Kamis, 26 April 2012

JIL (Jaringan Islam Liberal)



Jaringan Islam Liberal[1] adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad

Sejarah
Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim di ISAI (Institut Sutid Arus Informasi) yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing group via internet yang beralamat islamliberal@yahoogroups.com. Pada tahun 2001, forum ini mendapat bantuan yang sangat beasr dari jurnalis senior Goenawan Muhamad, baik berupa sebidang tanah yang dijadikan sekretaria resmi, maupun berupa pendanaan.
Secara ruhani dan substansi Islam liberal ini telah digagas oleh Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Abdur Rahman Wahid dan mendiang Ahmad Wahib, namun secara formal makhluk ini lahir sebagai bentuk evolusi dari pemikiran-pemikiran era 90-an, tepatnya di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 Maret 2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, IAIN Ciputat, dll, semisal Ulil Abshar Abdallah dari Lakpesdam NU dan ISAI (Institut Studi Arus Informasi – KUK Kajian Utan Kayu) Jakarta, Budi Munawar Rachman (Paramadina), Nasruddin Umar (Rahima), Rizal Malaranggeng (Freedom Institute), Saiful Muzani (Ohio Unversity), Ihsan Ali Fauzi (Jerman), Deny JA (Ohio University), Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka, Goenawan Muhammad (Majalah Tempo Jakarta).
Dan sejak Maret 2001 tersebut forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, dan Hadimulyo.[2]
Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile"[3] dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme, Radikalisme dan Revivalisme; yaitu kelompok umat Islam yang anti Barat dan masih memegang teguh ajaran dakwah dan jihad".
Meletakkan istilah “Liberal” terhadap Islam adalah perang tendensius secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang menjadi focus dalam Liberalisme adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani (Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi (Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius) mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas final dalam menilai teks-teks sumber suci agama[vi].
Oleh karena itu Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju". Iajuga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal oportuniti, modernisasi, trust dan tolerance, memiliki sence of community yang nasional)".
Luthfi juga menulis, "…kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya kira jawabannya jelas: Liberating (pembebasan) yaitu bebas dari otoritas masa silam dan Being Liberal (kebebasan) yaitu bebas untuk menafsirkan dan mengkritisi otoritas tersebut".
Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan sekularisme.
Pembahasan yang diusung oleh JIL-ISLIB sebenarnya adalah tema-tema klasik dalam sejarah firqah-firqah Munharifah. Tetapi mereka menampilkannya secara lebih vulgar dan berani. Tema itu seperti Islam dan Negara, Islam dan Demokrasi, Kebebasan Perempuan, Pluralisme Agama, Toleransi Agama, Kontekstualisasi Al-Qur'an, Rekonstruksi Hadits, Sunnah dan Syari’ah, dan Pemisahan Agam dan Politik.
JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan inklusivisme. Setelah Ulil Abshar-Abdalla dan Hamid Basyaib, saat ini koordinator JIL adalah Luthfi Assyaukanie, seorang tokoh Islam liberal muda alumni Yordania, ISTAC Malaysia, dan University of Melbourne, Australia. Di awal masanya, JIL juga bekerja sama dengan The Asia Foundation sebuah yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme, liberalisme, hingga kesetaraan gender. Saat ini ada beberapa lembaga donor yang bekerja sama dengan JIL, di samping dana sumbangan dari perorangan.
Untuk menularkan virus-virus pemikirannya ini JIL memiliki jaringan di seluruh Nusantara dengan media Koran (Radar) Jawa Pos setiap Minggu, Talk Show Radio 68 H yang disiarkan di seluruh jarigan Islam liberal, Mailist ISLIB, diskusi-diskusi rutin di KUK – ISAI Jakarta. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku seperti buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002, yang disunting oleh Luthfi Syaukanie), buku Kekerasan: Agama Tanpa Agama (2002, Thomas Santoso, ed) yang diterbitkan oleh Pustaka Utan Kayu.



Akar liberalisme
Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam [Charless Kurzman: xx-xxiii]
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18..) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ja membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Pelopor Agung Rasionalisme [William Montgomery Waft: 132]
Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh al-Qur’an hanyalah system demokrasi tidak yang lain.[Charless: xxi,l8]
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-quran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.[4]
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.[Fazhul Rahman: 21; William M. Watt: 142-143]
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid [Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88]
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” [Nurcholis Madjid : 239]
Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menghasung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya.
Demikian sanad Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham mereka yang rasionalis dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis La’natullah ‘alaih. (Ali Ibn Abi aI-’Izz: 395) karena itu JIL bisa diplesetkan dengan “Jalan Iblis Laknat”. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak tokoh-tokoh gereja yang melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesar’s and to the God what the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Muhammad Imarah : 45) Karena itu ada yang mengatakan: “Cak Nur Cuma meminjam pendekatan Kristen yang membidani lahirnya peradaban barat” Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan keimanan Fir’aun dan mengunggulkannya atas nabi Musa ‘alaihis salam [Muhammad Fahd Syaqfah: 229-230]
"Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebutkan 'Islam Liberal." (Asaf  'Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981]).
Perkenalan istilah "Islam Liberal" di tanah air terbantu oleh peredaran Islamci Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Blinder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahn buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. versi Indonesia buku Binder dicetak Pustka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan Greg Barton di Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta, dan menyususun alat ukur Islam Liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf 'Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah "Islam Liberal"dan "Islam Protestan" untuk untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang compatible terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.
"Liberal" dalam istilah itu, menurut Luthfi Assaukanie, ideology JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern ynag kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam Liberal" bukan hal baru. "Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaharuan Islam dimulai," tulis Luthfi.
Periode itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan "liberal age" (1798-1939). "Liberal" di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dan kolonialisme yang saat itu menguasai hapir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abdu (1849-1905) sebagai figure penting gerakan liberal pada awal bad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
Ada dua kelompok yang dikategrikan "musuh" utama Islam liberal. Pertama, konservatisme yan telah ada sejak gerakan liberalisme Islam  pertama kali muncul. Kedua, fundamentaslime yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah Negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.
Bila Luthfi mengembalikan semangan liberal pada abad ke-19, aktivitas JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Ruukanny adalah pada Umar bin Khattab. Dialah figure yang kerap melakukan terobosan ijtihad. Umar beberap kali meninggalkan makna tekstual Al-Qur'an demi kemaslahatan substansial. Munwair Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya kepada Umar ketika memperjuangankan kesetaraan hak waris anak laki-laki dan perempuan.
Umar menjadi inspirator berkembangnya madzhab rasional dalam bidang fiqih yang dikenal sebagai madrasatu ra'yi. Dengan demikian, Sahal menyimpulkan, Islam liberal memiliki geneologi yang kukuh dalam Islam. Akhirnya, Islam Libeal adalah anak kandung yang sah dari Islam.

Liberalisasi Islam di Indonesia
Pemikiran-pemikiran keagamaan yang liberal ini sebelum berevolusi menjadi JIL agaknya menetas dan diternakkan dalam dua inkubator, yaitu: Ciputat dan Sapen. Berikut ini sedikit informasi tentang dua inkubator ini.

a. Inkubator Ciputat, Jakarta
Yang dimaksud dengan inkubator Ciputat ini adalah IAIN Syarif Hidayatullah yang kini menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Embrio pemikir-pemikir liberal Ciputat identik dengan HMI (KAHMI) yang dimotori oleh Nurkholish Madjid era 70-an, terus berlanjut ke era 80-an, setelah bergelar Doktor dari Chicago bersama inkubator Paramadina yang didirikannya tahun 1986, selain di program Pasca Sarjana IAIN Syahid.
Embrio-embrio yang lain pada era 80-an hingga 90-an bergabung dalam wadah diskusi yang bernama FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat). Tokoh-tokoh FORMACI antara lain: Budi Munawar Rachman, Saiful Muzani, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Sahal, Fachri Ali, dan sebagainya.
Sementara yang menjadi grand master dari pemuda-pemuda yang liberal ini adalah Rektor IAIN sendiri yaitu Prof. Harun Nasution, Mu’tazilahnya Indonesia, kader terkemuka Mc. Gill University, Canada[iv]. Dan yang menjadi Founding Fathers-nya adalah Prof. Munawir Sadjzali, mantan Menteri Agama RI era Soeharto, yang berperan dalam melakukan pertukaran dosen dan pengiriman Mahasiswa/Dosen IAIN ke negara-negara barat, khususnya ke Mc. Gill University di Canada. Pada masanya saja (1983-1993) lebih dari 200 dosen belajar Islam ke Barat.
Selanjutnya pada tahun-tahun 90-an, doctor-doktor baru pulang dari Amerika, EROPA dan sedikit dari Timur Tengah seperti Azumardi Azra (sekarang Rektor UIN), Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina), Kautsar Azhari Noer (Paramadina), Bachtiar Effendy (PP Muhammadiyah), Sa’id Aqil al-Munawwar (Menag), Said Aqiel Siradj (PBNU), dll. Orang-orang baru ini semakin menguatkan barisan Ciputat.

b. Inkubator Sapen, Yogyakarta
Tepatnya inkubator ini terletak di desa Sapen di komplek IAIN SUKA (Sunan Kalijaga) dengan Rektornya Prof. Mukhti Ali yang pernah menjadi Menteri Agama. Mukhti Ali merupakan seorang tokoh pendiri gerakan antar agama di Indonesia, dengan mendirikan jurusan perbandingan agama dalam Fakultas Ushuluddin IAIN. Mukhti Ali juga memiliki kelompok diskusi yang dikenal dengan Limited Groups Discussion, yang beranggotakan: Djohan Effendy, Masdar F. Mas’udi, Ahmad Wahib, M. Dawam Raharjo, M. Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi’i Ma’arif, dll.
Setelah itu alumni Limited Groups ini aktif di LSM-LSM di Jakarta, Masdar di LP3M dan kini menggantikan posisi Hasyim Muzadi di PBNU, Dawam pernah di LP3ES, LESFI dan pernah menjadi Rektor UNISMA Bekasi, sementara Djohan pernah di Litbang Depag, penah menjadi Mensesneg era Gus Dur dan sekarang menjadi Ketua di Indonesian Conference Religion and Peace (ICRP) (Dia anggota aliran sesat Ahmadiyyah), sementara Syafi’i kini menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyyah dan Pendiri Ma’arif Institute yang menjadi inkubator bagi virus JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah).
Sejak 2002 inkubator Sapen dipimpin oleh Prof. Amin Abdullah (Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyyah) dan didukung oleh Abdul Munir Mulkhan (Ketua Program Studi Agama dan Filsafat PPs IAIN, Sosiolog), Musa Asy’arie (Derektur PPs IAIN SUKA), dll.

Misi
Misi Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya : rnenghancurkan) gerakan Islam fundamentalis. mereka menulis: “sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”
Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan firqah liberal adalah orang yang memiliki lima cirri-ciri,yaitu.
[1]. Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat
[2]. Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu
[3]. Mereka yang bertujuan menerapkan syariat Islam
[4]. Mereka yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara
[5]. Mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.
Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon [Muhammad Imarah : 75]
Dan, seperti yang disebut dalam websitenya, misi JIL adalah: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Agenda dan Gagasan Islam Liberal
Dalam tulisan berjudul “Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi Asy-Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal.
Pertama : Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) sama saja.
Kedua : Mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam.
Ketiga : Emansipasi wanita dan
Keempat : Kebebasan berpendapat (secara mutlak).
Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah.
[1]. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad
[2]. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
[3]. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
[4]. Permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara[5]

Landasan Liberalisme
Nama "Islam Liberal" menggambarkan prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. JIL percaya, Islam selalu dilekati kata sifat, sebab kenyataannya Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya. JIL memilih satu jenis tafsir –degnan demikian juga memilih satu kata sifat –yaitu "Liberal." Untuk mewujudkan Islam Liberal, JIL membentuk "Jaringan Islam Liberal." Dan sekaligus sebagai pintu gerbang penafsiran JIL untuk memahami teologi Islam liberal secara detail dan adil perlu kiranya kita mengetahui 6 prinsip atau wawasan yang mereka muat dalam situs mereka Islamlib.com yang diambil pada 7 Oktober 2002, yaitu sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
JIl yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. JIL menentang Negara gama (teokrasi). JIL yakin, bentuk negra yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah Negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negera yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalh sumber inspirasi yan dpat memengaruhi kebijkan public, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan uruan public harus diselenggarakan melaui proses konsensus.

Teologi JIL
Dari enam uraian di atas itulah JIL mengambil perumpamaan Al-Qur'an dengan menyatakan bahwa keimanan itu bagaikan akar yang menghujam ke dalam jantung bumi.[6] Sementara dahan-dahan, ranting-ranting, dan bahkan buah-buhaa yang menghasilkan merefleksikan sehat-tidaknya akar keimanan. Karena itu, bagi sebagian besar ulama, iman itu tidak cukup dengan pengakuan dengan hati (tashdiq bi al-qalb) dan penegasan dengan lisan (iqrar bi al-lisan), tetapi juga memerlukan pengamalan dengan anggota badan (al-'amal bi al-jawarih).pengamalan dengan anggota badan in merupakn pengejawanthan dari keiman. Dalam kontes ini, bisa dipahami bahwa teologi memerlukan pijakan yang menggambarkan keutuhan dimensi-dimensi keberagaman manusia. Teologi yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keiman yang pluralis pula.
Setiap kaum mempunyai Nabi, yaitu penuntun jalan menuju kebenaran dan tidak ada satu uamt pun kecuali telah pernah datang kepadanya seorang Nabi pemberi peringatan.

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul)."[7]

Ayat di atas, dan yat-ayat lain dalam isu yang sama menegaskan bahw pada seitap umat atau golongan ada seorang nabi. Par Nabi itu diutus dengan bahsa kaumnya masing-masing, namun semuanya dengan tujuan yan sama yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang maha Esa dan kewajiban menghambakan diri anya kepada-Nya. Selain ajaran pokok keiman terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu, para Rasul juga menyeru perlawnan kepada taghut, yakni kekuatan jahat dan dzalim. Kaum beriman harus percaya kepada seluruh Nabi dan Rasul tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri.

"Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya."[8]

Menurut JIL, din inti semua agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia, Alalh menetapkan syir'ah/jalan dan manhaj/cara yang berbeda-beda, sebab Alalh tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sam semua dalam segala hal. Alalh menghendaki agar merek saling berlomba-lomba menuju kepada bebagai kebaikan. Seluruh uamt manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusai itu.

"Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,[9]

Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau manasik mereka yang harus mereka laksanakan:

"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)."[10]

Berkaitan dengan ini keterangan slam Al-Qur'an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah/titik orientasi yang dialambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Mekkah dengan masjid al-Haram dan Ka'bah untuk kaum muslim. Umat manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu dan yang terpenting ialah semuanya berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Di mana pun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua menjadi satu (jami'ah).
Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip antaragama yang dapat diturunkan dari Al-Qur'an yang menegaskn adanya pluralitas agama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan pluraliras itu dalam berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[11]

Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam Al-Qur'an yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik Karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agam lain. Sekaligus dianggap sebagai ajaran yang menyesatkan karena semangatnya yang serba menyamakan ajaran agama Islam dengan ajaran agama lainnya.






[1] Liberalisme adalah sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasrkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mengusahakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh kebebesan berpkiri para individu, pembatasan kekuasaan, khususnya dari pemerintah dan agma, penegakan hokum, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendudukung usaha pribadi (private enterprise) yang relative bebas, dan suatu system pemerintahan yang transparan, yang di adlamnya hak-hak minoritas dijamin. Dalam masyarkat modern, kaum liberal lebh menyukai demokrasi liberal dengan pemilihan yang terbuka dan adil, di maana smua warga Negara mempunyai hak yang seserajat oleh hokum dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil.
[2]  Informasi mengenai JIL lihat di situs JIL dengan alamat islamliberal@yahoogroups.com
[4] Mu’adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur’an, Jurnal Salam vol.3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143.

[5] Lihat Greg Bertan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina, 1999)

[6] Seluruh infromasi menegnai landasan teologis pluralis keiman JIL ini penulis nukil dari buku Blueprint kaum JIL dengan judul Lintas Agama (ed). Mun'im A. Sirry, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 17-21.
[7] QS. Al-Nahl [16]: 36
[8] QS. Al-Baqarah [2]: 136
[9] QS. Al-Maidah [5]: 48
[10] QS. Al-Hajj [22]: 34
[11] QS. Al-Baqarah [2]: 148

Kamis, 19 April 2012

Ahmadiyah



Boleh dibilang ormas-ormas yang menyatakan dirinya bagian dari Islam yang nasibnya tidak kunjung selesai dan selalu mengalami kontroversi adalah Ahmadiyah. Bahkan hingga saat ini nasib Ahmadiyah bagaikan buah simalakama; dilematis.
Ahmadiyah menjadi organisasi yang paling kontroversial jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lainnya, khususnya di Indonesia. Di satu sisi, ajarannya sebagai bagian dari agama Islam dilindungi oleh pemerintah dan dihormati oleh organisasi-organisasi agama lainnya, di pihak lain ajarannya dilarang diajarkan dan berkembang di bumi pertiwi ini. Lalu sebenarnya bagaimanakah ajaran Ahmadiyah itu? Sementara di kalangan Ahmadiyah sendiri terpecah menjadi dua kubu, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Untuk menjawab hal itu secara obyektif, maka perlu dilihat bagaimana tentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dari sumber-sumber pengikut-pengikut Ahmadiyah sendiri. Kemudian dari paparan-paparan tersebut dikritisi untuk menjernihkan perkaranya.
Ahmadiyyah (Urdu:احمديّة  Ahmadiyyah) atau sering pula disebut Ahmadiyah, adalah jamaah muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Ia mengaku sebagai Mujaddid, Al-Masih dan Al-Mahdi. Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Qodian Internasional. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Pada tanggal 13 Februari 1835, di kota Amritsar, ada kuil emas kaum Sikh yang pada pertengahan tahun 1984 menjadi pusat perhatian dunia. Di sanalah sosok bayi mungil Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan. Kebetulan, pada saat kelahirannya, Andrew Jackson sedang menjadi Presiden Amerika Serikat. Joseph Smith dua tahun sebelum kelahirannya telah mendirikan gereja Latter-Day Saints. Lous Philipe saat itu merupakan pemerintahan monarki dari Prancis. Dua tahun setelah kelahiran Ahmad, Victoria menjadi Ratu Inggris dalam usia 18 tahun. Dan Chopin sedang mencapai masa kejayaan dalam karirnya.[1]
Mirza Ghulam Ahmad adalah putera Mirza Ghulam Murtadha. Leluhurnya telah bermigrasi di tahun 1530 dari Samarkand ke India, sewaktu pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di distrik Gurdaspur, Punjab, India. Di sini mereka mendirikan kota yang sekarang disebut Qadian, yang aslinya bernama 'Islam Pur Qadi'. Nama ini diperpendek sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan akhirnya menjadi Qadian. Keluarganya termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas.[2] Keluarga Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu Ghulam Ahmad dan keluarganya disebut Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam Ahmad dikenal orang dengan nama Mirza Ghulam Ahmad.[3] Mirza Gul Muhammad, nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang keturunan raja Mughol yang memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Ia juga memiliki lahan yang sangat luas di daerah Punjab.[4]
Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan pendidikan dasar di desanya sendiri, kemudian di kota Btala kira-kira 10 mil dari Qadian. Mirza Ghulam Ahmad menempuh pendidikan kelas menengah didaerahnya juga. Ia belajar gramatika bahasa Arab, ilmu mantiq, dan filsafat di bawah bimbingan Maulavi Fazl Ilahi, Maulavi Fazl Ahmad, dan Maulavi Gul Ali Shah. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran dari ayahnya yang menjadi seorang dokter yang berpenglaman. Selama menempuh masa studinya, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang murid yang rajin dan gemar membaca buku.[5]
Pada masa remaja, Mirza Ghulam Ahmad atas perintah ayahnya, telah disibukkan dengan urusan tanah pertanian, suatu hal yang tidak disukainya. Untuk memenuhi kehendak ayahnya pula, Mirza Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot, dan bertempat tinggal di sana dari tahun 1864 sampai 1868. Selama bertempat tinggal di Sialkot Mirza Ghulam Ahmad banyak terlibat dalam perdebatan dengan para misionaris Kristen. Setelah itu Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Qadian serta mulai mengawasi lahan tanah pertanian miliknya. Di samping pekerjaannya sehari-hari, pada periode ini ia mengisi waktunya untuk merenungkan Al-Qur'an serta mempelajari tafsir dan hadits.[6]
Mirza Ghulam Ahmad menekankan peningkatan nilai-nilai akhlak dan keruhanian serta mematuhinya secara ketat dalam segenap lingkup kehidupan. Hasilnya ialah beliau telah berhasil mengukuhkan suatu komunitas beranggotakan banyak orang yang hidup berdasar petunjuk dan teladan beliau, mengikuti ajaran Islam selaras dengan fitrah dan kemampuannya masing-masing. Pola dan tradisi yang beliau terapkan telah menjadi jaringan alamiah dalam diri para anggota komunitas tersebut, sehingga bisa dikatakan kalau jemaat yang beliau dirikan adalah salah satu oraganisasi yang mencerminkan tujuan hakiki kehidupan manusia dan cara-cara pencapaiannya.
Tahun 1878 Mirza Ghulam Ahmad membuat tulisan-tulisan sanggahan cemerlang di surat kabar-surat kabar atas serangan-serangan pemikiran yang dilakukan oleh Swami Daynanda Sarasvat, anggota kelompok hindu Bombay dengan nama Arya Samaj yang didirikan oleh Ram Mohan Roy di Calcutta pada tahun 1828.[7]
Pada tahun 1880, Mirza Ghulam Ahmad menulis bukunya yagn pertama dengan judul Burahini Ahmadiyah."[8] Buku ini menjelaskan dengan cemerlang berdasarkan argumen yang kuat terhadap serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, Kristen, maupun kepercayan lain yang menyerang Islam.

