadits serta
literatur-literatur terkenal dalam dunia Islam yang telah mengungkapkan
penggunaan kata khaatam dengan
arti yang menunjukkan suatu derajat (rank)
kemuliaan, keunggulan, keutamaan,
kesempurnaan, atau derajat lainnya, sebagai berikut:
(i) Hadhrat Ali
r.a. adalah “khaatam-ul-auliya” (Tafsir Saafi, pada Surah
al-Ahzab).
Apakah setelah Hz. Ali r.a. wafat tidak ada auliya (wali) lagi? Tentu
tidak. Banyak kemudian hadir waliwali Allah yang termashur dalam dunia Islam.
(ii) Imam Syafi’i r.h. (767-820) juga disebut “khaatam-ul-auliya”
(Al Tuhfatus-Sunniyya, hlm. 45)
(iii) Syekh Ibn-ul-Arabi r.h. (1164-1240) disebut sebagai
“khaatamul-auliya.” (Futuhaat Makkiyyah, pada halaman judul).
Tiga orang auliya (wali) Allah ini masing-masing
telah diberikan gelar khaatam-ul-auliya. Bagaimanakah kata khaatam
menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan sebagai terakhir/penutup
saja, yaitu tidak boleh ada lagi auliya (wali) lain setelah Hz. Ali
bin Abi Thalib r.a.?
Kita lanjutkan pemakaian dan ungkapan kata khaatam menurut
bahasa Arab.
(iv) Abu Tamaam (804-845), seorang penyair yang dijuluki
sebagai “khaatam-usy-syu’araa” (Dafiyaatul A'ayaan, vol. 1, hlm.
123, Kairo).
Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? Tentu tidak. Banyak
kemudian hadir penyairpenyair terkenal dalam dunia Islam.
(v) Abu Al-Tayyib (915-965) juga disebut sebagai “khaatam-usysyu’araa”
(Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi, Mesir, hlm. 10).
(vi) Abul al-'Alaa al-Ma'arri (973-1057) juga dinyatakan
sebagai
“khaatam-usy-syu’araa” (Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi,
Mesir, Catatan kaki, hal 10).
(vii) Syekh Ali Hazeen (1701-1767) juga dikenal sebagai “khaatamusy-syu’araa”
di negeri Hindustan (Hayati Sa'adi, hlm. 117).
(viii) Habib Shirazi juga dihormati sebagai “khaatam-usy-syu’araa”
di Iran (Hayati Sa'adi, hlm. 87).
Dari lima orang penyair di atas masing-masing telah
diberikan gelar khaatam-usy-syu’araa. Bagaimanakah kata khaatam
menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan sebagai terakhir/penutup
saja, yaitu tidak boleh ada lagi penyair lain setelah Abu Tamaam?
Kita lanjutkan pemakaian dan
ungkapan kata khaatam menurut
bahasa Arab.
(ix) Kamper (Camphor), obat anti ngengat dan jamur
disebut “khaatam-ul-kiraam” atau “obat yang terunggul.” (Sharh
Deewan-al Mutanabbi, hlm. 304).
Apakah tidak ada obat lain yang digunakan atau ditemukan setelah kamper, jika
kata khaatam diartikan sebagai terakhir/penutup?
(x) Imam Muhammad Abduh dari Mesir digelari “khaatam-ula’imma”
(Tafsir Al-Fatihah, hlm. 148).
Apakah tidak ada lagi pemimpin (Imam) agama setelah Muhammad Abduh?
(xi) Al-Sayyid Ahmad Al-Sanusi dinamakan “khaatam-ulmujahidiin”
(Akhbaar Al-Jaami'atul Islamiyyah, Palestina, 27 Muharram 1352 H).
Apakah Sayyid Ahmad Sanusi merupakan mujahid terakhir/penutup di
Palestina?
(xii) Ahmad bin Idris disebut “khaatam-ul-muhaqqiqin” (Al-Aqd-al-Nafees).
Apakah Ahmad bin Idris orang yang terakhir mencari kebenaran (haq)?
(xiii) Abul Fazl Al-Alusi juga disebut “khaatam-ul-muhaqqiqin”
(Pada halaman judul dari Tafsir Ruhul Ma’aani).
(xiv) Syekh Al-Azhar Saleem Al Bashree juga disebut “khaatam-ulmuhaqqiqin”
(Al-Heraab, hlm. 372).
(xv) Imam Abdurahman As-Suyuthi r.h. juga dicatat sebagai
“khaatam-ul-muhaqqiqin.” (Pada halaman judul Tafsir Itqaan).
Sampai di sini menjadi semakin jelas arti dan hakikat sesungguhnya dari kata khaatam.