Bai'at dalam Jemaat Ahmadiyah
Setelah pengaruhnya sudah sedemikian besar, kemudian pada tahun 1885 Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan diri menjadi seorang Mujaddid (versi Lahore), Nabi (versi Qadian). Kemudian pada tanggal 1 Desember 1888, mengaku telah menerima ilham Ilahi untuk mengambil bai'at dari orang-orang. Kemudian, beliau mempersilahkan kepada siapa saja yang ingin atau berminat untuk berbai'at kepada Mirza Ghulam Ahmad dalam perjuangan Islam. Pada tanggal 12 Januari 1889 mengumumkan 10 syarat untuk bai'at dan kemudian ada sejumlah orang yang berbai'at kepadanya.
Bai'at yang pertama kali diselenggarakan adalah di kota Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889 di rumah seorang mukhlis bernama Mia Ahmad Jaan. Dan orang yang bai'at pertama kali adalah Hz. Maulvi Nuruddin ra (yang nantinya menjadi Khalifah pertama Jemaat Ahmadiyah). Pada hari itu kurang lebih 40 orang telah bai'at

Sepuluh Syarat Bai'at
Adapun isi dari 10 bai'at Mirza Ghulam Ahmad itu adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang bai'at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur, senantiasa akan menjauhi syirik.
2.      Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, huru-hara, pemberontakan; serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
3.      Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan sekuat tenaga akan senatiasa mengerjakan shalat tahajjud, dan mengirimkan shalawat kepada Yang Mulia Rasulullah saw, dan memohon ampun dari kesalahan dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
4.      Tidak akan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apapaun juga.
5.      Akan tetap setia terhadap Allah Ta'ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat dan musibah; pandeknya, akan rela atas putusan Allah. Dan senatiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta'ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
6.      Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah al-Quran Suci atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam setiap langkahnya.
7.      Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti halus, dan sopan santun.
8.      Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
9.      Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan ni'mat yang dianugerahkan Allah Ta'ala kepadanya.
10.  Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan al-Masih Mau'ud", semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal ma'ruf dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan, ataupun ikatan kerja.[9]
Dan selanjutnya, pada tahun 1891 baru Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai al-Masih yang dijanjikan. Selain itu Mirza Ghulam Ahmad juga menyatakan bahwa dirinya adalah juga Imam Mahdi al-Muntazhar yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan perjuangan Islam.[10]
Nama Ahmadiyah diklaim oleh pengikutnya sebagai indikasi kebangkitan kembali agama Islam, Al-Qur'an dan satu dakwah yang terlahir berdasr bimbingan Ilahi kepada sang pendiri Jemaat Ahmadiyah. Sebutan Ahamdi atau Ahmadiyah hanyalah sebagai pembeda bagi Muslim Ahmadi dari umat Muslim lainnya yang masih saja sedang menunggu kedatangan Al-Masih dan Imam Mahdi yang Dijanjikan. Muslim Ahmadi meyakini bahwa pendiri Jema'at mereka adalah Al-Masih yang Dijanjikan tersebut.[11]
Sekarang ini, penganut dari hamper semua agama besar di dunia masih sedang menunggu kedatangan "Al-Mahdi". Apakah pesan dan fungsi dari masing-masing pembaharu itu akan sama dan identik? Ataukan masing-masing dari mereka membawa pesan sendiri-sendiri yang berbeda dan bertentangan satu sama lainnya dengan pesan dari para guru akbar tersebut pada saat kedatangan yang kedua kalinya itu? Jika pesan mereka adalah identik satu sama lain, maka akan diperlukan lebih dari satu wujud guna menyampaikan pesan dan memberi teladan yang selaras dengan yang dimaksud. Kalau sampai pesan-pesan itu saling bertentangan, maka kedatangan  sekian banyak pembaharu, alih-alih menciptkan kedamaian, pemenuhan ruhani dan kesatuan, malah hanya akan membuncahkan permusuhan, perselisihan dan chaos.
Al-Qur'an seperti juga kitab-kitab suci agama lainnya mengandung nubuatan-nubuatan akbar mengenai kemunculan seorang guru universal dan pembaharu di akhir zaman, yang akan menghidupkan kembali dan memperbaharui keimanan kepada Tuhan serta membawa persatuan, kedamaian dan kepuasan ruhani. Umat Muslim seperti juga umat Kristiani, sama sedang menunggu kembalinya Al-Masih dan juga turunnya Imam Mahdi. Umat Buddha juga sedang mengharapkan kedatangan kembali Buddha, sedangkan umat Hindu menunggu kembalinya Krishna. Semua nubuatan itu terpenuhkan dalam kedatangan satu orang. Karena Tuhan itu Maha Esa, maka kebenaran tidak bisa terbagi dan petunjuk bagi umat manusia serta penawar dari segala penyakit zaman, tentunya juga harus berbentuk satu, komprehensif dan konsisten.
Mirza Ghulam Ahmad mulai mengakui menerima wahyu Ilahi sejak usia muda. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud dilakukan di akhir tahun 1890 dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad langsung mendapat tantangan luas. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Khrisna sebagai bagi umat Hindu, dan sebagainya. Jelasnya, Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang Dijanjikan bagi masing-masing bangsa dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Muhammad saw, Nabi Suci umat Islam adalah seorang Nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai Al-Masih yang Dijanjikan, juga menyatakan dirinya tunduk danmenjadi refleksi dari Muhammad, Sang Khatam al-Nabiyyin.
Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, beliau menjelaskan:
"Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khaliknya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepda Allah dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi dan melalui kehidupanku sendiri, manifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia, namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kotoran pemikiran polytheistik."[12]
Menuyusul wafatnya pada thaun 1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti beliau sebagai Khalifah. Sistem khilafah merupakah rahmat Ilahi yang turun setelah seorang Nabi dan meneguhkan solidaritas, kohesi, dan persatuan di antara para mukminin. Sosok khalifah merupakan pimpinan keruhanian dan adminstratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat tahun 2002 adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad (1928-2003) yang berkedudukan di London dan terpilih sebagai Khalifah keempat pada tahun 1982. Pada tahun 2003 terpilih Khalifah V, yaitu Mirza Maroor Ahmad Atba.
Dengan bimbingan Khalifah, Jemaat ini selalu berusaha berada di barisan terdepan dalam khidmat (pelayanan) dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sudah sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan di berbagai negeri. Dalam rumah-rumah sakit tersebut, mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Pada saat-saat bencana alam di seluruh dunia, Jemaat ini selalu membantu secara sukarela untuk menolong mereka yang terkena, baik secara finansial atau pun fisikal, tanpa membedakan agama, warna kulit, ataupun bangsa. Jemaat ini juga telah memiliki jaringan televisi global yang bernama MTA International yang mengudara duapuluh empat jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya.
Dunia ini yang telah demikian banyak menyaksikan tragedi seabad terakhir dan yang sekarang juga masih belum lepas dari kungkungannya, sesungguhnya sedang berada di tepi jurang malapetaka yang pasti tiba sebagai ganjaran dari keserakahan, sikap mementingkan diri sendiri, prasangka dan terutama sekali karena ketiadaaan keadilan yang absolut dan hakiki. Hazrat Ghulam Ahmad telah memberikan petunjuk bagi manusia akhri zaman ini tentang bagaimana berperilaku di tengah komuntas dunia guna mencapai kedamaian dan keharmonisan. Ia berujar:
"Nasihatku kepda kalian adalah agar kalian ini menjadi teladan dalam semua kebaikan. Jangan sampai kalian malas dalam melaksanakan kewajiban kalian kepada Tuhan dan jangan juga mengabaikan kewajiban kalian kepada sesama manusia."[13]
Dari tempat terpencil di Qadian, sekarang Jemaat ini telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya sudah demikian banyak di mana sebanyak 80 juta manusia telah bai'at dalam Jemaat pada tahun 2002.
Jemaat Islam Ahmadiyah meyakini dirinya sebagai perwujudan dari Islam hakiki. Fungsinya adalah untuk mempersatukan menusia dengan sang Khalik dan menciptakan kedamaian, baik di tingkat individual maupun kolektif.

Tujuan Pendirian
Menurut pendirinya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya tersebut adalah untuk pembaharuan terhadap moral umat Islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para pengikut Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima. Gerakan Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al-Quran, "Tidak ada paksaan dalam agama"[14] serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun.
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al-Qur'an kedalam bahasa-bahasa besar di dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al-Qur'an kedalam 100 bahasa di dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Qur'an dalam bahasa Indonesia, Belanda, Sunda, dan Jawa.

Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Setelah pendiri gerakan Ahmadiyah wafat pada tanggal 26 Mei 1908, gerakan ini dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai Maulavi Hakim Nuddin. Setelah ia wafat pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang krusial dan mendasar. Sang putra Mirza Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan fatwa:
1.      Mirza Ghulam Ahmad itu betul-betul Nabi.
2.      Mirza Ghulam Ahmad ialah sosok Ahmad yang diramalkan dalam al-Qur'an surat al-Shaffat ayat 6.[15]
3.      Semua orang Islam yang tidak berbai'at kepadanya, sekalipun tidak pernah mendengar nama Mirza Ghulam Ahmad, hukumnya kafir dan keluar dari agama Islam.[16]
Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian India, tetapi setelah Pakistan merdeka dari India, Ahmadiyah Qadiyan hijrah berpusat di Rabwah. Perkembangannya sampai sekarang. Sang Khalifah berkedudukan di Inggris Raya dan Ahmadiyah Qadiyan menyebut dirinya Jama'ah Ahmadiyah.[17]
Di Indonesia, Ahmadiyah Qadiyan ini dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor, yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dan seorang Nabi.
Sedangkan mereka yang tak sepaham dengan pendapat putra Mirza Ghulam Ahmad bergabung dalam satu wadah yang bernama Ahmadiyah Anjuman Isy'ari Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore. Maulana Muhammad Ali yang menjabat sebagai sekretaris  Mirza Ghulam Ahmad tidak menyetujui pendapat putra gurunya dan hijrah ke Lahore. Khawaja Kamaluddin, Maulana Sadruddin dan anggota-anggota senior Ahmadiyah yang lain membentuk Ahmadiyah tandingan tersebut dengan tujuan untuk mengembalikan Ahmadiyah kepada akidah Islam yang sebenarnya sebagaimana yang telah diamanahkan oleh sang pendiri.[18]
Sedangkan di Indonesia, Ahmadiyah Lahore ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, melainkan hanya sekedar Mujaddid dari ajaran Islam.
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
1.      Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dan Hadis, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang terakhir.
2.      Nabi Muhammad saw adalah khatam al nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
3.      Sesudah Nabi Muhammad saw, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
4.      Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat), satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun nabiyyîn,[19] dan berarti membuka pintu Khatam al-Nubuwwat.
5.      Sesudah Nabi Muhammad saw, silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
6.      Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
7.      Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadis, mujaddid akan tetap ada dan kepercayaan Ahmadiyah Lahore bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid.
8.      Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
9.      Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah syahadah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
10.  Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad saw.
Meskipun demikian, secara umum keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al-Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad saw.

Sejarah Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib, yakni suatu pesantren di Sumatera Barat, meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abu Bakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isy'ari Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu di sana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II ra, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran di sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II ra berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud, juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II ra. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT yang datang dari Qadian, India, dikirim sebagai muballigh ke Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II ra berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting, sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara. Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang Khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera.
Di awal era 70-an, melalui Rabithah Alam al-Islami semakin menjadi-jadi, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al-Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.[20]

Ahmadiyah Lahore
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad,[21] datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah".
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
Dalam dakwahnya di Indonesia, banyak kaum cendekiawan muslim yang tertarik mengenai faham-faham pemikiran Islam yang dijelaskan oleh Mirza Wali Ahmad Baigh. Bahkan HOS Tjokroaminoto segera menerjemahkan buku karya Maulana Muhammad Ali yang berjudul Da'wah al-Amal menjadi Pengajakan Bekerja. Melalui HOS Tjokroaminoto inilah pemikiran-pemikiran mengenai keindahan Islam yang dipaparkan gerakan Ahmadiyah sedikit demi sedikit dikenal oleh masyarakat luas. Hal ini dapat dimaklumi karena HOS Tjokroaminoto mempunyai banyak murid yang terpelajar dan di antara muridnya adalah Soekarno yang juga mengagumi pemikiran-pemikiran Ahmadiyah.[22] Sebagaimana halnya dengan putra pendiri organisasi Muhammadiyah, Jumhan Ahmad Dahlan telah dikirim ke India untuk mempelajari secara langsung mengenai pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam dari Ahmadiyah yang telah dikenal di Indonesia.
Dakwah gerakan Ahmadiyah ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi Islam secara modern dalam gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam wacana Ahmadiyah bukan merupakan Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di sini Islam dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok dengan masyarkat modern.
Di samping Ahmadiyah Lahore, sebenarnya Ahmadiyah Qadiyan pun ikut berkembang, tetapi lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib, Padang Panjang. Jika Ahmadiyah Lahore bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka Qadiyan lebih banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat oleh mubaligh-mubaligh muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga berbeda. Jika Ahmadiyah Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional, maka Ahmadiyah Qadiyan lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka pembentukan masyarakat ethis (ethical community). Selain itu, Ahmadiyah Qadiyan lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada umumnya, walaupun bercorak teologi daripada fiqih.[23]
Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 300 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali. NTB, dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok telah diserang massa (2002/2003 dan 2006) karena dianggap mengandung ajaran sesat.

Status di Berbagai Negara
Pakistan
Di Pakistan, parlemen telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim. Pada tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku sebagai agama tersendiri di luar Islam.

Indonesia
Dalam satu rapat pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Bogor, September 2005, memutuskan untuk menolak memberi label "sesat dan menyesatkan" untuk komunitas Ahmadiyah, dan menyatkan NU akan mengakomodasi semua komunitas agama di Indonesia.[24] Kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mendukung fatwa NU tentang Ahmadiyah ini. LSM berdalih bahwa apa yang diyakini kaum Ahmadiyah adalah suatu ekspresi dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Negara Keatuan Republik Indonesia.[25]
Di pihak lain, dalam Musyawarah Nasional ke-2 di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam dan merupakan aliran yang sesat dan menyesatkan semenjak tahun 1980.[26] pada tahun 1984, terbit surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Depag RI yang berisikan penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan menodai agama. Surat Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan Negara. Pada tahun 2001, Bupati Lombok Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Setahun kemudian, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan seminar di Masjid Al-Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena penodaan akidah. Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI yang antara lain dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati Kuningan, Jawa Barat, karena di Kuningan telah tumbuh subur komunitas Ahmadiyah di Manis Lor. Kemudian, pada awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai kesesatan Ahmadiyah. Ikut andil dalam menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah ini adalah majalah Sabili.[27] Kemudian, pada tahun 2005, MUI mengeluarkan ketegasan fatwanya lagi tentang aliran Ahamadiyah yang di luar Islam dan sebagai sekte yang sesat menyesatkan.
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri pada tahun 1978 telah mengeluarkan Undang-undang melalui keputusan Menteri Agama mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara lain menyatakan agar umat beragama menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan interagama yang sama (antara pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa pancasila.

Malaysia
Di Malaysia Ahmadiyah telah lama dilarang.

Brunei Darussalam
Sebagaimana di Malaysia, di Brunei Darussalam pun status terlarang ditetapkan untuk Ahmadiyah.

Kontroversi Ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yaitu Isa Al-Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu kedatangan Isa Al-Masih dan Imam Mahdi.[28]
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa Al-Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad saw. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa Al-Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an saja.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.

Ahmadiyah menurut pengikutnya
Pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas. Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud (Al-Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw, langsung mendapat tentangan luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau'ud, Allah Swt telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:
Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia.”
Mirza Ghulam Ahmad

Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah "Nabi Yang Dijanjikan" bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad SAW sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai Al-Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, ia menjelaskan:

Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik.”

Menyusul wafatnya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok Khalifah merupakan pimpinan keruhanian dan administratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat ini (2007) adalah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang berkedudukan di London, dan terpilih sebagai Khalifah kelima. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara dan cermat mengamati budaya dan masyarakat lainnya.
Dengan bimbingan seorang Khalifah, Jemaat Ahmadiyah berada di barisan terdepan dalam khidmat dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan di berbagai negeri, dimana mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Saat terjadi bencana alam, Jemaat Ahmadiyah membantu secara sukarela secara finansial ataupun fisik tanpa membedakan agama, warna kulit atau pun bangsa. Jemaat Ahmadiyah telah memiliki jaringan televisi global yang bernama "MTA (Muslim Television Ahmadiyya) International", yang mengudara dua puluh empat jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya. Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya diperkirakan sudah mencapai 80 juta manusia yang telah berbai'at ke dalam Jemaat pada tahun 2001.

Media elektronik
Salah satu media elektronik milik Ahmadiyah yang terbesar adalah televisi. Mereka telah membuat satu televisi yang mereka namai MTA, yaitu Moslem Television Ahmadiyya. Proyek ini dirintis oleh Khalifah Ahmadiyah yang ke-empat, Mirza Tahir Ahmad

Ajaran Teologi Ahmadiyah
Ada beberapa teologi Ahmdiyah yang barangkali bagi orang-orang yang menganggap Ahmadiyah itu merupakan aliran sesat oleh sebagian kalangan. Namun dalam pembahasan teologi kali ini yang barangkali tidak sedikit yang pulan mengenalnya secara mendalam. Karena itu, dalam hal ini kita akan mencoba kajian teologi Ahmadiyah agak sedikit mendalam.
Dan setelah memahami teologi yang satu ini setidaknya akan memberikan wawasan tersendiri yang sangat terhormat bahwa dalam Ahmadiyah ada hal-hal yang barangkali orang belum mendalaminya. Sehinga ia mendpatkan pencaerahan baru.

1. Asma Allah
Ism (nama) pada hakikatnya hanyalah milik Allah. Selain dari-Nya tidak suatu ism pun. Sebab, tatkal suatu benda tercipta, maka timbullah namanya. Akan tetapi, setelah nama itu terbentuk, setiap detik perbuhan yang terjadi pada dzatnya justru menafikan nama tersebut, kecuali nama-nama anugerah yang berkaitan dengan Allah. Nama yang tidak membutuhkan perubahan itu merupakan nama yang mengalir dan hidup.
Sebaliknya, nama yang dikenal selama ini etrdiri dari dua macam. Pertama, nama yang kosongdan tidak mengandungmakna. Hal itu meruopakan nama yang jamid (statis), suatu nama yang mati. Ia itdak berhak disebut nama sebab definisi kedua dari nama adalah sesuatu yang menidentifikasi suatu benda. Jika di dalam nama itu tidak terdapat kemampuan untuk memberikan identifikasi, maka hal itu bukanlah sebuah nama. Oleh karena itu, asma (namanama) dengan sendirinya akan kelaur dari daftar defines tersebut. Nama sifat yang di dalamnya tidak ada kaitan dengan sifat-sifat Allah, secara konstan tidak akan pas bagi makhluk. Contoh, jika seseorang karena kearifan dan kebijaksanaannya yagn tinggi, dia disebut dan terkenal dengan hakim (orang yang bijak), maka tatkala dia mencapai usia tua-renta, dari hari ke hari arif dan bijaksananya akan semakin berkurang dan berkurang. Jadi, nama tersebut tidak memadai lagi untuk menandakan sifat-sifatnya itu.[29]
Asma Allah itu azali dan abadi, sedangkan seluruh perkara waktu adalah berkaitan dengan makhluk-makhluk (wujud yang diciptakan). Zaman, pada zatnya atau waktu pada zatnya, tidaklah memiliki makna. Ia merupakan sebuah sifat yang trkandung di dalam suatu penciptaan, berkaitan dengan makhluk, yang mengndung makna berbeda dalam hubungannya dengan setiap makhluk.[30]
Allah telah mengajarkan nama-nama kepada Adam. Pengajaran itu menunjukkan berbagai perkara. Salah satu di antaranya adalah Allah Swt. Telah mengajarkan kalimat melalui musammiyat (ism/nama-nama). Dan yang dimaksud musammiyat adalah perkara-perkara dalam kehidupan manusia yang pengungkapannnya dapat dilakukan melalui isyarat, tidak perduli apakah itu fi'il (pekerjaan) atau pun nama-nama makhluk. Sedangkan perkara kedua adalah pengajran kepada Adam melalui bahasa Arab yang telah diajarkan hakikat dan sifat potensi-potensi yang terpendam di dalam setiap benda.[31]
Waktu tidak terdapat pada Allah karena di dalam Dzat-Nya tidak ada perubahan. Sesuatu yang di dalam dzatnya terjadi perubahan, mutlak padanya terdapat unsure waktu. Sedangkan segenap makhluk yang ada, kesemuanya itu tengah berjalan dalam suatu proses perubahan. Tdiak ada suatu benda pun yang terlah diciptakan dan terlahir lalu dia tetap berada dalam kondisi diam (statis). Hanya ada dua kemungkinan  pada suatu benda, benda itu sedang mengalami perkembangan atau menjalani degradasi (kemunduran). Benda itu berkembang kea rah kehidupan atau semakin condong kea rah kematian.
Dalam satu waktu yang sama Allah Swt. Berperan sebagai Wujud yang menghidupkan dan sekaligus Wujud yang mematikan. Dan tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Tuhan itu dalam aktu tertentu merupakan Wujud yang menghidupakan lalu pada waktu yang lain Dia merupakan Wujud yang mematikan. Justru secara berpautan kedua sifat-Nya itu beraksi bersamaan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, "…Setiap waktu Dia berada dalam kesibukkan."[32]
Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi reseki dan lain-lain. Sifat-sifat-Nya menampakkan berbagai manifestasi. Dan tidak hanya berhenti pada suatu manifestasi saja. Sebab, jika Dia berhenti maka suatu Dzat Yang Mahakuasa wujud-Nya akan punah.

"Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu.  (yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya Telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), Maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (Tidak melihat kebenaran itu), Maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan Aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu)."[33]

Bada'a adalah proses penciptaan awal yang sebelumnya tidak terwujud apa pun. Sedangkan khalq adalah proses penciptaan di mana terjadi atau direkayasa perubahan-perubahan menakjubkan dalam skala yang rinci sehingga mulai bermunculan bentuk-ebntuk baru. Contohnya, bahan-bahan kimia. Dengan meramu bahkan kimia atau dengan merekayasanya; dengan berubah formulanya, maka akan tercipta produk-produk baru. Dan ada satu cabang ilmu khusus yang berkaitan dengan hal itu, yaitu syhthetic chemistry. Yakni menciptakan suatu produk baru yang belum ada seblunya namun penciptaan itu bersal dari bahan-bahan kimia lainnya yang sudah ada. Bukan penciptaan dari Sesutu yang belum pernah ada sama sekali. Untuk hal ini kata bada'a tidaklah tepat, tetapi kata khalq sangat tepat baginya.[34] Allah tidak berawal dan tidak memiliki akhir, di dalam Dzat-Nya tidak ada perubahan dan terlepas dari waktu. Dan ketika Allah Swt. Mengadakan penciptaan, maka dari sisi makhluk akan timbul ketentuan waktu, akan tetpai pada Dzat-Nya tidak terjadi perubahan.

2. Konsep Wahyu
Di kalangan aliran Ahmadiyah, panangn terhadap konsep wahyu tidak terjadi banyak perbdaan antara Qadian dan Lahore. Masalh wahyu ini masih parales dengan konsep kenabian, Imam Mahdi, dan Masih Mau'ud serta sosok controversial Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Menurut Ahmadiyah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah Swt. yang disampaikan kepada para penerimaannya dan bukan merupakan inspirasi yang kemudian diucapkan dengan kalmat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan menurut Ahmadiyah Lahore, dalam hal ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, bahw wahy didefiisikan sebagai isyarat yan cepat. Wahyu itu sendiri merupakan sabda yang masuk ked lam kalbu para Nabi dan orang-orang tulus ikhlas. Lebh lanjut dia mengatakan bahwa wahyu Allah Swt. tidak hanya diturunkan kepada para Nabi saja, akan tetapi diberikan pada seluruh manusia bahwak kepada semua makhluk ciptaan Allah Swt. seperti bainatang, tumbuhan, dan yang alinnnya, namun proses transmisi wahyu tergantung ke dalam konteks di mana spesies penerima wahyu itu berada.lebih lanjut Maulana Muhammad Ali mengungkapkan bahwa di dalm AlpQur'an disebutkan ada lima macam wahyu: pertama, wahyu yang diturunkan kepada makhluk yang tidak bernyawa seperti bumi dan langit[35]. Kedua, wahyu yang diturnkan kepada binatang.[36] Ketiga, wahyu yan diturunkan kepada malaikat.[37] Keempati, wahyu yang diturunkan kepda manusia biasa.[38] Dan kelima, wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.[39] Bentuk dari kelima wahu itu bermacam-macam bergantung pada siapa yang meneirma wayhu tersebut.
Aliran Ahmadiyah meyekini bahwa Ghulam Ahmadd (Al-Mahdi dan Masih Mau'ûd) menerima wahyu dari Allah Swt., namun wahyu yan diterima dan disampaikan oleh Ghulam Ahmad berfungsi sebagai interpretasi Al-Qur'an bukan teks yagn menyamai Al-Qur'an itu sediri. Ahmadiyah sendiri meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan satusatunya kitab suci yang dapat memperbaiki dan memperbaharui berbagai macam kerusakan yang ada, tetapi tidak dapat berjalan denagn mulus tanpa ada tuntunan dari Allah Swt. dan tuntunan itu dating salah satunya melalui Ahmadiyah. Sebenarnya Ghulam Ahmad sendiri mengakui bahw petunjuk yang diterimanya hanyalah ilham, tetapi oleh para pengikutnya kemudian dinyatakan sebgai wahyu. Dalam kasus tersebut, Ghulam Ahmad sendir tidak menyalahkan pengikutnya bahwakan memberikan pembenaran, sehingga di kalngan Ahmadiyah akhirnya banyak menggunakan istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah, wahy tasyir', wahyu ghair tasyri', wahyu walayah, wahyu matluw, wahyu ghair matlum, dan sebagainya.
Menurut Ahmadiyah, kalam Allah Swt. dating dalam beragam muatan dan varian pesan, di antaranya masalah syariat dan hokum, tradisi dan wejangan, nasihat-nasihat serta kewajiban dan acaman. Wahyu akan turun terus-menerus hingga hari kiamat tiba, sebab menurut pandangn Ahmadiyah bahwa komnukasi Tuhan degnan manusia terjadi melalui wahyu. Merekan menyandarkan argumentasi tersebut pada QS. Al-Syûra [42]: 51. atas dasar tersebut, Ahmadiyah meyakini bahw proses tansmisi wahyu dari Allah wt. terjadi melalui berbagai macam cara di antaranya, pertma, wahyu dating langsung berupa kalam  yang diilhamkan langsung ke dalam kalbu para Nabi dan orang-orang tulus. Hal ini merupakan bentuk isyarat yang ceapt seperti yang diberikan kepada para pengikut Nabi Isa a.s. dan Ibu Muas a.s. Kedua, di belakang tirai. Jenis wahyu trsebut ada tiga macam, yaitu mimpi yagn baik (mubasyarah) berupa petunjuk Allah Swt. yang diterima seseroang dalam keadaan setengah tidur, petunjuk Ilahi yang diterima seseorang dalm keadan sadar dan melihat dengan mata ruhani (kasyaf) and petunjuk Ilahi yang dating kepada seseorang dalam keadaan sadar dan mendengar dengan telinga rohani (ilham). Dan ketiga, wahyu turun melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang diterima oleh para Nabi melalui malaikat Jibril.
Wahyu jenis pertama dan kedua merupakan tingkatan proses pewahyuan yang paling rendah dan akn tetap terbuka selama-lamanya, dalam pengertian bahwa wahyu jenis tersbeut akan datng dan diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu tersebtu akan diturunkan kepada orang-orang tulus yan diangkat ke derajat kenabian, tetapi yang menjadi catatan adalah bahwa orang-orang tersebut mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki ornag pada umumnya. Kelebihan tersebut adalah "indra rohani." Indra ini akan melihat, mendengar, dan meraskan sesuatu yang tidka akan didegnar, dilihat, dan dirasakn orang lain kecuali ygn mengalaminya. Wahyu seperti ini disebut wahu ghair matluw ( wahyu yang tidak dibacakan dan diucapkan) atau wahyu khafy (wahyu batin). Sementara wahyu jenis ketiga hanya diberikan kepada para Nabi dan tertutup setelah berakhirnya masa kenabian Nabi Muhammad Saw., Karen beliau penutup para Nabi. Wahyu jenis ini disebut wahyu nubuwwah (wahyu kenabian atau wahyu matluw (wahyu yang dibacakan dan diucapkan). Sementara itu, menurut Nazir Ahmad bahw wahyu terputus sesudah Nabi Muhammad saw. adalah wahyu tasyri' bukan wahyu mutlak, yang dapat diterima oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan kepada para Nabi.
Sementara Khalifah AHmadiyah, Bashiruddin Ahmad emngaktan bahw pewahyuan itu akan terus terbuka meskipun tidak ada syari'at yang diturnkan, tetapi para Nabi yang diutus hnaya mengungkapkan kekayaan yang terkandugn dalm Al-Qur'an yan masih tersebmbuni. Lebih lanjut Khalifah II mengatakan, bukan hanya wahyu yang kami percaya akan terus terbuka selama-lamanya, melainkan wilayah kenabian pun akan terus terbuka. Melihat argumentasi di atas tidak terjadi banyak perbedaan mengenai wahyu antara Qadian dan Lahore, hanya saja alrian Qadian meyakini bahwa bukan hanya wahyu yang akan tetap datang dan terbuka, tetapi kenabian pun akn terus berlangsung. Titik permasalahan yang kontroversial dalm hal ini adalah bahw aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagi Al-Masih dan Al-Mahdi yang diangkat oleh Allah Swt. melalui ilham yang diterimanya, kemudian ia dianggap sebagai Nabi, karena dianggap sebagai duplikat Nabi Isa a.s., sehingga mereka meyakini bahwa proses penerimaan wahyu terjadi pda Ghulam Ahmad.
Secarasubstnsial tidak terdapat perbedaan di antara kedua aliran tersebut, hanya term-term tertentu yang membedakan keduanya dalam masalah tersebut.
Sebagian pendapat yang selama ini banyak mengkritisi negative terhadap Ahmadiyah mengaktan bahwa liaran Qadian meyakini wahyu yng ditunkan Allah Swt. kepada manusia berjumlah lima, yaitu: Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur'an, dan Tadzkirah yang diturunkan kepada Ghulam Ahmad.
Namun demikin, sejak pembacaan dan pengkajian terhadap sumber-sumber primer yang ada, keterangn tentang hal tersebut tidak ditemukan. Terkaitdegnan konsep wayu, yang membedakan antar Ahmadiyah degnan umat Islam selama ini adalh terletak pada pendefinisian wahyu dan ilham. Amadiyah meyakini bahwa wahyu dan ilham itu sama, sementr kelompok "mayoritas" membedakannya. Menurut pemahaman yang berkembang pada mayoritas umat Islam saat ini adalah antar wahyu dan ilham itu berbeda. Wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan Rasul, sementar ilham diturnkan kepada manusia biasa dan derajat di antara keduanya asngat berbeda. Dalam hal ini memang terjadi perbedaan mendasar pada wilayah epistemology antara Ahmadiyah dan umat Islam pada umumnya.[40]

3. Syariat Jihad
Kita semua mendengar dalam alam reformasi saat ini banyak teriakan ”Jihad!” ”Jihad!” dari empat penjuru. Tetapi jihad macam apa sesungguhnya yang diajarkan Al-Qur’an Karim?
Jihad terhadap orang-orang kafir dengan Al-Qur’an merupakan jihad besar.[41]  Di sini kita dituntut untuk menampilkan akhlak mulia dengan contoh teladan dari Rasulullah Saw. Penyebaran Islam dengan senjata atau paksaan tidak diperkenankan. Kebebasan beragama amat dijunjung tinggi dalam Islam.[42] Jadi, setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolak kebenaran berdasarkan keterangan. Perintah berperang dengan senjata diizinkan jika mereka-mereka yang berdaulat, berkuasa dan membawa nama agama datang untuk memerangi orang Islam serta memaksa orang dengan kekerasan agar meninggalkan agama Islam. Dalam keadaan berperang pun telah diperintahkan agar jangan melampaui batas.[43] Jika musuh berhenti memerangi dan menghendaki perdamaian, maka peperangan harus dihentikan.[44] Allah memerintahkan berperang tidak untuk memusnahkan agama lain, bahkan untuk melindungi berbagai agama.[45] Ayat ini menerangkan dengan kata-kata yang tegas, bahwa perang agama dapat dibenarkan jika suatu bangsa atau negara atau pemerintahan melarang orang mengatakan Rabbunallah –“Tuhan kami hanyalah Allah,[46] memaksa orang-orang agar keluar dari Islam, atau mencegah dengan kekerasan agar orang tidak menerima Islam, atau membunuhi orang karena beragama Islam. Jadi, kepada bangsa/Negara yang seperti itu jihad dengan senjata dapat dilakukan. Jika peperangan terjadi antarbangsa, antarsuku, atau antarkelompok, peperangan yang demikian hanya peperangan biasa dengan dimensi politik, alasan keamanan, mempertahankan diri dan sebagainya. Peperangan yang demikian bukanlah peperangan atas nama Tuhan (agama).
Singkat kata, Jemaat Ahmadiyah tidak mengingkari jihad, melainkan menentang salah pengertian tentang jihad. Kesalahpahaman konsep jihad mengakibatkan Islam sangat menderita. Perang dan pertikaian di dunia Islam sering terjadi. Sesungguhnya jihaad kabir (besar) hanya dapat dilakukan dengan perantaraan Al-Qur’an, bukan dengan senjata atau kekerasan. Jihad dengan senjata hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat yang ditentukan oleh Al-Qur’an serta contoh-contoh dari Rasulullah Saw. telah terpenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, maka jihad dengan menggunakan senjata tidak diperlukan lagi.[47]

4. Penjelasan Mirza Ghulam Ahmad Tentang Jihad
Selain itu, jihad erat hubungannya dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengemukakan bahwa pada suatu masa negeri Punjab di Hindustan, ketika di bawah kekuasaan dan pemerintahan kaum Sikh, keadaan yang amat memilukan terjadi menimpa umat Islam. Hz. Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
“Kaum muslimin belum lagi lupa akan masa-masa kekuasaan Sikh, ketika mereka disiksa dalam tungku api dan tidak hanya 74 materinya yang musnah, bahkan agamanya dalam keadaan amat buruknya. Sulit bagi mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, sampai suatu ketika seorang muslim dibunuh karena mengucapkan adzan.” (Pengumuman, 10 Juli 1900)1[48]
Selanjutnya dalam literatur Sikh disebutkan:
“Rupanya kaum Sikh ini terdorong oleh rasa benci terhadap kaum muslimin, wanita dan anak-anak dibantai tanpa ampun, kampung halaman dimusnahkan, perempuan-perempuan dicabuli dan beribu-ribu mesjid dihancurkan.” (Encyclopaedia of Sikh Literature, hlm. 1127)[49]
Ketika kerajaan Inggris menguasai Hindustan dan mengambil alih kekuasaan Sikh, pada tanggal 1 November 1854 di Allahabad, pemerintahan Inggris atas nama Ratu Victoria memberi kebebasan bagi setiap penduduk untuk meyakini dan menjalankan ibadahnya masing-masing dengan rasa aman dan berdasarkan hukum berhak memperoleh perlindungan serta keamanan yang setara tanpa kecuali. Beliau menjelaskan sebagai berikut:

“Masalah kedua yang telah saya tegaskan adalah mengenai ajaran Jihad yang telah disalah-pahamkan oleh sebagian orang Islam yang tidak tahu. Tuhan telah memberi tahu saya, bahwa perbuatan-perbuatan yang dianggap jihad, sama sekali kontroversial dengan ajaran Al-Qur’an. Jelas, Al-Qur’an mengizinkan kaum muslimin untuk berperang dengan cara-cara yang rasional daripada cara-cara peperangan Musa dan lebih elok daripada cara-cara peperangan Yoshua, putra Nuh. Asal muasalnya adalah dari kenyataan bahwa orang-orang yang telah mengangkat pedang kepada kaum muslimin tanpa alasan benar, membunuh dan berbuat sangat aniaya, mereka patut dihukum dengan pedang. Tetapi hukuman tidak sekeras apa yang dikenakan kepada musuh pada peperangan Musa. Seseorang yang memeluk Islam atau setuju untuk membayar pajak kepala, ia dibebaskan dari hukuman, dan cara ini adalah sesuai dengan hukum alam. Pendeknya, pada zaman Rasulullah Saw. dasar jihad Islam adalah bahwa Tuhan telah murka kepada orang-orang zalim. Akan tetapi hidup di bawah kekuasaan suatu pemerintahan yang baik seperti pemerintahan Ratu kita, kalau membuat rancana jahat terhadapnya, itu namanya bukan jihad tetapi suatu gagasan biadab yang lahir dari kejahilan. Berbuat jahat terhadap suatu pemerintah yang memberi kebebasan hidup dan keamanan penuh, dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan sepenuhnya, adalah suatu tindakan kriminal, bukan jihad…Walhasil, Tuhan Maha Besar telah menempatkan saya dalam ketentuan bahwa ketulusan, taat dan berterima kasih harus ditampakkan kepada suatu pemerintah yang baik seperti umpamanya pemerintah Inggris. Saya dan jemaat terikat oleh ketentuan ini. Saya telah menulis buku dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu tentang masalah ini, dan telah membeberkannya dengan terperinci bagaimana kaum muslimin di India Inggris berkehidupan tentram dalam pemerintahan Inggris, dan bagaimana mereka dapat menyebarkan agama dengan bebas dan menunaikan kewajiban agama tanpa hambatan apa pun, betapa keliru dan jahat jadinya kalau mempunyai gagasan jihad terhadap pemerintah yang beberkah dan cinta damai ini.” (Tuhfah Qaisariyyah, hlm. 9-10)[50]