Selanjutnya kita dapatkan lagi:
(xvi) Hadhrat Shah Waliyullah dari Delhi diakui
sebagai “khaatamul-muhaditsiin” (Ajaala Naafi'a).
Apakah tidak ada lagi ahli Hadits lain di dunia ini setelah Hz. Shah
Waliyyullah?
(xvii) Syekh Syamsuddin disebut sebagai “khaatama-tul-huffaaz”
(Al-Tajreed-us Sareeh, Muqaddimah, hlm. 4).
Hafiz adalah orang yang hafal luar kepala seluruh isi Al-Qur’an.
Apakah tidak ada lagi hafiz di dunia ini setelah Syekh Syamsuddin?
(xviii) Syekh Rasyid Ridha mendapat gelar sebagai “khaatam-ulmufassirin”
(Al-Jaami'atul Islamiyyah, 9 Jumadi-us-Tsaani, 1354 H).
Apakah tidak ada lagi ahli tafsir di dunia ini setelah Syekh Rasyid Ridha?
(xix) Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, halaman 271
terdapat istilah “khaatam-ul-wilayah” yang digunakan untuk menunjukkan
kesempurnaan wali. Apakah hanya ada satu wali saja di dunia ini?
(xx) Imam Suyuthi mendapat gelar “khaatam-ul-muhadditsin”
(Hadya Al-Shiah, hlm. 210).
Apakah setelah beliau tidak ada lagi ahli Hadits di dunia ini?
(xxi) Dalam Bible bahasa Arab kita temukan kata “khaatam-ulkamaal”
(gambar kesempurnaan). Kita lihat dalam Yehezkiel 28:12 versi bahasa
Indonesia sebagai berikut: “Hai anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan
mengenai raja Tirus dan katakanlah kepadanya: Demikianlah firman Tuhan Allah:
Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah.”
(xxii) Dalam Hadits kita temukan “khaatam-ul-muhajiriin.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Tentramlah wahai pamanku, sesungguhnya engkau
adalah khaatam-ul-muhajiriin dalam hijrah, sebagaimana aku adalah khaataman-nabiyyiin
dalam kenabian.” (H. R. Ibnu Asakir dan Asyaasyi,
dalam Kanzul ‘Ummal, Alaudin Alhindi, Muassatur Risalah, Beirut, 1989,
jld. XIII, hlm. 519, Hadits no. 37339).
Apakah setelah Hz. Abbas r.a. tidak ada lagi orang yang berhijrah ke Medinah?
Apakah Hz. Abbas r.a. adalah orang yang terakhir berhijrah ke Medinah? Tentu
tidak.
Dan masih banyak contoh lainnya mengenai pemakaian kata
khaatam yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur dunia Islam yang
mengungkapkan kata khaatam bukanlah mutlak berarti terakhir/penutup saja
dengan makna tidak boleh ada nabi dalam bentuk apa pun juga setelah Nabi
Muhammad Saw. seperti yang sering dikatakan oleh para ulama zaman sekarang
untuk menolak kenabian Hz. Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi/Masih
Mau’ud as.
Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad Mengenai Khaataman-Nabiyyiin
Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang
lengkap dan menarik tentang ke-khaatam-an Nabi Muhammad Saw. Gambaran
itu benar-benar sangat langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir
ayat khaatamannabiyyiin dari berbagai aspek di dalam buku-buku beliau
berdasarkan Al-Qur’an Suci, dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap
bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.
Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan
sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita Al-Qur’an Majid
adalah suatu kitab yang hidup; dan rasul kita, Yang Mulia Khaataman-Nabiyyiin
Muhammad Musthafa Saw. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama
kali diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau
telah mencontohkan kecintaan yang hakiki terhadap Nabi Muhammad Saw., dalam
kaitannya dengan kekhaatam-an Nabi Muhammad Saw.
Ketiga pokok masalah ini, yaitu keimanan terhadap Allah,
keimanan terhadap kitab, dan keimanan terhadap rasul–satu sama lain saling
terkait dan saling berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat
dipisahkan dari unsur-unsur lainnya. Seandainya kita mengesampingkan
unsur-unsur lain, aqidah-aqidah dan pandangan-pandangan Pendiri
Jemaat Ahmadiyah lainnya tentang suatu perkara, maka tidaklah mungkin dapat
disimak dan dikaji pemahaman beliau atas suatu perkara tertentu. Jadi, mengenai
Khaatamun Nubuwwat, mutlak untuk memperhatikan keimanan, aqidahaqidah
dan pandangan-pandangan beliau mengenai Allah Ta'ala serta Al-Qur’an
Karim. Sebab, jika tidak demikian maka kajian kita atas pemahaman beliau
tentang Khaatamun Nubuwwat tidak dapat diketahui secara sempurna.