Jadi, menurut Imam Mahdi/Masih Mau’ud a.s. dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasarnya melakukan jihad dengan senjata kepada pihak yang berdaulat di anak benua India,[51] karena tidak terdapatnya syarat-syarat untuk ber-jihad pada masa dan situasi ketika itu.
Kenyataan sejarah Islam juga membuktikan, bahwa Rasulullah Saw. pada tahun 628 M telah mengirimkan utusan-utusan yang membawa surat seruan kepada raja-raja, kaisar-kaisar dan penguasa-penguasa untuk mengikuti beliau Saw. dan menerima Islam, di antaranya Heraklius (Romawi), Negus atau Najasyi (Abessinia),[52] Kisra (Persia), Muqauqis (Mesir), Raja Bahrain, Penguasa Oman dan Yamama, Harith al-Ghassani (Syam) serta Harith al-Himyari (Yaman). Mengutip Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad, terdapat suatu riwayat ketika perlawanan terhadap kaum muslimin di Mekkah semakin menjadi-jadi, Rasulullah Saw. menyarankan agar mereka mengungsi dengan cara berpencar. Mereka bertanya ke mana sebaiknya harus pergi, kemudian Nabi Muhammad Saw. memerintahkan umat Islam agar pergi hijrah[53] ke Abessinia karena di sana diperintah oleh Negus, seorang Raja Abessinia (Ethiopia) yang beragama Kristen, yang memiliki toleransi dan keadilan.[54] Beliau Saw. bersabda:
 “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah menentukan jalan buat kita semua.”[55]
Dari sejarah Islam dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, meskipun Abessinia adalah negeri Kristen, sama seperti Inggris yang merupakan negeri Kristen, namun Rasulullah Sasw. menyebutnya sebagai negeri yang jujur dan diperintah oleh seorang raja Kristen yang baik serta tidak menganiaya penduduknya, dan dalam konteks seperti inilah kemudian Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. juga mengatakan hal yang sama kepada negeri Inggris yang saat itu diperintah oleh Ratu Victoria. Pendiri Jemaat Ahmadiyah selanjutnya mengemukakan tentang jihad dengan senjata kepada pemerintah Inggris sebagai berikut:
“Tak diragukan bahwa alasan ber-jihad tidak ada di negeri ini pada waktu sekarang. Karena itu, muslimin negeri ini dilarang atas nama agama memerangi dan membunuh mereka-mereka yang menolak hukum Islam. Tuhan Maha Besar dengan jelas melarang jihad dengan pedang dalam suasana aman tenteram.” (Tuhfah Golarwiyah, asy-Syirkah al-Islamiyah, Rabwah, hlm. 82)[56]
Barangkali, itulah tanggapan pembelaan Ahmadiyah mengenai tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu adalah bonekanya Inggris yang dapat dikendalikan oleh Inggris. Dengan kata lain, tercetusnya aliran Ahmadiyah yang digawangi oleh Mirza Ghulam Ahmad itu adalah atas suruhan Inggris.
Dari kronologis munculnya makna jihad yang dilatarbelakangi oleh sosio kultur-histori pendirian Ahmadiyah oleh Mirza Ghulam Ahmad, akhirnya dalam perkembangan berikutnya Amadiyah mencoba merumuskan makna jihad di atas yang tidak lepas dari pendapat pendirinya, Mirza Ghulam Amad.
Bagi Amadiyah, jihad didefinisikan sebai tindakan mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan kekuatan yang dimiliki dalam menghadapi pertempuran, menyamapikan pesan kebenaran, ataupun mengerhakan seluruh adya kemampuan dalam menghadapi suatu urusan atau dengan kata lain jihad adalah tidak menahan apa pun, menerhkan segala daya dengan memaksakan diri dalm mencapai suatu tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh Ahmadiyah, menyatakan bahwa sekitar 40 ayat dalam Al-Qur'an yang terkait dengan masalh jihad dan semuanya emngnadung pengertian berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras. Dalam pandangan jihad menurut Al-Qur'an adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridhai Allah Swt. Tindakan mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamkn jihad, dalam Al-Qur'an istilah yang tepat sering disebut qital.
Ahmadiyan mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori, yaitu pertama, Jihad Shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan banga dengan memeprgunakan senjata terhadap musuh-musuh yang menggunakan kekerasakan dan senjata dengantujuan memusnahkan agama, nusa, dan bangsa. Ahmadiyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad dengna senjata untuk membela agama sudah tidka diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada sorang atau pihak yang mempergunakan senjata untuk membela dan mengembangkan agama. Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah nilainya. Kedua, Jihad Kabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalils atau keterangan, baik liasn maupun tulisan untuk menyebarluaskan ajaran Al-Qur'an kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan oleh Ahmadiyah saat ini. Ketiga, Jihad Akbar adalah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu amarah sendiri, jihad yang ketiga ini merupakan bentuk jihad paling berat, karena menghadapi setan dan hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat. Jihad dalam bentuk ini dialukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas. Hanya usahaya dan doa sebagai jalan untuk memohon pertolongan Allah Swt. secara terus menerus dan juga dengan menjalnkan shalat. Kategori jihad ini sangt tergantung pada faktro darisifat manusia itu sendiri dalam menerjemahkan hawa nafsunya dalm akitivitas prksis sehai-hainya.
Khlifah II Ahmadiyah Bashirudin Mahmud Ahmad menyimpulkan baha banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang AHmadiyah terkait dengan permasalahan jihad. Menurut pandangannya dan kemudian menjadi paham Ahmadiyah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu, petama, perang jihad dan kdua, perang lumrah. Perang jihad adalah perang yagn terjadi karean dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh yang dihadapi adalh sekelompok orang atau pihak yagn mencoba membeinasakan dan melakukantidnakan kekeasaan dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yan menjadi mainstream dalam peperangan tersebut adalah perang agama atau perang suci (holy war). Khalifah II ini lebih lanjut menjelaskan, bahw jika seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi seperti di atas, mak wajib bagi setiap kaum muslimin untuk berjihad, tetapi ada persyaratan yang harus dipenuhi dalam perang jihad tersebut, di antaranya adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan menginstruksikan kepada umatnya bahw siapa asja yang berhak mengikuti perang jihad dan siapa yang harus menunggu gilirannya, karena hal ini akan mempermudah koordinasidan konsolidasi di antara umat Islam. Khlifah II mengatakan bahwa barng siapa yagn pada gilirannya harus turun ke medan jihad dan tidak melaksanakannya, maka menjadi dosa baginya.
Ahmadiyah memandang bahwa saat ini banyak roang yang telah tergelincir pada "lubang hitam" atau kesalahpahaman dalam memahami konsep jihad Ahmadiyah, dalm arti bahwa mereka menganggap Ahmadiyah telah mengingkari jihad. Sebenarnaya, Ahmadiyah sendiri tidak mengingkari jihad, hanya saja menentang kesalalahpahaman terhadap interpretasi makna jihad yng selalu diartkan dengan mengangkat senjata, sehinga karena pemaaman yagn salah tersebut, umat Islam menderita dewasa ini.
Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, bahwa isu Ahmdiyah yang tidak mempunyai syariat jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk berjihad ketika pemerintah Inggris melakukan penjajahan serta berkuasa di India dan Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang, bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiyah yang pada waktu itu tidak melakukan jihad dengan senjata melawan Inggirs. Hal yang muncul ke permukaan adalah bahwa faktor politik mendorong Ahmadiyah untuk bersikap seperti itu. Gerakan Ahmadiyah pada waktu itu telah melakukan kompromi dan kesepakatan plitik dengan Inggris. Ahmadiyah telah melakukan perjanjian perdamaian dan mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggirs di India dan Pakistan. Sebagai imbalannya, mereka meminta dukungan dan perlindungan terhadap gerakan mereka serta para jemaatnya supaya tidak mengalami intimidasi apa pun dari pemerintahan Inggris. Lebih jauh banyak di kalangan pemimpin Ahmadiyah yang menjadi "antek" atau "demang" pemerintah Inggris untuk menjadi duta dan komunikator dengan masyarakat. Di samping itu, pemerintah Inggris harus membantu kelangsungan gerakan Ahmadiyah dan perkembangannya ke berbagai Negara.
Memang tidak dapat diasngkal kedekatan keluarga Ghulam Ahmad dengan pemerintahan Inggris sebagiamana dijelaskan dalm pembahasan terdahulu, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan kedekatan Ghulam Ahmad dengan pemerintah Inggris sebagai berikut:
"Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Ingris bukan hanya hubungan antara muslim yang hendak berterima kasih karena telah berbuat baik kepadanya…, tetapi hubungan itu adalah lebih dekat kepada hubungan antara seorang 'pelayan' kepada seorang 'majikan'. Denga mengutip perkataan Ghulam Ahmad, 'Sungguh telah aku habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu pemerintah Inggris.'"
Dalam keterangan yang lain, Ghulam Ahmad mengtakan bahwa hanya dengan bernaung di bawah peperintahan Inggris, kehidupan masyarakat India akan berlangsung aman, sentosa, danmerdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad sebagi imam dan sosok yang dihromati dengan doktrin yang diasmpaikan kepad jemaatnya untuk tidak melakuakn perlawnan dan mengangkat senjata kepada pemeritnahan Inggris merupkan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahwakan Ghulam Ahmad menyarankan kepada jemaatnya untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan kepada pemeritnahan Inggris dan supaya menjadi kkoloni India lebh lama lagi. Menyangkal sekaligus menjawab persepsi negative tersebtu, para pndiri (founding faters) Ahmadiya, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam kitabnya Tahfah Golarwiyah mengatakan bahwa, "Tidak sedikit pun keraguan bahwa syarat-syarat yang diletakkan (dalam Al-Qur'an Suci) tidak didapat saat ini di negeri di mana penusli hidup, karena itu di sini jihad dengan pedang tidak sah."
Dalam pandangan Ahmadiyah, penjajahan Inggris pada waktu itu tidak menuntut kepada masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau memaksakan melepaskan kepercayaan dan keyakinan agma masyarakat. Bahkan Ahmadiyah memandang akan mewajibkan anggotanya untuk berjihad, jika seandainya Inggris menuntut melepas atau menukar agama, maka hukumnya wajib, tetapi situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu.
Khlifah II menyangkal tuduhan dan isu yagn berkmbang tersebut, khalfah mengatakan, bahw mnurut hemat kami pada waktu itu belum tiba saatnya melakukan jihad dengan senjata dan jika kami berada dalam posisi dan sikap yang salah in sematamata hanya kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa Ahmadiyah lebih memilih mengaplikasikan bentuk jihad kabir dan jihad akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, dan bukan jihad shaghir. Menurut Ahmadiyah bahwa pada abad XX, jihad dalam bentuk perang sudah tiadk sesuai lagi. Jiad dengan lisan atau pun tulisan adalah jihad yang palng tepat. Dalm tulsannya Ghulam Ahmad mengatakn bahwa:
"Pa sat ini Islam menghadapi ancaman yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan tetapi alat yang mereka gunakan berllainan sama sekali dengan apa yang mereka gunakan tiga belas abad yang lampau (Perang Salib). Kini mereka menggunakan tulisan-tulisn untuk menyerang dan memfitnah, baik dalam surat kabar, pentas-entas, maupun dalam buku-buku bacaan. Kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang (berjihad) sekuat tenaga untuk membatalkan propaganda palsu lawn. Adapun alatnya cukup dengan pena dan tinta saja, untuk menulis karangan yang bermutu dan sangat menguntungkan Islam…"
Dalam pandangan Ahmadiyah, ketika terjadi keterlibatn dengan pemerintah pada pelaksanaan jihad kabir dan jihad akbar, maka Ahmadiyah harus taat dan setiap kepada pemerintah dan Negara di mana mereka berada. Hal ini dibuktikan dengan gerakan Ahmadiyah yang dengan gencar melakukan perlawanan terhadap agama Kristen, Hindu, Budha, dan Marxis dengan perlawnan menggunakan dalil-dalail dan keterangan yang argumetnatif serta rasional menurut mereka. Bahkan sampai sat ini Ahmadiyah masih trus melakuakn bebgai aplikasi jihad untuk kemajuan Islam tanpa harus mengangkat senjata.
Secara garis besa, ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah II mengapa Ahmadiyah tidak melakukan perlawanan kepada Inggris? Pertama, di bawah pemerintahan Inggris kebebasan beragama menjadi terjamn, tidak ada pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah politikus pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekadar pemimpin ruhani tidak ada factor politik apa pun yang melatarbelakangi sikap Ahmadiyah dalam memandang jihad. Labih jauh Ahmadiyah memandang bahw kemajuan Islam ditentukan oleh penghayatan dan pengkajian umat Islam untuk menggali makna tersembunyi di balik Al-Qur'an. Apabila Al-Qur'an itu dipahami dengan sebaik-baiknya, maka jihad seharusnya dilancarkan dengan perantaraan Al-Qur'an bukan dengan pedang.
Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang controversial antara Ahmadiyah dengan "mayoritas umat Islam" tentang makna jihad. Hanya saja Ahmadiyah menganggap bahw di dalam makna jihad terkandung makna qital, seperti dalam jihad shaghir, tetapi saat ini jihad shaghir dengan makna qital dianggap sudah tidak ada, sebaliknya yan ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda dengan "mayoritas umat Islam" bahwa jihad masih bias dipahami dalam bentuk jihad shaghir, jihad akbar, dan jihad kabir. Maka dari itu, makna jihad menurut Ahmadiyah ketika dikatkan dengan pemerintahan, mereka tidak memerhatikan siapa pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap baik, bagaimanapun adanya penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk kedaulatan dan kemerdekaan negeri sendiri meruapkan hal yang paling krusial dan harus dipertahankan dengan berbagai cara.[57]

5. Konsep Khilafath
Pemahaman Ahmadiyah tentang konsep khilafah baik aliran Qadian maupun aliran Qadian maupun aliran Lahore sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada Al-Qur'an. Namun demikian, di antara kedua aliran Ahmadiyah tersebut berbeda dalam memberikan penafsiran. Menurut Ahmadiyah Qadian, dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II), bahwa perkatan khalifah (pengganti) yang tedapat dlam Al-Qur'an dipahami dan dipergunakan dalam tiga pengertian, antara lain, pertama, khalifah dipergunakan untuk Nabi-nabi yang disinyalir sebagai pengganti Allah Swt. di dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai khalifah[58] dan sama juga sepeti Nabi Daud.[59] Kedua, khalifah dipahami sebagi makna bagi umat atau kaum yang datng kemudian.[60] Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti Nabi yang dipilih oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti Nabi, karena mereka telah mengikuti jejak para Nabi sebelumnya. Proses pergantian tersebut secara langsung diangkat oleh Allah Swt. Khalifah dengan pangkat Nabi ini berkedudukan sebagai pengganti atau pendamping baig Nabi yang ada sebelumnya atau pada masanya, seperti Nabi Harun yagn merupakan khalifah bagi Nabi Musa.[61]
Kategori khalifah dalalm pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah para pemimpin ruhani. Aliran Ahmadiyah Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua Nabi dan Rasul yagn disebutkan dalam Al-Qur'an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para Rasul dan Nabi yang diutus Allah Swt. yang hanya menjabat seabgai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa, Zakaria, dan Harun, sementara Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Nabi sekaligus pemegang tampuk kepemimpinan pemerintahan. Para khalifah yang menggantikan beliau, seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib juga pemimpin pemerintahan, tetapi system khalifah ini berakhir sejak masa Mu'awiyah berkuasa, karena penguasa yang dantang berikutnya hanya berdasarkan keturunan atau pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khlifah sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur'an.
Sementara AHmadiyah Lahore menyatakan bahw ada dua macam khalifah. Pertamai, khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam Al-Qur'an.[62] Dalam ayat tersebtu dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan system kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad Saw. adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjtukan oleh para sahabatnya khulafâ' al-Râsyidîn. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spiritual yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat. Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para mujaddid yang akan memperbaharui agamanya.
Di kalangan alrian AHmadiyah pun terjadi perbedaan penadpat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menuruit Ahmad Qadiyan setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah system khilafah dalam Ahmadiyah yan dinela dengan khalifah Al-Masih. Doktrin khalifah Al-Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang menggantikannya. Hal ini juga didarkan pada hadits Nabi yan menggambarkan hakikat seorang khalifah dibandingkan dengan pemimin Negara. Hadit tersebut adalah sebagai berikut:
"Akan ada kenabian pada kamu selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada, kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada khilafah dengan pola kenabian selam dikehendaki Allah Swt. aupaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada kerajaan absolute dan itu ada selam dikehendaki Allah Swt. supaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian aka nada kerajaan absolute dan itu ada selama dikehendaki Allah Swt. supaya ada. Kemudian Allah Swt. mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah dengan pola kenabian. Kemudian dia berdiam diri."[63]
Ahmadiyah Qadian meyakini bahwa apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. telah terbukti menjadi kenyataan. Sejarh Islam telah mencatat bagiman awal kekhalifhan dengan pola kenabian dan dikenal dengan khilafah rasyidah, mulai dari Abu Bakar ra. dan berakhir dengan Ali bin Abi Thalib ra. Setelah itu baru munculah kekhalifahan dengan pola kerajaan yang berawal dari Mu'awiyah dan berakhir dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola terseut terlewati dalam masa kesejarahan Islam, merujuk pad hadits Rasul di atas, akan muncul kembali pola kekhalifahan dengan system kenabian kedua pada masa Isa dan Mahdi. Atas dasar polarisasi system kekhalifahn tersebut, maka AHmadiyah berdiri sebagai kelanjutan system kekhalifahan tersebut. Dalam Ahmadiyah dikenal dengan khilafah Al-Masih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari pekerjaan Ghulam Ahmad, Al-Masih dan Imam Mahdi yang berpangkat Nabi.
Sestem khilafah dengan pola kenabian yang ada pada masa Nabi MUhamam Saw. sebenarnya berbda dengan yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah dengan pola kenabian pada masa Nabi Muhammad Saw. mempunyai fungis ganda, yakini di samping sebagai Nabi yang mempunyai misi menyebarkan dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalaknakan fungisi pemerintahan. Sementra itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad hanya berfungsi tunggal, semata-mata sebagai pemimpin ruhani yang menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam arena kekuasaan dan tidak memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiyah Qadian, setelah Ghulam Ahmad meninggal menjadi wajib hukumnya untuk dicarikan penggantinya sebagai khalifah bagi Jemaat Ahmadiyah yang menjadi pemimpin trtinggi yang harus ditaati.
Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmadi, maka tampuk pimpinan dilanjutakan para khalifah berikutnya. Berikut urutan pimpinan Ahmadiyah Qadiyan adalah sebagai berikut:

Berbeda denan panagnan Amadiyah Qadian, Ahmadiyah Lahore dengan dasar QS. Al-Nûr [24]: 55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai landasannya, bahwa setelah kekahlifahan Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah system khilafah dalam AHmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr Anjuman AHmadiyah. Sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajiba ditaati karena kahlifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja, sementara tanggung jawab kepemimpinan tetap berada di tangan Pusat Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajiba diaati. Menurut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khalifah rasyidah dan termasuk seetalh Gulam Ahmad tiadk ada lagi khalifah, yang ada hanyalah mujaddid yang muncul setiap satu abad sekali.
Pandangan Ahmadiyah Lahore tentang khalifah ini menjadi awal pemicu dari perpecahan di kalangan Ahmadiyah. Ada beberapa factor yang menyebabkan perbedaan tersebut, di antaranya adalah pertama, perbedaan penafsiran tentang suran dan wasiat Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan penafsiran terhadap QS. Al-Nûr [24]: 55, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalh sikap kontroversial yang diambil oleh aliran Ahmadiyah Lahore seputar penolakan terhadap system khalifah sebagaimana Ahmadiyah Qadian. Penolakan itu muncul justru setelah Khalifah I Maulana Hakim Nuruddin meninggal 1914 M. Ahmadiyah Lahore mengingkari keabsahan khilafah setelah system tersebut sudha berlangsung selama satu periode Khalifah I, padahal seharusnya justru penolakan dan pengingkaran ini sudah disampaikan setelah Ghulam Ahmad meninggal. Hal tersebut di kalangan Ahmadiyah dan beberapa pemerhati Ahmadiyah justru mengundang kontroversial, bahkan yang muncul adalah isu negative bahwa pemahaman yang dianut Ahmadiyah Lahore didorong oleh kekalahan politik pada masa pemilihak Khalifah II, sehingga memisahkan diri ke Lahore. Pada sisi ini perbedan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore dengan kaum muslim secara umum tentang khilafah. Perbedaan tersebut terletak pada beberapa hal, antara lain, menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang menggantikan Rasulullah Saw. tidak berarti mengganti pangkat dan kedudukannya sebagai Nabi dan penerima wahyu, melainkan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di samping itu, bahwa makna khalifah setelah Rasulullah Saw. dalam pemimpin Negara dan agama yang kewenangannya telah diberikan oleh yang berwenang. Sementara Ahmadiyah Qadian menganggap bahwa khalifah yang menggantikan Nabi sekaligus berfungsi mengganti kedudukan Nabi dan menerima wahyu dari Allah Swt., sementara Ahmadiyah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut hanyalah sebagai mujaddid, tetapi dipilih oleh Tuhan melalui wahyu.
Adapun urutan pimpinan Gerakan Ahmadiyah (Ahmadiyah Movement) atau Ahmadiyah Lahore yang tidak mengenal khalifah sebagai pemimpin, akan tetapi seorang Amir yang diangkat sebagai pemimpin adalah sebagai berikut:
Menurut sebagaian besar umat Islam, hal ini merupakan sesuatu yang paling prinsipin yang membedakan antara mayoritas umat Islam dengan aliran Ahmadiyah.[66]

6. Iradah Allah
Iradah Allah tidak lahir akibat suatu energi/kekuatan, justru yang menimbulkan energi. Setiap kekuatan timbul dari Iradah Alalh. Demikian Allah telah memberikan introduksi tentang Dzat-Nya:

"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia."[67]

Kun berupa iradah yang memutuskan untuk mewujudkan suatu keputusan. Keputusan-Nya itu sudah ada, sebab Dia adalah 'Alimul Ghaib' (Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib). Dia yang mengambil keputusan untuk mewujudkan/menerapkan suatu kepatusan tertentu. Dari aspek itulah terdapat istilah waktu. Tetapi waktu tersebut tidak menuntut terjadinya perubahan pada Dzat-Nya. Dan tidak pula sekadar mengadakan perubahan pada suatu zat tertentu sjaa, justru seluruh alam aya kadang-kadang Dia rubah. Di bagian mana saja Dia menanamkan pengaruh/gerakan, di sanalah terjadi perubahan. Akan tetapi sejauh yang berkaitan dengan energi/kekuatan, iradah Ilahi ini tidak memerlukan energi seperti yang diperlukan oleh iradah makhluk.[68]

7. Nabi Isa dan Al-Masih
Menurut kaum Ahmadiyah, kepercayaan tentang masih hidupnya Nabi Isa di langit merupakan salah satu bahaya besar bagi keimanan agama Islam dan kaum muslimin. Kaum muslimin yang percaya bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dengan jasad kasarnya, secara tidak sadar telah mendukung dan membantu kelangsungan hidup agama Kristen serta cenderung memuliakan Nabi Isa melebihi kemuliaan nabi Besr Muhammad Saw. sendiri.[69]
Banyak orang salah dalam menafsirkan surat Al-Nisa [4]: 157-158. Menurut mereka, Nabi Isa tidak disalib tetapi diangkat oleh Allah ke alngit. Orang yang disalib adalah orang lain. Allah telah menggantikan Nabi Isa dengan orang lain yang diserupakan seperti dirinya. Bunyi ayat tersebut adalah:

"Dan Karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Menurut kaum Ahmadiyah, perkataan wamâ shalbûhu dalam ayt di atas bukan berarti bahw orang Yahudi tidak menaruh Nabi isa di atas salib, tetapi yang sebenarnya, mereka tidak menyalibnya smpai mati, di dalam kamus Munjid terbaca pengertian shalbûhu adalah Ia menyalib tulang-tulang, artinya mengeluarkan sum-sumnya.[70]
Sedangkan Nabi Isa tidak dipatahkan tulang-tulangnya dalam peristiwa penyaliban tersebut. Adapaun maksud perkataan syubiha lahum (disamarkan atas mereka) bukan berarti itu diaganti dengan orang lain, melainkan disamarkan seolah-olah telah mati di atas kayu salib. Tentang perkatan rafa'a bukan berarti di angkat ke langit akan tetapi pengertian tersebut sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, "Apabila seorang hamba merendahkan hatinya, Allah meninggikan derajatnya sampai langit ke tujuh."[71]
Menurut pengertian kaum Ahmadiyah, Nabi Isa telah wafat sebagaimana wafatnya manusia lain dan beliau dikuburkan di daerah Kashmir Punjab Hindustan.
Pada akhir zaman, Nabi Isa akan turun ke dunia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw.:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Tuhan yang diriku di tangan-Nya, akan turun Isa ibnu Maryam kapdamu menjadi hakim yang adil, maka ia memecah salib, membunuh babi, menghentikan peperangan, and melimpahkan harta yang banyak sehingga tak ada lagi yang menerimanya.[72]
Menuru pemikiran kaum Ahmadiyah, Yesus Kristus telah wafat dan turnnya putra Ibnu maryam ke dunia, bukan berarti datangnya kembali dalam bentuk pribadi yang sama, tetapi itu menunjukkan akan datangnya seorang Al-Mau'ud (yang ditunggu) di antara kaum Muslim yang diberi tugas khusus untuk membawa risalah Islam kepada dunia Kristen.[73]
Begitu pula untuk menjernihkan sanggahan bahwa Islam disebarluaskan atas ujung pedang, maka sangat perlu menghapuskan doktrin palsu tentang datangnya seorang Mahdi yang akan menyebarluaskan Islam dengan senjata. Islam tidak memerlukan kekerasan atau paksaan demi kemenangan ruhaninya. Sebagaimana di zaman lampau, maka di waktu yang akan datang pun Islam akan menawan hati manusia dengan keindhan yang murni dari ajarannya.
Sebaliknya, Al-Mahdi adalah nama lain bagi Al-Masih yang akan datang. Inilah arti penting dakwah Mirza Ghulam Ahmad yagn menyatakan bahwa dia adalah Al-Masih dan Mahdi yang hanya bertujuan untuk menghilangkan keduarintangan besar yang menghadang kemajuan Islam.[74]

8. Konsep Kenabian
Pada umumnya, umat Islam mendefiniskan Nabi dan Rasul adalah seorang laki-laki yang akil, baligh, berbudi pekerti baik, dan kepadanya diturunkan wahyu syariat. Jika seorang laki-laki tersebut diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat, maka ia disebut sebagai Rasul. Sebaliknya, jika dia tidak diperintahkan menyampaikan apa yang diterimanya sebagai wahyu, maka ia didefinisikan sebagai Nabi.
Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap Rasul secara otomats berpangkat sbeagai Nabi, tetapi tidak setiap Nabi berarti Rasl. Jumlah Nabi sangat banyak sekali, bahkan tidak semuanya tersebut dalam Al-Qur'an. Ada yang menyebutkan bahwa jumlah Nabi sebanyak 314 orang yang dimulai dari Nabi Adam as. dan berakhir hingga Nabi Muhammad Saw.
Namun dalam perspektif Muhammadiyah jumlah dan definisi Nabi yang sudah diuraikan di atas dianggap kurang tepat. Menurut Ahmadiyah, jumlah Nabi tersebut tidak benar, karena jumlah Nbi yang membwa syariat itu sangat sedikit. Hanya Nabi Musa as. Yang membawa kitab Taurat dan Nabi Muhammad Saw. yang membawa Al-Qur'an. Sementara bagi para Nabi yang lain, mereka hanya melanjutkan syariat-syariat Nabi sebelumna. Adapun Zabur dan Injil bukanlah kitab sariat, karena semua Nabi –setelah Nabi Musa as.– secara keseluruhan berhukum pad Taurat.
Adapaun pengertian Nabi itu sendiri menurut Ahmadiyah adalah seorang laki-laki yang baligh, berakal, berbudi pekerti yang baik, dan diturunkan wahyu kepdanya. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum yang belum terdapat dalam syariat sebelumnya, maka dia dinamakan Nabi yang membawa syariat baru. Sementara jika mereka idak membawa syariat baru, maka dia dinamakan Nabi pembantu. Fungsi dari Nabi pembantu itu adalah menguatkan menjelaskan apa yang terdapat dalam syariat yang dibawa oleh Nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiyah perbedaan antara Nabi dan Rasul hanya nisbati, sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadiyah, baik Nabi maupun Rasul sama-sama harus menyampikan wahyu yang diterimanya, Karen kalau tidak disampikan ia akan berdosa Karen telah menyemunyikan pengetahuan yang telah diterimanya dari Alalh Swt. Sinkatnya, menurut Ahmadiyah setiap Nabi adalah Rasul adalah niscaya sebaliknya, setiap Rasul adalah Nabi.
Bagi kalgnan Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore mempunyai kategorisasi yang berbeda dengan umat Islam secara umum. Menurut Ahmadiyah Qadian, ada tiga kategorisasi kenabian, yaitu: pertama, Nabi Shahib Al-Syari'ah dan Mustaqil. Nabi Shahib Al-Syari'ah adalah Nabi yang membawa syariat dan hukum perundang-undangan Allh Swt., sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang diangkat sebagai Nabi yang tidak mengikuti Nabi sebelumnya, seperti kehadiran Nabi Musa as. Yan kedatgangannya bukan Karena mengikuti ajaran sebelumnya, tetapi langsung menjadi Nabi yang membawa syariat Taurat. Sama halnya dengan Nabi Muhammad Saw. yang dating membawa Al-Qur'an.
Kedua, Nabi Mustaqil Tashri', yaitu seorang hamba Allah Swt. yang berpangkat sebagai Nabi yang kehadirannya tidak mengikuti Nabi sebelumnya, tetapi tiak membawa syariat baru. Banyak para Nabi yang masuk dalam kategori ini, antara lain: Nabi Zakaria, Yahyah, Sulaiman, dan Daud, semuanya ditugakan oleh Allah Swt. untuk meneruskan apa yang telah diajarkan oleh Musa as. yang terdapa dalam Kitab Taurat, meskipun kehadiran mereka bukan atas dasar mengikuti Musa as. Dan ketiga, Nabi Zhili Ghair Tasyri', yaitu hamba Allah Swt. yang berpangkat sebgai Nabi karena semata-mata mendapatkan anugerah dari Allah Swt. Kepangkatannya didapatkan oleh karena kepatuhan kepada ajaran para Nabi sebelumnya dan setia menjalankan syariatnya. Kategori Nabi seperti ini kedudukannya berada satu tingkat di bawah kenabian dan idak membawa ajaran baru. Mereka yang masuk dalam kategori ini salah satunya adalah Ghulam Ahmad.
Lain halnya dengan Ahmadiyah Lahore yang membagi klasifikasi kenabian menjadi dua kategori yaitu, pertama, Nabi Haqiqi, aitu Nabi yang ditunjuk langsung oelh Allah Swt. dan membaw sariat. Kedua, Nabi Lughawi, yaitu seroang manusia biasa, tetapi banyak persamaan yang cukup signifikan dengan para Nabi yang lain, yakni dia menerima wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi bukanlah wahyu yng dapt berfungsi sebgai syariat meskipun banyak mengandung banyak pengetahuan dan berita ghaib. Nabi dengan kategori ini sering juga disebut dengan 'Nabi bukan haqiqi.'
Salah satu tokoh Ahmadiyah Qadian, R. Syafi'i R. Batuah, mengatkan bahwa aliran Qadian lebih banyak menggunakan istilah Nabi Zhili atau Nabi buruzi yang mengnadung pengertian Nabi bayangan. Maksud dari pemaknaan tersebut adalh bahwa Nab yang hadits akan menjadi bayangan Nabi sebelumnya, karena ia mengikuti dan tunduk terhadap semua sifat yang dimiliki oleh Nabi sebelumya. Nabi buruzi atau Nabi zhili ini diangkat oleh Allah Swt. Di kalangan Ahmadiyah Qadian juga sering menyebut Nabi dalm kategroi ini sebagai Nabi ummati, majazi, atau  nabi kiasan. Sementara tokoh Ahmadiyah Lahore, Djojosugito, menganggap bahwa Nabi mustaqil memiliki wewenang untuk menghapus atau menambah ajaran yan dibawa oleh Nabi sebelunya dengan petunjuk yang telah diberikan kewenangan oleh Allah Swt., sehingga sedikit demi sedikit perubahan syariat kea rah yang lebih sempurna akan terjadi secara kontinu selama proses kenabian mustaqil masih ada.
Terkait dengan Ghulam Ahmad, terjadi perbedaan mendasar antara aliran Qadian dan Lahore. Alrian Qadian menganggap bahwa kenabian yag membawa syariat bau sudah berakhir, tetapi untuk kenabian zhili ghairi tasyri'i masih akan terus terbuka. Namun kenabian ini akan berlangsung kedatangannya dari umat Nabi Muhammad Saw. Pada ranah ini, aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi. Sementara aliran Lahore meyakini bahwa Ghulam Ahmad hanyalah sebagai mujaddid, meskipun secara implicit mereka menganggap sebagai Nabi lughawi atau majazi.[75]

Pintu Kenabian Tetap Terbuka
Bagi kaum Ahmadiyah wahyu itu banyak macamnya, yaitu:
1.      Wahyu dengan syari'at
2.      Wahyu tanpa syari'at
Wahyu dengan syari'at tidak mungkin lagi turun sesudah Al-Qur'an karena syari'at Al-Qur'an telah sempurna dan berlaku sampai hari kiamat. Sedangkan wahyu tanpa syari'at, mungkin saja turun sewaktu-waktu.
Orang-orang yang percaya bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw. tidak ada Nabi lagi, memaparkan dalail naqli ayat Al-Qur'an:

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu."[76]

Sedangkan bagi kaum Ahmadiyah, kalimat khataman nabiyin itu mengandung pengertian:
Pertama, jika perkataan khataman  di-idhafatka-kan/dirangkaikan dengan kata benda jamak, maka artinya adalah yang afdhal, paling sempurna, yang paling baik. Maka khataman nabiyyin artinya adalah yang paling baik dari sekalian Nabi.
Kedua, arti khataman adalah cincin. Sebagaimana cincin itu dipakah untuk prhiasan, begitu pula Nabi Muhammad Saw. merupakan perhiasan bagi sekalian Nabi.
Ketiga, arti khataman adalah stempel atau cap. Kalimat mâ yukhtamu bihi pada ayat di atas adalah berarti yang distempel. Dalam konteks tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad adalah stempel bagi sekalian Nabi. Dengan setempel pengesahan dari Nabi Muhammad umat Islam mengetahui kebenaran semua Nabi.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka kaum Ahmadiyah berkeyakinan bahwa pintu wahyu dan kenabian masih tetap terbuka. Tegasnya, Allah masih akan terus menurunkan wahyu-wahyu-Nya senantiasa akan terus mengutus Nabi-nabinya walau tanpa membawa syari'at baru.


Ahmadiyah dan Khaataman-Nabiyyiin
Keberatan utama yang ditujukan kepada Jemaat Ahmadiyah ialah, bahwa Jemaat Ahmadiyah dituduh tidak mengakui serta menolak Nabi Muhammad Musthafa s.a.w. sebagai khaatamannabiyyiin (33:41). Pengingkaran kepada khaataman-nabiyyiin yang merupakan salah satu aqidah yang sangat penting dalam ajaran Islam, berarti keluar dari Islam. Karena alasan inilah kemudian berbagai macam fitnah bermunculan dan ditimpakan kepada Jemaat Ahmadiyah.
Semua itu terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman terhadap ajaran Islam dalam Ahmadiyah. Padahal Pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri dengan jelas mengakui Nabi Muhammad s.a.w. sebagai khaataman-nabiyyiin, dan pengakuan itu juga dipegang teguh para penerus beliau dan seluruh anggota Jemaat Ahmadiyah. Dalam suatu kesempatan, berkaitan dengan pemahamannya mengenai khaatamannabiyyiin, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda:

“Inti dan saripati agama kami tersimpul dalam kalimah: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasuulullah. Itikad yang kami anut di dunia dan dengan karunia serta taufik Allah, bersama kalimat itu kami akan berlalu dari alam fana ini kelak ialah Sayyidina wa Maulana Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaataman-Nabiyyiin. Di tangan beliau agama telah menjadi genap dan nikmat Allah telah mencapai derajat yang sempurna. Dengan perantaraan agama itu manusia berjalan di atas jalan yang lurus dan dapat mencapai hadhirat Allah Ta'ala…” (Izalah Auham, hlm. 169-170)[77]