Dalam kesempatan ini disampaikan beberapa pernyataan dan
sabda beliau berkenaan dengan khaataman-nabiyyiin sebagai berikut:
“Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap
jemaat saya bahwa kami tidak mempercayai Rasulullah Saw. sebagai Khaataman
Nabiyyiin merupakan kedustaan besar yang dilontarkan pada kami. Kami
meyakini Rasulullah Saw. sebagai Khaatamul Anbiya’ dengan begitu
kuat, yakin, penuh makrifat dan bashirat, yakni seratus ribu
bagian dari yang itu pun tidak dilakukan oleh orang-orang lain. Dan memang
tidak demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan rahasia yang
terkandung di dalam khaatamun nubuwwat Sang Khaatamul Anbiya’.
Mereka hanya mendengar sebuah kata dari para tetua mereka, tetapi tidak tahu
menahu tentang hakikatnya. Dan mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Khaatamun
Nubuwwat. Apa makna mengimaninya? Namun, kami dengan penuh bashirat (Allah
Ta’ala yang lebih tahu) meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul
Anbiya’. Dan Allah Ta’ala telah membukakan hakikat Khaatamun Nubuwwat
kepada kami sedemikian rupa, yakni dari serbat irfan yang telah
diminumkan kepada kami itu kami mendapatkan suatu kelezatan khusus yang tidak
dapat diukur oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang memang telah kenyang
minum dari mata-air ini juga.” (Malfuzhaat, jld. I, hlm. 342).
“Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan
tidak ada rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita
s.a.w. adalah Khaatamul Anbiya’, dan Qur’an Syarif adalah Khaatamul
Kutub. Jadi, janganlah menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan hendaknya
diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain kecuali sebagai khadim Islam.
Dan siapa saja yang mempertautkan hal [yang bertentangan dengan] itu pada kami,
dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia berupa berkat-berkat
melalui Nabi Karim Saw. Dan kami memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat
melalui Qur’an Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak
menyimpan di dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika
tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Jika
kami bukan khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan
ditolak, serta akan diperkarakan.” (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no.
4)
“Aku menyaksikan suatu kehebatan dalam wajahmu yang bersinar-cemerlang.
Yang melebihi semua sifat manusia lain.
Pada wajahnya tampak Tuhan Muhaimin dan seluruh
keadaannya bagaikan cermin.
Yang menampakkan keindahan sifat Ilahi dan
kebesarannya
sungguh menyilaukan.
Ia mengungguli seluruh manusia dengan kemampuan,
kesempurnaan dan keelokannya.
Dan kehebatan serta dalam kesegaran jiwanya.
Sedikit pun tidak diragukan lagi bahwa Muhammad s.a.w. adalah
terbaik di antara seluruh makhluk.
Paling mulia di antara yang mulia dan inti orang-orang
yang terpilih.
Segala sifat baik yang terpuji, pada diri beliaulah
puncaknya.
Dan anugerah/nikmat yang ada pada setiap zaman, telah
berakhir dalam dirinya.
Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat
qurub Ilahi sebelumnya.
Dan keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan
karena zaman.
Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada nabi-Mu
abadi selamanya.
Di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua.”
(Aina Kamalati-Islam, hlm. 594-596)
“Cahaya agung yang dianugerahkan kepada manusia yang
paripurna tidak terdapat pada wujud malaikat, tidak pula pada bintang-kemintang,
tidak pula pada sang rembulan, tidak pula pada sang surya. Cahaya itu tidak
terdapat pula di samudrasamudra dan sungai-sungai di dunia. Cahaya itu pula
tidak terdapat di dalam batu-batu mirah delima atau yaqut atau zamrud atau
permata nilam atau mutiara. Pendek kata, tidak terdapat disemua benda duniawi
atau samawi. Hanyalah dalam diri sang manusia, yakni, di dalam diri
manusia paripurna yang perwujudannya yang penuh, sempurna, tinggi lagi luhur
adalah terdapat pada Majikan serta Junjungan kita, Penghulu segala nabi,
Penghulu segala makhluk hidup, Muhammad Musthafa shallallahu ‘alaihi
wasallam. Jadi, cahaya itu dilimpahkan kepada manusia itu dan menurut
urutan martabatnya, kepada seluruh pribadi
yang sewarna dengannya, yakni, kepada orangorang yang sampai pada kadar
tertentu mengandung warna itu pula…Kemegahan setinggi-tingginya,
sesempurnasempurnanya, dan selengkap-lengkapnya ada pada Majikan kita,
Junjungan kita, pemandu jalan kita, Nabi Ummi, Shadiq, Mashduq [wujud
yang kebenarannya diakui] Muhammad Musthafa shallallahu ‘alaihi wassallam.”