Inilah alasan terbesar para penentang Ahmadiyah yang telah bangkit membawa tekad untuk menghancurkan dan mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang jernih dan lapang disertai dengan pikiran yang tenang dan adil, sehingga dapat kita simpulkan bahwa tuduhan mereka itu jauh dari nilai-nilai kebenaran.
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah mengimani seluruh makna ayat khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, Ijma’ dari orang-orang shaleh terdahulu, dan juga bersesuaian dengan ungkapan serta pemakaian bahasa Arab. Jemaat Ahmadiyah mengimani makna harfiah (letterlijk) ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya yang memiliki pengertian bahwa Hadhrat Rasulullah Saw. adalah yang paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan cincin [perhiasan] para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada diri beliau. Kunci setiap fadhilah (keunggulan) telah diserahkan ke tangan beliau. Syari’at beliau - yakni Al-Qur’an dan Sunnah - akan terus berlaku hingga Hari Akhir dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorang pun yang dapat me-mansukh-kan syari’at ini barang setitik pun juga.
Jadi, Nabi Muhammad Saw. adalah nabi/rasul pembawa syari’at terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau Saw. adalah penutup sekalian nabi. Tidak ada seorang nabi pun yang dapat terlepas dari lingkup ke-khaatam-an beliau dari sisi mana pun juga. Tidak ada lagi nabi sebelum beliau yang secara jasmani masih hidup di dalam era beliau. Tidak pula setelah beliau berlalu dari dunia ini, masih ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup abadi secara jasmani. Na’udzubillaah.
Dalam pengertian hakiki pun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia dari nabi yang terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau. Sebab, beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia kenabian yang berasal dari ketaatan kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. tetap akan berlangsung hingga Kiamat (4:70).
Ringkasnya, Jemaat Ahmadiyah mengakui Rasulullah Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna harfiah ataupun makna hakiki, dan Jemaat Ahmadiyah secara terhormat berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar Hadits, para ulama dari segenap golongan penentang Ahmadiyah juga tidak mengakui Rasulullah Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna-makna yang telah dijelaskan di atas. Walaupun mereka mengatakan Rasulullah Saw. sebagai penutup sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang berlawanan. Yakni, na'udzubillaah, Rasulullah Saw. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa ibn Maryam as., baik secara jasmani ataupun secara ruhani. Ketika beliau s.a.w. diutus, hanya ada satu nabi lain yang masih hidup secara jasmani. Namun disayangkan ia masih hidup di masa kehidupan beliau s.a.w. dan ketika beliau s.a.w. telah wafat, ia masih tetap hidup. Rasulullah Saw. telah wafat dan tinggal di alam barzakh 1400 tahun yang lalu, tetapi Nabi Israili ini masih tetap hidup abadi sampai sekarang dengan jasad kasarnya entah di mana.
Jika dianggap benar bahwa Nabi Isa as. dari Nazareth masih hidup di langit entah di mana dengan usia lebih dari 2000 tahun, lalu bagaimanakah beliau menjalankan kehidupan dan kewajibannya sebagaimana layaknya manusia? Bagaimanakah beliau makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimanakah beliau shalat? Bagaimanakah beliau mendirikan shalat dan melaksanakan kewajiban berzakat serta kepada siapakah zakatnya diberikan (19:32-33)?[78]
Jadi, cobalah bersikap adil sedikit. Bagaimanakah makna jasmani kata khaatam penutup) itu menurut orang-orang yang percaya Nabi Isa Al-Masih as. dari Nazareth masih hidup?[79] Dan benarkah Rasulullah Saw. telah menjadi penutup di antara keduanya?
Selanjutnya dengan mengikuti pandangan para ulama, kita semua mengetahui bahwa meskipun ada kekuatan suci Rasulullah Saw. yang sangat agung, umat manusia zaman ini tetap saja terkena penyakit-penyakit ruhani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit ruhani. Kekuatan suci Rasulullah Saw. secara langsung tidak mampu menyelamatkan umat ini. Sebab, seorang Rasul Bani Israil, melalui semburan nafas kemasihannya akan turun ke dunia ini untuk menyelamatkan umat dari cengkeraman maut serta menganugerahkan suatu kehidupan ruhani baru.
Perhatikanlah! Dengan mengikuti pandangan para ulama, tidakkah Nabi Isa putera Maryam as. dari Nazareth dapat juga dianggap sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna jasmani maupun ruhani?
Kepada Jemaat Ahmadiyah selanjutnya dikatakan: “Kalian sepenuhnya tidak mengakui Rasulullah Saw. sebagai nabi terakhir. Dan dengan cara penafsiran, kalian telah membuka jalan bagi kedatangan seorang nabi ummati (pengikut) dan nabi zilli (bayangan), sehingga dengan itu kalian telah melanggar khaatamun nubuwwat.”
Jemaat Ahmadiyah mengakui bahwa munculnya nabi ummati seperti itu dapat terjadi dalam umat Islam dan nabi itu merupakan hamba kamil (sempurna) dari Rasulullah Saw. serta sepenuhnya meraih karunia dari beliau Saw., sama sekali tidaklah menentang makna ayat khaataman-nabiyyiin. Sebab, seorang hamba yang fana dan kamil tidak dapat dipisahkan dari majikannya. Jemaat Ahmadiyah bertanggungjawab untuk membuktikan pendiriannya ini berdasarkan Al-Qur’an, sabdasabda mulia Nabi Muhammad Saw., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari ungkapan-ungkapan serta pemakaian bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan hal itu, pada halaman selanjutnya akan dipaparkan lebih rinci. Namun sebelumnya, akan dibahas bagaimana orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada Ahmadiyah sebagai penghancur segel/meterai kenabian. Mereka menyatakan bahwa, secara mutlak, tanpa syarat, tanpa pengecualian, dan dalam setiap makna harus mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir. Artinya, adanya kenabian jenis apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw. tidak akan dibenarkan dan diakui, tetapi jika ditanyakan kepada mereka, maka mereka terpaksa mengatakan: “…bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth suatu hari nanti pasti akan turun ke dunia di tengah umat ini.”
Apabila Anda mempersoalkannya kepada para ulama zaman ini, yakni, “Kalian telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. secara mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi terakhir dalam makna bahwa sesudah beliau Saw. tidak akan datang nabi jenis apa pun juga; lalu bagaimana pula kalian telah memperoleh hak untuk membuat pengecualian itu dengan mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. dari Nazareth akan dating kembali?”
Kemudian sebagai jawabannya, mereka paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna, yaitu: “Karena Nabi Isa as. adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang kedua kali tidak akan memecahkan segel/meterai Khaatamun Nubuwwat.” Apabila ditanyakan kepada mereka apakah beliau akan datang membawa Syari’at Musa, maka mereka mengatakan: “Tidak, melainkan beliau akan dating tanpa syari’at.” Kemudian apabila ditanyakan, “dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas, perintah dan larangan bagi beliau? Hal-hal apa yang akan beliau nasihatkan, dan hal-hal apa yang akan beliau larang?” Maka mereka mengatakan: “Pertama-tama beliau akan menjadi anggota umat Islam, kemudian mengikuti Syari’at Islam, lalu menjadi nabi.” Lebih lanjut mereka tidak mampu menjawab berbagai macam pertanyaan. Yakni, apakah para ulama akan mengajarkan
Syari’at Islam kepada Al-Masih? Atau, kepada beliau akan diberikan pengetahuan tentang Al-Qur’an, Sunnah dan Hadits melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara langsung? Namun, dari  emeriksaan ini terbukti dengan telak bahwa mereka sendiri tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir secara penuh. Bahkan mereka memberikan pengecualian bahwa sesudah Rasulullah s.a.w. dapat saja datang seorang Nabi lama dari Bani Israil yang bukan pembawa syari’at, ummati, mengikuti Syari’at Islam kata demi kata, dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.
Jemaat Ahmadiyah berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi penganut aqidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa sesudah Rasulullah Saw. tidak akan dating lagi kenabian jenis apa pun?

Arti Khaataman-Nabiyyiin
Firman Allah Ta’ala: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasulullah dan Khaataman Nabiyyiin [Meterai sekalian nabi].” (33:41)[80]
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu?”[81] Perlu diperhatikan adanya kata laakin (melainkan) yang disisipkan sebelum kata rasulullah dan khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca kalimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan keraguan mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu? Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat 4 menyatakan, “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa keturunan.”[82]
Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz. Rasulullah Saw. (Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim[83]) semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah Saw. sampai dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya.[84] Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah Swt. dalam Surah al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau Saw. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah Saw. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga.[85] Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wa khaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan beliau, bahkan beliau Saw. merupakan stempel para nabi. Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi beliau Saw. bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi.
Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah Saw., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau Saw., bahwa segala sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan dating terkumpul dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad Saw. Hanya beliau Saw. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamulanbiya’, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.

Kenabian Setelah Nabi Muhammad Saw.
Dikatakan pula oleh para ulama penentang Ahmadiyah bahwa pintu wahyu telah tertutup, malaikat Jibril tidak mungkin datang lagi ke dunia menyampaikan wahyu sehingga adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. tidak dapat dibenarkan. Bagaimanakah kita sebagai manusia, yang juga ciptaan-Nya, mencoba menghalang-halangi sifat Mutakallim (Maha Berkatakata) Allah dan dengan bangga mengatakan sampai dengan hari ini Allah tidak pernah sekali pun berkata-kata kepada makhluk-Nya? Apa dasarnya kita dapat mengklaim bahwa malaikat Jibril tidak pernah turun lagi ke dunia untuk menyampaikan wahyu? Bagaimana pula kita dapat mengklaim bahwa seorang nabi tidak mungkin datang setelah Nabi Besar Muhammad Saw.? Apakah kita yang mengatur pekerjaan Allah? Naudzubillah min dzalik.
Sekarang akan kita fokuskan pada persoalan: Apakah kenabian dapat datang setelah Nabi Muhammad Saw.? Kembali kita dihadapkan kepada Al-Qur’an untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Sehari semalam orang Islam diwajibkan minimum shalat 5X = 17 raka’at = 17X membaca Surah al-Fatihah: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…”
Apakah jalan yang lurus itu? Apakah nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka dan apakah kita juga dapat meraih nikmat-nikmat tersebut seperti kaum-kaum yang terdahulu? Inilah jawaban Al-Qur’an mengenai hal tersebut.
“…dan sekiranya mereka mengerjakan apa yang dinasihatkan kepada mereka, niscaya (hal itu) akan lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan. Dan, jika demikian tentu akan Kami berikan kepada mereka ganjaran besar dari sisi Kami; Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul[86] ini maka mereka ini termasuk[87] di antara orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan nikmat, yakni: nabi-nabi, shiddiqshiddiq, syahid-syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah sahabat yang sejati. Inilah karunia dari Allah, dan memadailah Allah sebagai Zat Yang Maha Mengetahui.“ (4:67-71)[88]
Inilah kelebihan Hz. Rasulullah s.a.w. dibandingkan dengan nabi-nabi/rasul-rasul lainnya. Ayat ini sangat terang benderang dan mudah dipahami. Sesungguhnya Allah Sendiri yang akan memasukkan kita ke dalam golongan para nabi, shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Bagaimana mungkin pintu kenabian sama sekali tertutup bagi umat Islam? Penolakan terhadap pintu kenabian, yaitu tidak akan ada lagi nabi dalam bentuk apa pun juga dalam umat Muhammad, secara langsung juga berarti penolakan terhadap kemungkinan umat Islam tidak dapat meraih ketinggian martabat sebagai shiddiq, syahid dan shaleh. Dengan kata lain, tidak ada lagi para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh dalam umat Islam.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. bersabda mengenai kecintaannya kepada junjungan beliau yaitu Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw. sebagai berikut:
“Bagiku tidak mungkin meraih nikmat ini seandainya aku tidak mengikuti jalan yang ditempuh majikanku, anutanku, kebanggaan para anbiya, insan yang terbaik, Muhammad Musthafa Saw. Apa pun yang kuperoleh, telah diperoleh karena mentaatinya. Aku mengetahui dari pengalaman pribadi dan berdasar ilmu yang sempurna bahwa siapa pun tidak dapat mencapai kedekatan kepada Tuhan tanpa mentaati nabi ini dan mustahil pula meraih makrifat yang sempurna. Sekarang aku beritahukan pula bahwa sesudah orang mentaati Rasulullah Saw., dengan sesungguh-sungguhnya dan sesempurnasempurnanya, ia dianugerahi hati yang cenderung kepada kebajikan, suatu hati yang sehat, yakni tidak ada kecintaan kepada dunia dan mulai mendambakan kelezatan abadi dan lestari. Kemudian sebagai gantinya, hatinya sekarang layak memperoleh kecintaan yang semurni-murninya dan sempurna  kecintaan Ilahi. Semua nikmat ini diperoleh sebagai warisan berkat ketaatan kepada Rasulullah Saw.” (Ruhani Khazain, jld. 22; Haqiqatul Wahyi, hlm. 24-25)[89]
Tetapi sayang sekali, disebabkan penolakan terhadap kenabian, kata ma’a (termasuk) dalam ayat tersebut telah diterjemahkan menjadi beserta atau bersama-sama.[90] Ini berarti bahwa orang-orang Islam hanya akan beserta atau bersama-sama para nabi dan bukan termasuk golongan para nabi. Akan tetapi pihakpihak yang mengemukakan keberatan itu tidak menyadari bahwa dalam ayat itu tidak hanya disebutkan para nabi saja, melainkan setelah itu disebutkan secara berturut-turut para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Jika kata ma’a diartikan sebagai beserta atau bersama-sama, maka kita harus menerima kenyataan pahit bahwa di dalam umat Islam tidak akan ada seorang pun yang dapat menjadi seorang shiddiq, syahid dan shaleh, namun yang ada hanyalah beberapa gelintir orang yang beserta/bersama-sama para shiddiq, syahid dan orang-orang shaleh. Atau dengan kata lain bahwa semua orang dalam umat ini akan dimiskinkan dari segala derajat kebajikan dan ketakwaan. Dapatkah kita membayangkannya? Padahal umat Islam telah diberi predikat oleh Allah Ta’ala: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (3:110)[91]
Hal yang sebenarnya adalah, bahwa kata ma’a tidak hanya berarti kebersamaan dua buah benda sehubungan dengan tempat dan waktu, melainkan kadangkala kata ma’a juga digunakan untuk menyatakan kebersamaan sehubungan dengan derajat/martabat. Sebagai dalil penguat bahwa kata ma’a mempunyai arti termasuk, Al-Qur’an mengemukakan sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang munafik berada dilapisan paling bawah dalam Api; dan engkau tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh kepada Allah, serta mereka ikhlas dalam pengabdian mereka kepada Allah. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan, kelak Allah akan memberi ganjaran besar kepada orang-orang mukmin.[92]

Dalam ayat tersebut, kalimat “termasuk golongan orang-orang mukmin” digunakan bagi orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri, beramal shaleh, berpegang teguh pada Allah dan tulus ikhlas dalam pengabdiannya kepada agama. Jika kita melakukan halhal tersebut maka kita termasuk golongan orang-orang mukmin. Apabila kata ma’a diartikan sebagai beserta atau bersama-sama, maka pengertiannya adalah bahwa sekalipun kita memiliki dan melakukan hal-hal mulia tersebut, kita tidak akan menjadi orang mukmin, melainkan hanya ditempatkan beserta atau bersama-sama dengan orang mukmin. Dapatkah kita terima pengertian ini? Jelasnya, kata termasuk mempunyai nilai dan bobot yang lebih dari kata beserta atau bersama-sama yaitu penekanannya pada imbalan atau predikat yang akan diterima jika kita memenuhi dan melaksanakan syarat yang telah ditentukan.
Dalam Surah Ali ‘Imran ayat 194, juga dapat ditemukan pemakaian kata ma’a (termasuk) sebagai berikut,
“Dan wafatkanlah kami dalam golongan orang-orang baik.”[93]
Setiap orang Islam pasti mengartikan ayat ini sebagai berikut:
“Ya Allah, masukkanlah aku dalam golongan orang-orang yang baik (berbakti) dan wafatkanlah aku.” Tidak ada seorang pun yang kemudian mengartikan: “Ya Allah, ketika orang-orang yang baik (berbakti) akan wafat, maka wafatkanlah aku beserta atau bersama-sama mereka.”
Setelah dikemukakan beberapa dalil penguat pemakaian kata ma’a, maka dapat disimpulkan arti kata ma’a jika dihubungkan dengan 4:67-71 seperti yang telah dijelaskan di atas, secara keseluruhan mengandung arti bahwa pintu kenabian tetap terbuka dan seorang nabi dapat diutus dalam umat Muhammad sepanjang nabi itu patuh dan taat kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw.
Di samping kesaksian Al-Qur’an, terlihat juga dalam sabdasabda Rasulullah Saw. bahwa pintu kenabian tidak mutlak tertutup. Ternyata beliau Saw. berkali-kali mengisyaratkan kedatangan Isa ibn Maryam seperti yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits Shahih, bahkan beliau Saw. menyebutnya dengan perkataan Nabi Allah sebanyak 4X seperti yang dimuat dalam Hadits dengan redaksi panjang mengenai Dajjal dan Nabi Allah Isa yang diringkas sebagai berikut:
“Dari Nawwas bin Sam’an ra. berkata: Pada suatu pagi Rasulullah menceritakan tentang Dajjal,…Nabi Allah Isa dan pengikut-pengikutnya terkepung…Nabi Allah Isa dan sahabatnya berdoa kepada Allah…Nabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya datang di bumi itu…Nabi Allah Isa dan sahabatsahabatnya berdoa kepada Allah…” (Shahih Muslim Syarah
Nawawi 18/63, Sunan Abu Dawud 4/117, Sunan Tirmidzi 9/92, Sunan Ibnu Majah 2/356, Musnad Ahmad 4/181, Mustadrak Hakim 4/492)[94]


Dalil-Dalil Al-Qur’an Mengenai Kenabian Setelah Nabi
Muhammad Saw.
Di bawah ini beberapa dalil Al-Qur’an mengenai adanya nabi/rasul setelah Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:

44:6-7
Allah Ta'ala bersifat mursil (yang mengutus Rasul-rasul-Nya). Sifat Allah Ta'ala ini akan selalu dan terus bekerja selama-lamanya. Sifat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Jadi, adanya kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. adalah tidak mustahil dengan mempertimbangkan salah satu sifat AllahTa'ala ini.

22:76
“Allah senantiasa memilih Rasul-rasul-Nya dari antara malaikatmalaikat dan dari antara manusia.”[95] Perkataan yashthafii (memilih) dalam ayat ini, menurut peraturan bahasa Arab adalah fi'il mudhari, yaitu menunjukkan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Jadi, Allah Swt. sedang atau akan memilih rasul-rasul-Nya menurut keadaan zaman atau menurut keperluannya. Dengan kata lain ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu.

3:180
Dalam ayat tersebut terdapat perkataan yadzara, yamiidza, yuthli'a, yajtabii. Bentuk perkataan tersebut adalah fi'il mudhari yang dipakai untuk zaman kini dan zaman yang akan datang. Jadi maksud ayat ini adalah Allah Swt. akan (terus) engirimkan utusan-utusan-Nya untuk memisahkan yang baik dari yang buruk dan untuk memberitahukan tentang kabarkabar ghaib.

7:36
Dalam ayat ini: “Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu ...”[96] Yang dimaksudkan anak cucu Adam adalah umat manusia. Baik umat manusia terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. dan umat manusia setelah Nabi Muhammad Saw. tetap akan didatangi oleh Rasul-Rasul Allah dari antara anak cucu Adam (umat manusia). Dengan kata lain ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu.

23:52
Kata ar-rusul, berlaku juga bagi masa yang akan dating Artinya, setelah Rasulullah Saw. akan datang rasul-rasul lain yang memakan makanan yang baik dan mengerjakan amalamal shaleh.

37:72-73
Ayat ini menjelaskan apabila di dunia telah merajalela kesesatan dan kemungkaran, maka Allah Swt. senantiasa mengirimkan utusan-utusan-Nya. Dan Allah tidak mendatangkan azab sebelum mengutus seorang rasul (17:16).

6:125
Ayat ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Ayat ini menjelaskan bahwa hanya Allah Ta'ala yang lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Hak prerogatif Allah Ta’ala ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Adanya pernyataan Allah Ta'ala ini adalah karena manusia [suka] mengatakan: “Kami sekali-kali tidak akan beriman sebelum kami diberi seperti apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah.”[97]

4:137
Ini adalah ayat Rukun Iman. Salah satunya adalah beriman kepada rasul-rasul-Nya. Perintah beriman kepada rasul-rasul- Nya ini tidak terikat dengan tempat dan waktu. Perintah ini berlaku untuk selama-lamanya bagi tiap umat manusia di setiap zaman. Seandainya ayat khaataman-nabiyyiin kemudian diartikan sebagai nabi penutup atau nabi terakhir yaitu tidak ada nabi apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw., maka akan bertentangan dan bertabrakan dengan ayat-ayat tersebut di atas yang menjelaskan dapat datangnya nabi/rasul setelah Nabi Muhammad Saw. Padahal Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa tidak ada pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya (4:83). Asas ini (tidak ada pertentangan di antara ayatayat Al-Qur’an) adalah asas yang mutlak harus terpenuhi ketika ingin menafsirkan Al-Qur’an.

Arti dan Ungkapan Kata Khaatam Menurut Bahasa Arab
Setelah dikemukakan dalil-dalil berdasarkan Al-Qur’an mengenai dapat datangnya nabi setelah Nabi Muhammad Saw., alangkah baiknya kemudian memperhatikan arti dan ungkapan kata khaatam menurut kaidah bahasa aslinya.
Kata khaatam menurut bahasa Arab adalah kata benda tunggal, yang secara harfiah menurut kamus berarti cincin. Bentuk kata khaatam sebagai kata benda tunggal yang digandengkan dengan kata benda jamak yaitu nabiyyiin di dalam Al-Qur'an hanya dapat ditemukan dalam Surah al-Ahzab : 41.
Bentuk tersebut memiliki arti derajat (rank) kemuliaan, keunggulan, keutamaan, kesempurnaan, atau derajat lainnya, sehingga makna sejati khaataman-nabiyyiin (cincin para nabi) adalah bahwa beliau Saw. merupakan nabi yang tersempurna atau terunggul atau termulia dari para nabi.
Contoh sederhana bentuk kata benda yang digandengkan dengan kata benda juga dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia, misalnya pada kata bintang lapangan atau bintang panggung mengandung arti martabat atau status (rank) tertentu, yaitu orang yang memiliki pamor dan kualitas yang prima di lapangan atau di atas panggung.
Nabi Muhammad Saw. dalam Surah al-Ahzab: 41 diberikan status oleh Allah Ta'ala sebagai khaataman-nabiyyiin (cincin para nabi) yaitu sebagai perhiasan para nabi. Deretan para nabi yang diutus oleh Tuhan bagaikan deretan jari-jari, di mana ada satu jari yang memakai cincin (bermahkota cincin), oleh sebab itu sejatinya Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi yang termulia, terunggul, tersempurna, terindah dari para nabi.
Pada bagian selanjutnya akan dikemukakan keterangan dalam Hadits serta literatur-literatur terkenal dalam dunia Islam yang telah mengungkapkan penggunaan kata khaatam dengan arti yang menunjukkan suatu derajat (rank) kemuliaan, keunggulan, keutamaan, kesempurnaan, atau derajat lainnya, sebagai berikut:
 (i) Hadhrat Ali r.a. adalah “khaatam-ul-auliya” (Tafsir Saafi, pada Surah al-Ahzab).[98] Apakah setelah Hz. Ali r.a. wafat tidak ada auliya (wali) lagi? Tentu tidak. Banyak kemudian hadir waliwali Allah yang termashur dalam dunia Islam.
(ii) Imam Syafi’i r.h. (767-820) juga disebut “khaatam-ul-auliya” (Al Tuhfatus-Sunniyya, hlm. 45)[99]
(iii) Syekh Ibn-ul-Arabi r.h. (1164-1240) disebut sebagai “khaatamul-auliya.” (Futuhaat Makkiyyah, pada halaman judul).[100]
Tiga orang auliya (wali) Allah ini masing-masing telah diberikan gelar khaatam-ul-auliya. Bagaimanakah kata khaatam menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan sebagai terakhir/penutup saja, yaitu tidak boleh ada lagi auliya (wali) lain setelah Hz. Ali bin Abi Thalib r.a.?
Kita lanjutkan pemakaian dan ungkapan kata khaatam menurut bahasa Arab.
(iv) Abu Tamaam (804-845), seorang penyair yang dijuluki sebagai “khaatam-usy-syu’araa” (Dafiyaatul A'ayaan, vol. 1, hlm. 123, Kairo).[101] Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? Tentu tidak. Banyak kemudian hadir penyairpenyair terkenal dalam dunia Islam.
(v) Abu Al-Tayyib (915-965) juga disebut sebagai “khaatam-usysyu’araa”
(Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi, Mesir, hlm. 10).[102]
(vi) Abul al-'Alaa al-Ma'arri (973-1057) juga dinyatakan sebagai
“khaatam-usy-syu’araa” (Muqaddimah Deewan Al-Mutanabbi,
Mesir, Catatan kaki, hal 10).[103]
(vii) Syekh Ali Hazeen (1701-1767) juga dikenal sebagai “khaatamusy-syu’araa” di negeri Hindustan (Hayati Sa'adi, hlm. 117).[104]
(viii) Habib Shirazi juga dihormati sebagai “khaatam-usy-syu’araa” di Iran (Hayati Sa'adi, hlm. 87).[105]
Dari lima orang penyair di atas masing-masing telah diberikan gelar khaatam-usy-syu’araa. Bagaimanakah kata khaatam menurut ungkapan bahasa Arab itu hanya dapat diartikan sebagai terakhir/penutup saja, yaitu tidak boleh ada lagi penyair lain setelah Abu Tamaam?
Kita lanjutkan pemakaian dan ungkapan kata khaatam menurut bahasa Arab.
(ix) Kamper (Camphor), obat anti ngengat dan jamur disebut “khaatam-ul-kiraam” atau “obat yang terunggul.” (Sharh Deewan-al Mutanabbi, hlm. 304).[106] Apakah tidak ada obat lain yang digunakan atau ditemukan setelah kamper, jika kata khaatam diartikan sebagai terakhir/penutup?
(x) Imam Muhammad Abduh dari Mesir digelari “khaatam-ula’imma” (Tafsir Al-Fatihah, hlm. 148).[107] Apakah tidak ada lagi pemimpin (Imam) agama setelah Muhammad Abduh?
(xi) Al-Sayyid Ahmad Al-Sanusi dinamakan “khaatam-ulmujahidiin” (Akhbaar Al-Jaami'atul Islamiyyah, Palestina, 27 Muharram 1352 H).[108] Apakah Sayyid Ahmad Sanusi merupakan mujahid terakhir/penutup di Palestina?
(xii) Ahmad bin Idris disebut “khaatam-ul-muhaqqiqin” (Al-Aqd-al-Nafees).[109] Apakah Ahmad bin Idris orang yang terakhir mencari kebenaran (haq)?
(xiii) Abul Fazl Al-Alusi juga disebut “khaatam-ul-muhaqqiqin” (Pada halaman judul dari Tafsir Ruhul Ma’aani).[110]
(xiv) Syekh Al-Azhar Saleem Al Bashree juga disebut “khaatam-ulmuhaqqiqin” (Al-Heraab, hlm. 372).[111]
(xv) Imam Abdurahman As-Suyuthi r.h. juga dicatat sebagai “khaatam-ul-muhaqqiqin.” (Pada halaman judul Tafsir Itqaan).[112] Sampai di sini menjadi semakin jelas arti dan hakikat sesungguhnya dari kata khaatam. Selanjutnya kita dapatkan lagi:
(xvi) Hadhrat Shah Waliyullah dari Delhi diakui sebagai “khaatamul-muhaditsiin” (Ajaala Naafi'a).[113] Apakah tidak ada lagi ahli Hadits lain di dunia ini setelah Hz. Shah Waliyyullah?
(xvii) Syekh Syamsuddin disebut sebagai “khaatama-tul-huffaaz” (Al-Tajreed-us Sareeh, Muqaddimah, hlm. 4).[114] Hafiz adalah orang yang hafal luar kepala seluruh isi Al-Qur’an. Apakah tidak ada lagi hafiz di dunia ini setelah Syekh Syamsuddin?
(xviii) Syekh Rasyid Ridha mendapat gelar sebagai “khaatam-ulmufassirin” (Al-Jaami'atul Islamiyyah, 9 Jumadi-us-Tsaani, 1354 H).[115] Apakah tidak ada lagi ahli tafsir di dunia ini setelah Syekh Rasyid Ridha?
(xix) Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, halaman 271[116] terdapat istilah “khaatam-ul-wilayah” yang digunakan untuk menunjukkan kesempurnaan wali. Apakah hanya ada satu wali saja di dunia ini?
(xx) Imam Suyuthi mendapat gelar “khaatam-ul-muhadditsin” (Hadya Al-Shiah, hlm. 210).[117] Apakah setelah beliau tidak ada lagi ahli Hadits di dunia ini?
(xxi) Dalam Bible bahasa Arab kita temukan kata “khaatam-ulkamaal” (gambar kesempurnaan). Kita lihat dalam Yehezkiel 28:12 versi bahasa Indonesia sebagai berikut: “Hai anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai raja Tirus dan katakanlah kepadanya: Demikianlah firman Tuhan Allah: Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah.”[118]
(xxii) Dalam Hadits kita temukan “khaatam-ul-muhajiriin.” Rasulullah Saw. bersabda: “Tentramlah wahai pamanku, sesungguhnya engkau adalah khaatam-ul-muhajiriin dalam hijrah, sebagaimana aku adalah khaataman-nabiyyiin dalam kenabian.(H. R. Ibnu Asakir dan Asyaasyi, dalam Kanzul ‘Ummal, Alaudin Alhindi, Muassatur Risalah, Beirut, 1989, jld. XIII, hlm. 519, Hadits no. 37339).[119] Apakah setelah Hz. Abbas r.a. tidak ada lagi orang yang berhijrah ke Medinah? Apakah Hz. Abbas r.a. adalah orang yang terakhir berhijrah ke Medinah? Tentu tidak.
Dan masih banyak contoh lainnya mengenai pemakaian kata khaatam yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur dunia Islam yang mengungkapkan kata khaatam bukanlah mutlak berarti terakhir/penutup saja dengan makna tidak boleh ada nabi dalam bentuk apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw. seperti yang sering dikatakan oleh para ulama zaman sekarang untuk menolak kenabian Hz. Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi/Masih Mau’ud as.

Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad Mengenai Khaataman-Nabiyyiin
Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan menarik tentang ke-khaatam-an Nabi Muhammad Saw. Gambaran itu benar-benar sangat langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir ayat khaatamannabiyyiin dari berbagai aspek di dalam buku-buku beliau berdasarkan Al-Qur’an Suci, dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.
Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita Al-Qur’an Majid adalah suatu kitab yang hidup; dan rasul kita, Yang Mulia Khaataman-Nabiyyiin Muhammad Musthafa Saw. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mencontohkan kecintaan yang hakiki terhadap Nabi Muhammad Saw., dalam kaitannya dengan kekhaatam-an Nabi Muhammad Saw.
Ketiga pokok masalah ini, yaitu keimanan terhadap Allah, keimanan terhadap kitab, dan keimanan terhadap rasul–satu sama lain saling terkait dan saling berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainnya. Seandainya kita mengesampingkan unsur-unsur lain, aqidah-aqidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah lainnya tentang suatu perkara, maka tidaklah mungkin dapat disimak dan dikaji pemahaman beliau atas suatu perkara tertentu. Jadi, mengenai Khaatamun Nubuwwat, mutlak untuk memperhatikan keimanan, aqidahaqidah dan pandangan-pandangan beliau mengenai Allah Ta'ala serta Al-Qur’an Karim. Sebab, jika tidak demikian maka kajian kita atas pemahaman beliau tentang Khaatamun Nubuwwat tidak dapat diketahui secara sempurna.
Dalam kesempatan ini disampaikan beberapa pernyataan dan sabda beliau berkenaan dengan khaataman-nabiyyiin sebagai berikut:
“Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap jemaat saya bahwa kami tidak mempercayai Rasulullah Saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin merupakan kedustaan besar yang dilontarkan pada kami. Kami meyakini Rasulullah Saw. sebagai Khaatamul Anbiya’ dengan begitu kuat, yakin, penuh makrifat dan bashirat, yakni seratus ribu bagian dari yang itu pun tidak dilakukan oleh orang-orang lain. Dan memang tidak demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan rahasia yang terkandung di dalam khaatamun nubuwwat Sang Khaatamul Anbiya’. Mereka hanya mendengar sebuah kata dari para tetua mereka, tetapi tidak tahu menahu tentang hakikatnya. Dan mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Khaatamun Nubuwwat. Apa makna mengimaninya? Namun, kami dengan penuh bashirat (Allah Ta’ala yang lebih tahu) meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiya’. Dan Allah Ta’ala telah membukakan hakikat Khaatamun Nubuwwat kepada kami sedemikian rupa, yakni dari serbat irfan yang telah diminumkan kepada kami itu kami mendapatkan suatu kelezatan khusus yang tidak dapat diukur oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang memang telah kenyang minum dari mata-air ini juga.” (Malfuzhaat, jld. I, hlm. 342).[120]
“Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita s.a.w. adalah Khaatamul Anbiya’, dan Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. Jadi, janganlah menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain kecuali sebagai khadim Islam. Dan siapa saja yang mempertautkan hal [yang bertentangan dengan] itu pada kami, dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim Saw. Dan kami memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Qur’an Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Jika kami bukan khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak, serta akan diperkarakan.” (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)[121]
“Aku menyaksikan suatu kehebatan dalam wajahmu yang bersinar-cemerlang. Yang melebihi semua sifat manusia lain.
Pada wajahnya tampak Tuhan Muhaimin dan seluruh keadaannya bagaikan cermin.
Yang menampakkan keindahan sifat Ilahi dan kebesarannya
sungguh menyilaukan.
Ia mengungguli seluruh manusia dengan kemampuan,
kesempurnaan dan keelokannya.
Dan kehebatan serta dalam kesegaran jiwanya.
Sedikit pun tidak diragukan lagi bahwa Muhammad s.a.w. adalah terbaik di antara seluruh makhluk.
Paling mulia di antara yang mulia dan inti orang-orang yang terpilih.
Segala sifat baik yang terpuji, pada diri beliaulah puncaknya.
Dan anugerah/nikmat yang ada pada setiap zaman, telah berakhir dalam dirinya.
Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat qurub Ilahi sebelumnya.
Dan keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan karena zaman.
Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada nabi-Mu abadi selamanya.
Di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua.”
(Aina Kamalati-Islam, hlm. 594-596)[122]

“Cahaya agung yang dianugerahkan kepada manusia yang paripurna tidak terdapat pada wujud malaikat, tidak pula pada bintang-kemintang, tidak pula pada sang rembulan, tidak pula pada sang surya. Cahaya itu tidak terdapat pula di samudrasamudra dan sungai-sungai di dunia. Cahaya itu pula tidak terdapat di dalam batu-batu mirah delima atau yaqut atau zamrud atau permata nilam atau mutiara. Pendek kata, tidak terdapat disemua benda duniawi atau samawi. Hanyalah dalam diri sang manusia, yakni, di dalam diri manusia paripurna yang perwujudannya yang penuh, sempurna, tinggi lagi luhur adalah terdapat pada Majikan serta Junjungan kita, Penghulu segala nabi, Penghulu segala makhluk hidup, Muhammad Musthafa shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, cahaya itu dilimpahkan kepada manusia itu dan menurut urutan martabatnya, kepada seluruh pribadi yang sewarna dengannya, yakni, kepada orangorang yang sampai pada kadar tertentu mengandung warna itu pula…Kemegahan setinggi-tingginya, sesempurnasempurnanya, dan selengkap-lengkapnya ada pada Majikan kita, Junjungan kita, pemandu jalan kita, Nabi Ummi, Shadiq, Mashduq [wujud yang kebenarannya diakui] Muhammad Musthafa shallallahu ‘alaihi wassallam.” (Ruhani Khazain, jld. 5, Aina Kamalati Islam, hlm. 120-121)[123]

Yang memiliki kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama Musthafa.
Dia adalah nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran.
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi.
Imam yang memiliki rupa suci dan perilaku yang suci.”
(Zia-ul-Haq, hlm. 4)[124]

Arti Hadits Laa Nabiyya Ba'diy dan Aakhirul Anbiya’
Banyak orang mengatakan bahwa tertutup atau berakhirnya pintu kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. adalah berdasarkan keterangan dari sebuah Hadits yang mengatakan aakhirul-anbiya’ (nabi terakhir) dan beliau Saw. bersabda laa nabiyya ba’diy (tidak ada nabi sesudah aku).
Jadi, menurut Hadits-Hadits itu sesudah beliau Saw. Tiada eorang nabi pun dapat datang. Akan tetapi sungguh sayang, orang-orang itu hanya melihat kata-kata aakhirul-anbiya’ saja, namun di dalam Hadits Shahih Muslim yang berkaitan dengankata itu ada lanjutan kata-kata yang berbunyi mesjidku akhir segala mesjid.[125]
Apabila perkataan inniy aakhirul-anbiya’ berarti bahwa sesudah beliau Saw. tidak akan datang lagi nabi apa pun juga, maka perkataan wa inna masjidiy aakhirul-masaajid pun juga akan berarti bahwa sesudah mesjid beliau Saw. (Mesjid Nabawi) tidak akan dapat lagi didirikan suatu mesjid apa pun.[126] Akan tetapi orang-orang itu, meskipun ada perkataan masjidiy aakhirul-masaajid, tetap pada pendiriannya untuk menolak segala corak kenabian. Walaupun ada kata-kata masjidiy aakhirul-masaajid, mereka telah dan sedang mendirikan mesjidmesjid baru demikian banyaknya sehingga zaman ini di beberapa kota, disebabkan oleh melimpahnya mesjid, banyak di antaranya yang menjadi sunyi. Bahkan di beberapa tempat, sangat jarang kita dapati suatu tempat yang tidak terdapat mesjid dalam jarak sejauh 20 km di antara satu mesjid dengan mesjid lainnya. Apabila disebabkan oleh kedatangan aakhirulanbiya’, yaitu tidak seorang manusia pun dapat menjadi nabi, maka setelahnya mengapa mesjid-mesjid lainnya pun terusmenerus dibangun?
Jawaban yang mereka berikan atas pertanyaan itu ialah: “…mesjid-mesjid ini kepunyaan Rasulullah Saw. juga; sedangkan di dalam mesjid-mesjid itu dilakukan ibadah dengan mengikuti cara yang telah diajarkan, yang untuk melaksanakan cara itu Rasulullah Saw. telah menyuruh untukmendirikan mesjid. Jadi, adanya mesjid-mesjid baru ini merupakan bayangan mesjid itu (Mesjid Nabawi), oleh karena itu mesjid-mesjid ini tidak terpisahkan darinya, itulah sebabnya kami tidak menyangkal kehadiran mesjid baru itu.” Jawaban ini tepat!
Dengan adanya jawaban tersebut maka Jemaat Ahmadiyah juga dapat berkata hal yang sama seperti itu bahwa meskipun ada perkataan aakhirul-anbiya’, itu juga berarti dapat datang nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. yang merupakan bayangan kenabian Rasulullah Saw. Dan, nabi-nabi itu tidak membawa syari’at baru, mereka hanya mengikuti syari’at Rasulullah Saw. dan mereka diutus hanya untuk menyebarkan ajaran Nabi Muhammad Saw. saja, serta segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena keberkatan dari beliau Saw. Dengan kedatangan nabi-nabi semacam itu sekali-kali tidak mengurangi atau merendahkan kedudukan Nabi Muhammad Saw. sebagai aakhirul-anbiya’, sebagaimana halnya dengan menyuruh mendirikan mesjid-mesjid baru haruslah sesuai dengan model dan tata cara mesjid beliau Saw., sekali-kali tidaklah mengurangi atau merendahkan kedudukan serta martabat mesjid beliau Saw. sebagai aakhirul-masaajid.
Demikian pula kalimat aakhirul-anbiya’ pun tidak mengandung arti bahwa sesudah beliau Saw. tiada seorang nabi pun dapat datang lagi. Yang sebenarnya adalah tidak dapat datang seorang nabi yang me-mansukh-kan (membatalkan) syari’at beliau Saw. Sebab, sesuatu dapat dikatakan barang terakhir jika barang yang lama sudah mulai habis. Jadi, nabi yang datang untuk mengukuhkan kenabian Rasulullah Saw., bukanlah seorang nabi yang berdiri sendiri, karena ia berada di dalam lingkup kenabian Rasulullah Saw. Ia baru dapat disebut nabi yang berdiri sendiri apabila ia datang untuk membatalkansalah satu hukum atau Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap masalah dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin karena kekhawatiran terhadap orang-orang yang dapat menjadi mangsa kekeliruan semacam itu, maka Hz. Siti Aisyah ra. berkata:
“Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamulanbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya).” (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 5).[127]
Apabila menurut pendapat Hz. Aisyah r.a. sesudah Rasulullah Saw. tidak dapat datang kenabian jenis apa pun juga, maka mengapakah beliau r.a. melarang orang-orang mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya)? Dan apabila pendapat beliau itu salah, mengapa para Sahabat r.a. tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah r.a. itu?
Kesimpulannya, karena Hz. Aisyah ra. telah mencegah mengucapkan perkataan laa nabiyya ba’dahu, hal itu menunjukkan bahwa menurut pendapat beliau, sesudah Rasulullah Saw. dapat datang nabi; akan tetapi nabi yang membawa syari’at atau yang berdiri sendiri atau yang setara martabat dan kemuliaannya dengan Rasulullah s.a.w., serta yang tidak terikat dengan Rasulullah Saw. tidak dapat datang lagi. Kenyataan bahwa para Sahabat ra. tidak ada yang menyangkal ucapan Hz. Aisyah ra. itu menunjukkan bahwapara Sahabat r.a. semuanya juga sepakat dan berpendirian sama mengenai masalah itu.
Untuk memperjelas keterangan Hz. Aisyah ra. dan sikap para Sahabat ra., lebih lanjut kita dapatkan beberapa pendapat para ulama Salaf mengenai Hadits laa nabiyya ba’diy sebagai berikut: Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis:
“Inilah arti dari sabda Rasulullah Saw. ‘Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah syari’atku.” (Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir,
jld II, hlm. 3).[128]
Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata:
“Dan sabda Nabi Saw.: ‘tidak ada nabi dan rasul sesudah aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syari’at.” (Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).[129]
Imam Thahir Al Gujrati berkata:
“Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan syari’at beliau.” (Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85).[130]
Sayyid Waliyullah Muhaddits Ad-Dahlawi berkata:
“Dan khaatam-lah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syari’at untuk manusia.” (Tafhimati Ilahiyyah, hlm. 53).[131]
Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan:
“Jika Ibrahim[132] hidup dan menjadi nabi, demikian pula Umar menjadi nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Saw. Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman- Nabiyyiin. Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah Saw. tidak dapat lagi datang nabi lain yang membatalkan syari’at beliau Saw. dan bukan ummati beliau Saw.” (Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69).[133]
Jadi, dari banyaknya keterangan dan dalil-dalil di atas berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, pemakaian dan ungkapan bahasa Arab serta pendapat para ulama Salaf, kita dapatkan bsahwa Nabi Muhammad Saw. bukanlah nabi terakhir atau penutup dengan arti tidak boleh ada nabi lagi dalam bentuk apa pun juga setelah Nabi Muhammad Saw.
Pengertian Nabi Muhammad Saw. sebagai khaataman-nabiyyiin yang sebenarnya adalah berarti meterai para nabi atau cincin (perhiasan) para nabi atau yang termulia dan tersempurna daripara nabi. Pengertian inilah yang diterima dan diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah mengenai khaataman-nabiyyiin sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur’an Karim.