(Ruhani Khazain, jld. 5, Aina Kamalati Islam, hlm. 120-121)
“Yang memiliki
kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama Musthafa.
Dia adalah nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran.
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi.
Imam yang memiliki rupa suci dan perilaku yang suci.”
Arti Hadits Laa
Nabiyya Ba'diy dan Aakhirul Anbiya’
Banyak orang mengatakan bahwa
tertutup atau berakhirnya pintu kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. adalah
berdasarkan keterangan dari sebuah Hadits yang mengatakan
aakhirul-anbiya’ (nabi terakhir) dan beliau Saw. bersabda laa nabiyya
ba’diy (tidak ada nabi sesudah aku).
Jadi, menurut Hadits-Hadits itu sesudah beliau
Saw. Tiada eorang nabi pun dapat datang. Akan tetapi sungguh sayang,
orang-orang itu hanya melihat kata-kata aakhirul-anbiya’ saja,
namun di dalam Hadits Shahih Muslim yang berkaitan dengankata itu ada
lanjutan kata-kata yang berbunyi mesjidku akhir segala mesjid.
Apabila perkataan inniy aakhirul-anbiya’ berarti
bahwa sesudah beliau Saw. tidak akan datang lagi nabi apa pun juga, maka
perkataan wa inna masjidiy aakhirul-masaajid pun juga akan berarti bahwa
sesudah mesjid beliau Saw. (Mesjid Nabawi) tidak akan dapat lagi didirikan
suatu mesjid apa pun.
Akan tetapi orang-orang itu, meskipun ada perkataan masjidiy
aakhirul-masaajid, tetap pada pendiriannya untuk menolak segala corak
kenabian. Walaupun ada kata-kata masjidiy aakhirul-masaajid, mereka
telah dan sedang mendirikan mesjidmesjid baru demikian banyaknya sehingga zaman
ini di beberapa kota, disebabkan oleh melimpahnya mesjid, banyak di antaranya
yang menjadi sunyi. Bahkan di beberapa tempat, sangat jarang kita dapati suatu
tempat yang tidak terdapat mesjid dalam jarak sejauh 20 km di antara satu
mesjid dengan mesjid lainnya. Apabila disebabkan oleh kedatangan aakhirulanbiya’,
yaitu tidak seorang manusia pun dapat menjadi nabi, maka setelahnya mengapa
mesjid-mesjid lainnya pun terusmenerus dibangun?
Jawaban yang mereka berikan atas pertanyaan itu ialah:
“…mesjid-mesjid ini kepunyaan Rasulullah Saw. juga; sedangkan di dalam
mesjid-mesjid itu dilakukan ibadah dengan mengikuti cara yang telah diajarkan,
yang untuk melaksanakan cara itu Rasulullah Saw. telah menyuruh untukmendirikan
mesjid. Jadi, adanya mesjid-mesjid baru ini merupakan bayangan mesjid itu
(Mesjid Nabawi), oleh karena itu mesjid-mesjid ini tidak terpisahkan darinya,
itulah sebabnya kami tidak menyangkal kehadiran mesjid baru itu.” Jawaban ini
tepat!
Dengan adanya jawaban tersebut maka Jemaat Ahmadiyah juga
dapat berkata hal yang sama seperti itu bahwa meskipun ada perkataan aakhirul-anbiya’,
itu juga berarti dapat datang nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. yang
merupakan bayangan kenabian Rasulullah Saw. Dan, nabi-nabi itu tidak
membawa syari’at baru, mereka hanya mengikuti syari’at Rasulullah Saw.
dan mereka diutus hanya untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. saja, serta
segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena keberkatan dari beliau Saw. Dengan
kedatangan nabi-nabi semacam itu sekali-kali tidak mengurangi atau merendahkan
kedudukan Nabi Muhammad Saw. sebagai aakhirul-anbiya’, sebagaimana
halnya dengan menyuruh mendirikan mesjid-mesjid baru haruslah sesuai dengan
model dan tata cara mesjid beliau Saw., sekali-kali tidaklah mengurangi atau
merendahkan kedudukan serta martabat mesjid beliau Saw. sebagai aakhirul-masaajid.
Demikian pula kalimat aakhirul-anbiya’ pun tidak
mengandung arti bahwa sesudah beliau Saw. tiada seorang nabi pun dapat datang
lagi. Yang sebenarnya adalah tidak dapat datang seorang nabi yang me-mansukh-kan
(membatalkan) syari’at beliau Saw. Sebab, sesuatu dapat dikatakan barang
terakhir jika barang yang lama sudah mulai habis. Jadi, nabi yang datang untuk
mengukuhkan kenabian Rasulullah Saw., bukanlah seorang nabi yang berdiri
sendiri, karena ia berada di dalam lingkup kenabian Rasulullah Saw. Ia
baru dapat disebut nabi yang berdiri sendiri apabila ia datang untuk
membatalkansalah satu hukum atau Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap
masalah dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin
karena kekhawatiran terhadap orang-orang yang dapat menjadi mangsa kekeliruan
semacam itu, maka Hz. Siti Aisyah ra. berkata:
“Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamulanbiya’,
tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada
nabi sesudahnya).” (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah
Majmaul Bihar, hlm. 5).
Apabila menurut pendapat Hz. Aisyah r.a. sesudah Rasulullah
Saw. tidak dapat datang kenabian jenis apa pun juga, maka mengapakah beliau
r.a. melarang orang-orang mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi
sesudahnya)? Dan apabila pendapat beliau itu salah, mengapa para Sahabat
r.a. tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah r.a. itu?
Kesimpulannya, karena Hz. Aisyah ra. telah mencegah
mengucapkan perkataan laa nabiyya ba’dahu, hal itu menunjukkan bahwa
menurut pendapat beliau, sesudah Rasulullah Saw. dapat datang nabi; akan
tetapi nabi yang membawa syari’at atau yang berdiri sendiri atau yang
setara martabat dan kemuliaannya dengan Rasulullah s.a.w., serta yang
tidak terikat dengan Rasulullah Saw. tidak dapat datang lagi. Kenyataan
bahwa para Sahabat ra. tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah ra. itu
menunjukkan bahwapara Sahabat r.a. semuanya juga sepakat dan berpendirian sama
mengenai masalah itu.
Untuk memperjelas keterangan Hz. Aisyah ra. dan sikap
para Sahabat ra., lebih lanjut kita dapatkan beberapa pendapat para ulama Salaf
mengenai Hadits laa nabiyya ba’diy sebagai berikut: Syekh Muhyiddin
Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis:
“Inilah arti dari sabda Rasulullah Saw.
‘Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada
rasul dan nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan syari’atku.
Apabila ia datang, ia akan ada di bawah syari’atku.” (Futuuhatul
Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir,
Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata:
“Dan sabda Nabi Saw.: ‘tidak ada nabi dan rasul sesudah
aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syari’at.”
(Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).
Imam Thahir Al Gujrati berkata:
“Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada
nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang
akan membatalkan syari’at beliau.” (Takmilah Majmaul Bihar, hlm.
85).
Sayyid Waliyullah Muhaddits Ad-Dahlawi berkata:
“Dan khaatam-lah nabi-nabi dengan kedatangan
beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa
syari’at untuk manusia.” (Tafhimati Ilahiyyah, hlm. 53).
Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali
al-Qari menjelaskan:
“Jika Ibrahim
hidup dan menjadi nabi, demikian pula Umar menjadi nabi, maka mereka merupakan
pengikut atau ummati Rasulullah Saw. Seperti halnya Isa, Khidir, dan
Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-
Nabiyyiin. Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah
Saw. tidak dapat lagi datang nabi lain yang membatalkan syari’at beliau
Saw. dan bukan ummati beliau Saw.” (Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69).
Jadi, dari banyaknya keterangan dan dalil-dalil di atas
berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, pemakaian dan
ungkapan bahasa Arab serta pendapat para ulama Salaf, kita dapatkan bsahwa
Nabi Muhammad Saw. bukanlah nabi terakhir atau penutup dengan arti tidak boleh
ada nabi lagi dalam bentuk apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw.
Pengertian Nabi Muhammad Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin
yang sebenarnya adalah berarti meterai para nabi atau cincin (perhiasan) para
nabi atau yang termulia dan tersempurna daripara nabi. Pengertian inilah yang
diterima dan diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah mengenai khaataman-nabiyyiin sebagaimana
yang dikemukakan dalam Al-Qur’an Karim.
M. A Suryawan, Bukan Sekedar
Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, (Jakarta: Azzahra Publishing,
2005, hal. 73. selanjutnya dibaca: Suryawan, Hitam Putih.
Abu Fuad Almaawi, Jihad Versus
Penumpahan Darah Atas Nama Agama, (Bogor: CV Bintang Tsurayya, 1994), hlm.
27.
Meskipun Inggris dan negeri-negeri Barat
lainnya sering dsebut “Bangsa Kafir.”
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad
menjelaskan: “Ketika surat sampai kepada Raja Kristen Negus, beliau
memperlihatkan rasa hormat dan takzim kepadanya. Diangkatnya surat itu setinggi
mata, kemudian turunlah ia dari singgasananya dan meminta peti gading untuk
menyimpan surat itu, seraya berkata, “Selama surat ini aman, kerajaanku akan
aman pula.” Apa yang dikatakannya ternyata benar. 1000 tahun lamanya Lasykar
Muslim bergerak dalam operasi penaklukan-penaklukan. Mereka menuju ke semua
jurusan dan melewati perbatasan Abessinia, tetapi mereka tidak menyentuh
kerajaan kecil Negus itu; itu semua atas penghargaannya kepada dua tindakan
bersejarah, ialah, perlindungannya terhadap para pengungsi Islam di zaman
permulaan dan penghormatan yang ia perlihatkan terhadap surat Rasulullah Saw.”
Lihat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Rasulullah Saw,
terj. Sukri Barmawi, (Bogor: Yayasan Wisma Damai, 1992), hlm. 149.
Peristiwa hijrah-nya kaum muslimin
ke negeri Abessinia adalah peristiwa hijrah yang pertama kalinya terjadi
dalam sejarah Islam.
Dalam beberapa Hadits Shahih ditemukan
keterangan bahwa Rasulullah Saw. juga melakukan shalat dan
mendoakan Negus/Najasyi ketika mengetahui ia telah wafat.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa,
1990), hlm. 105.
Menurut keterangan Al-Qur'an, Nabi
Isa as. (Yesus) dari Nazareth sudah mati/meninggal/wafat (5:118, 3:56, 5:76,
3:145), dan orang yang telah mati tidak dapat datang lagi ke dunia ini (23:101)
dan hanya akan dibangkitkan di alam Akhirat. Jika Nabi Isa as. belum wafat dan
masih hidup dengan jasad kasarnya entah di mana seperti yang dipercayai oleh
kebanyakan kaum Muslimin (Orang Kristen juga percaya Yesus masih hidup dengan
jasad kasarnya) sampai dengan hari ini dengan umurnya lebih dari 2000 tahun, lalu
bagaimana ia makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimana beliau mendirikan shalat dan
membayar zakat (19:32-33), dan zakatnya diberikan kepada siapa? Al-Qur'an
telah menyangkal dengan tegas bahwa tidak ada seorang rasul pun (termasuk
Nabi Isa a.s.) yang memiliki kekekalan (21:8-9), sebab tiap-tiap makhluk yang
berjiwa akan mati (21:35-36). Selain keterangan Al-Qur’an, menurut Nabi
Muhammad Saw, Nabi Isa as. telah wafat dalam usia sekitar 120 tahun.
Diriwayatkan dari Siti Fatimah r.a., Rasulullah Saw. bersabda:
"Sesungguhnya Isa ibnu Maryam hidup selama 120 tahun" (H. R.
Thabrani, Kanzul Ummal, 1989, jld. XI, hal. 479). Demikian pula dalam Hadits
lainnya dapat ditemukan sabda Rasulullah Saw. mengenai telah
meninggalnya Nabi Isa as. sebagai berikut: "Jika Musa dan Isa hidup,
mereka harus mengikuti aku" (Alyawaqit Waljawaahir, Abdul Wahab
Sya'rani, Al Haramain, Singapura, hal. 22, bab ke-32), dan bahkan keluarga (ahl-bayt)
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, yaitu Hz. Hassan r.a. (Cucunya Rasulullah Saw.)
menuturkan mengenai telah meninggalnya Nabi Isa a.s., pada peristiwa wafatnya
Hz. Ali r.a. sebagai berikut:
“Wahai
sekalian manusia, malam ini telah wafat seorang yang sebagian amal perbuatannya
tidak pernah dicapai orang-orang sebelumnya dan tidak pula akan dicapai oleh
orang-orang yang akan datang kelak. Rasulullah s.a.w. mengutus beliau ke
medan perang, maka Jibril menjaga di sebelah kanannya dan Mikail di sebelah
kirinya…Beliau wafat pada malam ketika Isa ibnu Maryam pada malam yang sama
ruhnya diangkat ke langit, yakni, pada malam tanggal dua puluh tujuh bulan
Ramadhan” (Thabaqat Ibn Sa’ad, jilid III). Lihat Mahmud Ahmad Cheema,
Tiga Masalah Penting, (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2001), hlm. 9-10.
Selanjutnya dibaca: Mahmud, Tiga. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul
Amir, terj. Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani dan R. Ahmad Anwar, (Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1989), hlm. 25.
Masalah kewafatan Nabi Isa a.s. (Yesus)
dalam Kristologi Islam merupakan masalah yang kompleks dan kontroversial.
Beberapa golongan di dalam Islam bahkan tidak percaya kalau Nabi Isa a.s.
pernah disalib, dan sebagai gantinya yang disalib oleh kaum Yahudi adalah orang
yang menyerupai dan dianggap sebagai Nabi Isa a.s., sedangkan Nabi Isa a.s.
sendiri diselamatkan dari sengsara dan kematian, kemudian diangkat ke langit
oleh Tuhan. Konsep ini dikenal dengan nama teori substitusi (teori
penggantian). Adanya teori subtitusi dan kenaikan Nabi Isa as. secara jasmani
(dengan jasad kasarnya) ke langit/sorga tidaklah bersumber dari Al-Qur'an dan
Hadits. Sebaliknya, Al-Qur'an dan Hadits dengan jelas
menerangkan bahwa Nabi Isa a.s. telah meninggal secara alamiah. Teori substitusi
ini dibawa kepada Islam melalui konversinya para ahlul kitab (People
of the Book) menjadi Islam yang sebelumnya menganut ajaran sekte Kristen
Gnostik tertentu, dan belakangan dalam perkembangannya pengaruh ajaran Gnostik mengenai
substitusi perlahan diadopsi dalam tafsir dan literatur Islam. Kepercayaan
bahwa seseorang telah menggantikan Yesus di atas salib telah dikemukakan oleh
banyak penafsir Qur’an berabad-abad yang lalu. Ada beberapa versi
mengenai teori substitusi yang muncul dalam literatur Islam. Tabari dalam tafsirnya
merujuk kepada Wahb (seorang Yahudi yang masuk Islam) meriwayatkan ketika kaum
Yahudi mencari Yesus untuk disalibkan, Tuhan kemudian merubah penampilan 17
orang murid Yesus seperti diri Yesus. Kaum Yahudi mengancam untuk membunuh
mereka semua, namun hanya seorang yang dieksekusi mati di atas salib, karena
yang seorang itu dianggap sebagai Yesus. Tahap perkembangan selanjutnya dari
teori substitusi menampilkan bahwa satu dari murid-murid Yesus dengan sukarela
menawarkan dirinya untuk mati di atas salib demi menyelamatkan gurunya. Sangat
dimungkinkan kisah seperti itu terbentuk untuk menghindari pertanyaan besar
yang muncul mengenai gagasan substitusi, yaitu: Mengapa Tuhan memaksa seseorang
yang tak berdosa untuk menderita dan mati demi menyelamatkan nyawa Nabi Isa
a.s.? Juga Ibnu Ishaq senada dalam tafsirnya mengambil riwayat yang bersumber
dari seorang Kristen tanpa nama yang masuk Islam, menyebutkan bahwa seseorang
yang bernama Sergus telah menawarkan dirinya untuk menggantikan Nabi Isa a.s.
bukanlah salah seorang di antara murid-murid Nabi Isa a.s. Versi lainnya
menyebutkan bahwa terjadinya perubahan fisik seseorang yang menyerupai dan
menggantikan Nabi Isa a.s. di atas salib merupakan suatu bentuk hukuman Tuhan
atas pengkianatan dan kejahatan yang dilakukan orang itu kepada Nabi Isa as. Sebagai
contoh diriwayatkan, bahwa para penentang Nabi Isa a.s. mengirim seseorang
bernama Tityanus untuk membunuh Nabi Isa as., namun Tuhan menggagalkan rencana
itu dengan mengangkat Nabi Isa a.s. kepada-Nya, dan sebagai hukumannya Tuhan
hanya mengganti wajah Tityanus dengan wajah Nabi Isa a.s. sehingga masyarakat
menjadi penuh keraguan (bingung) atas identitas orang yang mati terbunuh di
atas salib. Lihat dalam foot notnya Kurniawan, Hitam Putih , hal. 24
Malik Ghulam Farid, Al Qur’an dengan
Terjemahan dan Tafsir Singkat, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997).
Selanjutnya disebut Malik Ghulam Farid.
Jika dibaca ayat-ayat sebelumnya dalam Surah
al-Ahzab ini, dapat diketahui bahwa diberikannya gelar khaataman-nabiyyiin
kepada Nabi Muhammad Saw. adalah dalam konteks pembelaan Allah Ta’ala terhadap
Rasulullah Saw. berkaitan dengan pernikahan beliau dengan Siti Zainab ra.,
seorang bekas menantu dan janda dari Zaid ibn Harits ra. (Zaid adalah anak
angkat Nabi Saw.). Pada waktu itu orang-orang Arab mencerca habis-habisan
karena beliau Saw. dianggap telah melanggar tradisi dengan menikahi bekas
menantunya sendiri, dan para kritikus serta ulama yang punya pikiran kotor
mengatakan bahwa Nabi Saw. telah memerintahkan menceraikan perkawinan Zaid dan
Zainab karena secara diam-diam Nabi Saw. memang telah jatuh cinta kepada menantunya.
Dengan adanya ayat tersebut, Allah Ta’ala menegaskan bahwa Rasul Allah
ini adalah khaataman-nabiyyiin, yang mempunyai ahlak yang
setinggi-tingginya di antara semua manusia dan para nabi, beliau adalah Nabi
yang paling afdhal, paling mulia, paling sempurna, nabi yang khaatam dalam
segala kebaikan sebagai manusia dan nabi Allah. Hz. Zaid ra. statusnya hanyalah
sebagai anak angkat dan dipelihara oleh Nabi Saw. Dahulu ia adalah seorang
budak belian yang telah dibebaskan, tetapi tidak mau pulang kembali kepada
orang tuanya. Untuk meningkatkan derajat dari budak belian yang tadinya tidak
merdeka, maka Hz. Sayyidina Rasulullah s.a.w. meminta Hz. Siti Zainab ra.
(anak dari bibi Rasulullah Saw. yang seorang bangsawati Arab) agar mau
menikah dengan Zaid. Pernikahan ini dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan dan
pembagian kelas dalam masyarakat. Namun perkawinan dengan perbedaan bibit-bobot-bebet,
tidak adanya persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab
perasaan rendah diri yang diderita Zaid, dan mungkin juga cara hidup yang menyolok
itu nampaknya atau terbukti menimbulkan beberapa masalah, sehingga perkawinannya
menjadi tidak harmonis. Allah Ta’ala dalam ayat 33:41 ini telah menerangkan
dengan amat jelas bahwa: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara
kaum laki-lakimu” [artinya Nabi Muhammad Saw. bukanlah bapaknya Zaid, dan
Nabi Saw. tidak mempunyai anak laki-laki, karena semua anak laki-lakinya telah
meninggal pada masa kanak-kanak], akan tetapi beliau Saw. adalah Rasul Allah
dan Khaataman-Nabiyyiin. Bagi Hz. Siti Zainab ra. yang telah menjadi
janda karena bercerai dari Hz. Zaid ra., maka Hz. Rasulullah Saw. kembali
ingin mengangkat derajat janda yang pernikahannya dahulu itu adalah atas dasar
rekomendasi beliau Saw., dengan menjadikannya sebagai isteri Nabi, ummul
mukminin. Dengan demikian, hikmah pernikahan Nabi Saw. dengan Hz. Zainab
ra. - yang sebelumnya telah mendapat kecaman dan cacian dari para penentangnya
- memiliki makna: (i) Menggugurkan tradisi larangan menikahi janda (bekas
istri) anak angkat, dan (ii) mengangkat derajat janda bekas budak belian menjadi
ummul mukminin (Ibu orang-orang beriman). Jadi, selain ayat 33:41 di atas
tentang Khaataman-Nabiyyiin, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an tidak
ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir
dan tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam.
Lihat dalam catatan kaki Suryawan, Hitam Putih, hal. 28-29
Peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat
sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu
Rasulullah Saw. wafat, Rasulullah Saw. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya
di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi
nabi yang benar.” (H. R. Ibnu Majah). Peristiwa tersebut terjadi pada
tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada
tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau Saw. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun
setelah menerima wahyu ayat khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin
diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir
nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia
(Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat
jelas bahwa Nabi Saw. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta
makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau Saw. tidak mengungkapkan
pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.
Pada masa jahiliyah, anak laki-laki
merupakan kebanggaan dan penerus silsilah para raja, kepala suku atau kepala
keluarga, sehingga anak perempuan tidak layak untuk dipelihara bahkan dibunuh
dengan cara-cara biadab.
Menurut data statistik populasi umat
beragama untuk tahun 2000, populasi manusia di bumi adalah 19.6% beragama
Islam. (Sumber: “Number of adherents of world religions,” http://www.religioustolerance.org/worldrel.htm.
Ma’a terjemahan yang dipakai di sini adalah termasuk,
rujukan kata ini dapat dilihat dalam Surah an-Nisaa’ : 146-147 dan Surah
Ali ‘Imran : 194
Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pelita III/ Tahun
IV/1982/1983, hlm. 130. Selanjutnya disebut Depag RI.
Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuthi, Turunnya
Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman, a. b. A.K. Hamdi, (Jakarta: CV Haji
Masagung, 1989), hal. 64-65.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab,
(Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1998).
Rasulullah Saw. bersabda: “Aku
adalah nabi yang terakhir dan mesjidku adalah mesjid yang terakhir.” (H. R.
Muslim).
Hadits ini merupakan referensi
satu-satunya untuk istilah aakhirul-anbiya’ (nabi terakhir), dan Hadits
ini tidak pernah ditampilkan oleh para penentang Ahmadiyah di dalam
tulisan-tulisan mereka untuk memperkuat konsep Muhammad Saw. sebagai nabi
terakhir.
M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian,
(Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997), hlm. 9. Selanjutnya dibaca: Ahmad.
Ibrahim adalah putra Nabi Muhammad Saw.
dari ummul mukminin Hz. Maria Qibtiyah r.a.