[1] Louis J. Hammann, Ahmadiyah Selayang Pandang, (terj.) M.A. Suryawan, 15 Mei 1985. Diterbitkan oleh The Ahmadiyya Movement in Islamic Inc. 2141 Leroy Place, N. W. Washington DC 2008, hal. 402
[2] Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam, (Jakarta: Fadlindo Media Utama, 2005), hal. 8. Selanjutnya dibaca: Ali Nadwi.
[3] Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, (Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), hal. 1. Selanjutnya dibaca: Muhammad Ali.
[4] Ali Nadwi, hal. 9
[5] Ali Nadwi, hal. 11
[6] Ali Nadwi, ha. 12
[7] Muhammad Ali, hal. 2
[8] Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994), hal. 9
[9] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Nasehat Mujaddid Abad 14 H., (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2005), hal. 1-3. Selanjutnya sibaca: Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
[10] Nanang Iskandar, Hasil Studi Banding Ahmadiyah, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2005), hal. 9. Selanjutnya dibaca: Nanang Iskandar
[11] Mahmud Ahmad Cheema, Tiga Masalah Penting, (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2001). Selanjutnya dibaca: Mahmud, hal. 1-2

[12] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah Islamiyah, (Qadian: Zia al-Islam Press, tt.), hal. 34.
[13] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 4
[14] QS. Al-Baqarah [2]:257
[15] "Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."
[16] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 70-72
[17] Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 71
[18] Nanang Iskandar, hal. 12
[19] QS. Al-Ahzab [33]:40
[20] Diperoleh dari http://Id.Wikipedia.Org./Ahmadiyah
[21] Wali Ahmad Baigh adaalh Mubaligh AHmadiyah yang menguasai bahasa Inggris semenjak tahun 1924 bertugas sebagai mubligh dan pernah bermukim di Yogyakarta, Wonosobo, Problinggo, Purwakerto, dan Jakarta, pulang ke Pakistan tahun 1937; dan Maulana Ahmad menguasai bahasa Arab. Mereka berdua telah memperkenalkan paham-paham pemikiran pembaharuan Islam di Indonesia. Kan tetapi, oleh karena maulana Ahmad jatuh sakit, ia tidak dapat melanjutkan dakwahnya, dan kemudian segera pulang ke India. Lihat Nanang Iskandar, hal. 15-16.
[22] Karena simpatinya yang terbuka kepada gerakan inilah maka Bung Karno pernah dituduh sebagai telah masuk Ahmadiyah, bahkan menjadi agen penyiaran, sehingga ia terpaksa menulis sebuah artikel yang berjudul, "Saya Tidak Percaya Ghulam Muhammad Sebagai Nabi." Lihat M.A. Suryawan, Bukan Sekadar Hitam Putih; Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, (Jakarta: Azzahra Publishing, 2005), hal x. Selanjutnya dibaca: Suryawan.
[23] Suryawan, hal. xi
[24] Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Busakn Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 402
[25] Lihat Dawam Raharjo dalam pengantar buku Suryawan, h. xx
[26] Pelarangan trhadap ajaran Ahmadiyah elah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia semenjak tahun 1953. di antara Surat Keputusan RI tertangal 13 Maret 1953 No. JAS/23/13/1953; Kejari Subang No. Kep. 01/1.2 JPKI. 312/PAKEM/3/1976; Kejaksaan Agung RI dengan SK No. B. 924/D. 1/101980 tertanggal 29 Mei 1983; Kejari Selong No. Kep. II/IPK.32.2III.3/11/1983; Kejari Sidengreng Rampang No. Kep. 172/N. 3. 163/2/1986; Kejari Sungai PEnuh No. Kep. 01/J. 612/3/DKS.3/41989; Kejari Tarakan No. Kep II/M. 4. 12. 3/DKS. 3/12/1989; Surat Edaran BIMAS ISLAM DAN URUSAN HAJI No. D/B. A. 01/3099/1984 tertanggal 20 September 1984. lihat Hasil telaah Kasus Faham Ahmadiyah seri II; Puslitbang Kehidupan Beragama Badan LITBANG Depag RI 1986, hal. 42. lihat juga Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-ciri AJarannya, (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2006), hal. 197.
[27] Dawam Raharjo dalam pengantar Suryawan, hal. xviii
[28] HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abul Karim Amrullah), Peladjaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hal. 191
[29] Mirza Tahir Ahmad, Asma Ilahi, berbagai Aspek Makrifat dan Sifat-sifat Allah Ta'ala; Kumpulan Khutbah-khutbah, jilid I, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995), hal. 14. Selanjutnya dibaca: Mirza Tahir Ahmad.
[30] Mirza Tahir Ahmad, hal. 18
[31] Mirza Tahir Ahmad, hal. 19
[32] QS. Al-Rahman [55]: 29-30
[33] QS. Al-An'âm [6]: 101-104
[34] Mirza Tahir Ahmad, hal. 43
[35] QS. Al-Nahl [16]: 68-69
[36] QS. Al-An'âm [6]: 101-104
[37] QS. Al-Anfal [8]: 12
[38] QS. Al-Mâidah [5]: 11
[39] QS. Al-Anbiyâ' [21]: 74 & 164
[40] A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta: Rmbooks, 2006), hal. 60-66. Selanjutnya dibaca: Kurniawan, Teologi KA
[41] QS. Al-Furqân [25]: 53
[42] QS. Al-Baqarah [2]: 257 dan QS. Yunus [10]: 100
[43] QS. Al-Furqân [2]: 191
[44] QS. Al-Anfâl [8]: 62-63
[45] QS. Al-Hajj [22]: 40-41
[46] QS. Al-Hajj [22]: 41
[47] M. A Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, (Jakarta: Azzahra Publishing, 2005, hal. 73. selanjutnya dibaca: Suryawan, Hitam Putih.
[48] Abu Fuad Almaawi, Jihad Versus Penumpahan Darah Atas Nama Agama, (Bogor: CV Bintang Tsurayya, 1994), hlm. 27.
[49] Ibid. 75
[50] Ibid., hlm. 28-29
[51] Meskipun Inggris dan negeri-negeri Barat lainnya sering dsebut “Bangsa Kafir.
[52] Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad menjelaskan: “Ketika surat sampai kepada Raja Kristen Negus, beliau memperlihatkan rasa hormat dan takzim kepadanya. Diangkatnya surat itu setinggi mata, kemudian turunlah ia dari singgasananya dan meminta peti gading untuk menyimpan surat itu, seraya berkata, “Selama surat ini aman, kerajaanku akan aman pula.” Apa yang dikatakannya ternyata benar. 1000 tahun lamanya Lasykar Muslim bergerak dalam operasi penaklukan-penaklukan. Mereka menuju ke semua jurusan dan melewati perbatasan Abessinia, tetapi mereka tidak menyentuh kerajaan kecil Negus itu; itu semua atas penghargaannya kepada dua tindakan bersejarah, ialah, perlindungannya terhadap para pengungsi Islam di zaman permulaan dan penghormatan yang ia perlihatkan terhadap surat Rasulullah Saw.” Lihat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Rasulullah Saw, terj. Sukri Barmawi, (Bogor: Yayasan Wisma Damai, 1992), hlm. 149.
[53] Peristiwa hijrah-nya kaum muslimin ke negeri Abessinia adalah peristiwa hijrah yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah Islam.
[54] Dalam beberapa Hadits Shahih ditemukan keterangan bahwa Rasulullah Saw. juga melakukan shalat dan mendoakan Negus/Najasyi ketika mengetahui ia telah wafat.
[55] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1990), hlm. 105.
[56] Abu Fuad Almaawi, op. cit., hlm. 36.  
[57] Kurniawan, Teologi KA, hal. 66-74
[58] QS. Al-Baqarah [2]: 31-32
[59] QS. Shad [38]: 27
[60] QS. Al-A'raf [7]: 70 & 75
[61] QS. Al-A'raf [7]: 143
[62] QS. Al-Nûr [24]: 55
[63] HR. Ahmad dan Baihaqi
[64] Nanang Iskandar, hal. 12
[65] Nanang Iskandar, hal. 12-13
[66] Kurniawan, Teologi KA, hal. 74-81
[67] QS. Yasin [36]: 82
[68] Mirza Tahir Ahmad, hal. 43
[69] Uraian lebih detail mengenai hal ini baca Mirza Ghulam Ahmad, Al-Masih di Hindustan Terhindarnya Nabi Isa as. dari Kematian di Tiang Salib dan Perjalanannya ke Hindustan, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997). Abu al-Atta Jalandhri, Kematian di Atas Salib, (Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1998), Mahmud, hal. 1. 
[70] Luwice Ma'luf, Al-Munjid, (Beirut: Al-Mathba'ah al-Katulikiyah, 1925), hal. 258
[71] Alauddin al-Hindi, Kanzul Ummal, Jilid III, (Beirut: Muassasatur Risalah, 1989), hal. 110
[72] HR. Bukhari
[73] Muhammad Ali, hal. 15-16
[74] Muhammad Ali, hal. 16.
[75] Kurniawan, Teologi KA, hal. 81-86
[76] QS. Al-Ahzab [33]: 40
[77] Suryawan, Hitam Putih, hal 20
[78] Menurut keterangan Al-Qur'an, Nabi Isa as. (Yesus) dari Nazareth sudah mati/meninggal/wafat (5:118, 3:56, 5:76, 3:145), dan orang yang telah mati tidak dapat datang lagi ke dunia ini (23:101) dan hanya akan dibangkitkan di alam Akhirat. Jika Nabi Isa as. belum wafat dan masih hidup dengan jasad kasarnya entah di mana seperti yang dipercayai oleh kebanyakan kaum Muslimin (Orang Kristen juga percaya Yesus masih hidup dengan jasad kasarnya) sampai dengan hari ini dengan umurnya lebih dari 2000 tahun, lalu bagaimana ia makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimana beliau mendirikan shalat dan membayar zakat (19:32-33), dan zakatnya diberikan kepada siapa? Al-Qur'an telah menyangkal dengan tegas bahwa tidak ada seorang rasul pun (termasuk Nabi Isa a.s.) yang memiliki kekekalan (21:8-9), sebab tiap-tiap makhluk yang berjiwa akan mati (21:35-36). Selain keterangan Al-Qur’an, menurut Nabi Muhammad Saw, Nabi Isa as. telah wafat dalam usia sekitar 120 tahun. Diriwayatkan dari Siti Fatimah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam hidup selama 120 tahun" (H. R. Thabrani, Kanzul Ummal, 1989, jld. XI, hal. 479). Demikian pula dalam Hadits lainnya dapat ditemukan sabda Rasulullah Saw. mengenai telah meninggalnya Nabi Isa as. sebagai berikut: "Jika Musa dan Isa hidup, mereka harus mengikuti aku" (Alyawaqit Waljawaahir, Abdul Wahab Sya'rani, Al Haramain, Singapura, hal. 22, bab ke-32), dan bahkan keluarga (ahl-bayt) Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, yaitu Hz. Hassan r.a. (Cucunya Rasulullah Saw.) menuturkan mengenai telah meninggalnya Nabi Isa a.s., pada peristiwa wafatnya Hz. Ali r.a. sebagai berikut:
“Wahai sekalian manusia, malam ini telah wafat seorang yang sebagian amal perbuatannya tidak pernah dicapai orang-orang sebelumnya dan tidak pula akan dicapai oleh orang-orang yang akan datang kelak. Rasulullah s.a.w. mengutus beliau ke medan perang, maka Jibril menjaga di sebelah kanannya dan Mikail di sebelah kirinya…Beliau wafat pada malam ketika Isa ibnu Maryam pada malam yang sama ruhnya diangkat ke langit, yakni, pada malam tanggal dua puluh tujuh bulan Ramadhan” (Thabaqat Ibn Sa’ad, jilid III). Lihat Mahmud Ahmad Cheema, Tiga Masalah Penting, (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2001), hlm. 9-10. Selanjutnya dibaca: Mahmud, Tiga. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir, terj. Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani dan R. Ahmad Anwar, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1989), hlm. 25.  
[79] Masalah kewafatan Nabi Isa a.s. (Yesus) dalam Kristologi Islam merupakan masalah yang kompleks dan kontroversial. Beberapa golongan di dalam Islam bahkan tidak percaya kalau Nabi Isa a.s. pernah disalib, dan sebagai gantinya yang disalib oleh kaum Yahudi adalah orang yang menyerupai dan dianggap sebagai Nabi Isa a.s., sedangkan Nabi Isa a.s. sendiri diselamatkan dari sengsara dan kematian, kemudian diangkat ke langit oleh Tuhan. Konsep ini dikenal dengan nama teori substitusi (teori penggantian). Adanya teori subtitusi dan kenaikan Nabi Isa as. secara jasmani (dengan jasad kasarnya) ke langit/sorga tidaklah bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Sebaliknya, Al-Qur'an dan Hadits dengan jelas menerangkan bahwa Nabi Isa a.s. telah meninggal secara alamiah. Teori substitusi ini dibawa kepada Islam melalui konversinya para ahlul kitab (People of the Book) menjadi Islam yang sebelumnya menganut ajaran sekte Kristen Gnostik tertentu, dan belakangan dalam perkembangannya pengaruh ajaran Gnostik mengenai substitusi perlahan diadopsi dalam tafsir dan literatur Islam. Kepercayaan bahwa seseorang telah menggantikan Yesus di atas salib telah dikemukakan oleh banyak penafsir Qur’an berabad-abad yang lalu. Ada beberapa versi mengenai teori substitusi yang muncul dalam literatur Islam. Tabari dalam tafsirnya merujuk kepada Wahb (seorang Yahudi yang masuk Islam) meriwayatkan ketika kaum Yahudi mencari Yesus untuk disalibkan, Tuhan kemudian merubah penampilan 17 orang murid Yesus seperti diri Yesus. Kaum Yahudi mengancam untuk membunuh mereka semua, namun hanya seorang yang dieksekusi mati di atas salib, karena yang seorang itu dianggap sebagai Yesus. Tahap perkembangan selanjutnya dari teori substitusi menampilkan bahwa satu dari murid-murid Yesus dengan sukarela menawarkan dirinya untuk mati di atas salib demi menyelamatkan gurunya. Sangat dimungkinkan kisah seperti itu terbentuk untuk menghindari pertanyaan besar yang muncul mengenai gagasan substitusi, yaitu: Mengapa Tuhan memaksa seseorang yang tak berdosa untuk menderita dan mati demi menyelamatkan nyawa Nabi Isa a.s.? Juga Ibnu Ishaq senada dalam tafsirnya mengambil riwayat yang bersumber dari seorang Kristen tanpa nama yang masuk Islam, menyebutkan bahwa seseorang yang bernama Sergus telah menawarkan dirinya untuk menggantikan Nabi Isa a.s. bukanlah salah seorang di antara murid-murid Nabi Isa a.s. Versi lainnya menyebutkan bahwa terjadinya perubahan fisik seseorang yang menyerupai dan menggantikan Nabi Isa a.s. di atas salib merupakan suatu bentuk hukuman Tuhan atas pengkianatan dan kejahatan yang dilakukan orang itu kepada Nabi Isa as. Sebagai contoh diriwayatkan, bahwa para penentang Nabi Isa a.s. mengirim seseorang bernama Tityanus untuk membunuh Nabi Isa as., namun Tuhan menggagalkan rencana itu dengan mengangkat Nabi Isa a.s. kepada-Nya, dan sebagai hukumannya Tuhan hanya mengganti wajah Tityanus dengan wajah Nabi Isa a.s. sehingga masyarakat menjadi penuh keraguan (bingung) atas identitas orang yang mati terbunuh di atas salib. Lihat dalam foot notnya Kurniawan, Hitam Putih , hal. 24

[80] Malik Ghulam Farid, Al Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997). Selanjutnya disebut Malik Ghulam Farid.
[81] Jika dibaca ayat-ayat sebelumnya dalam Surah al-Ahzab ini, dapat diketahui bahwa diberikannya gelar khaataman-nabiyyiin kepada Nabi Muhammad Saw. adalah dalam konteks pembelaan Allah Ta’ala terhadap Rasulullah Saw. berkaitan dengan pernikahan beliau dengan Siti Zainab ra., seorang bekas menantu dan janda dari Zaid ibn Harits ra. (Zaid adalah anak angkat Nabi Saw.). Pada waktu itu orang-orang Arab mencerca habis-habisan karena beliau Saw. dianggap telah melanggar tradisi dengan menikahi bekas menantunya sendiri, dan para kritikus serta ulama yang punya pikiran kotor mengatakan bahwa Nabi Saw. telah memerintahkan menceraikan perkawinan Zaid dan Zainab karena secara diam-diam Nabi Saw. memang telah jatuh cinta kepada menantunya. Dengan adanya ayat tersebut, Allah Ta’ala menegaskan bahwa Rasul Allah ini adalah khaataman-nabiyyiin, yang mempunyai ahlak yang setinggi-tingginya di antara semua manusia dan para nabi, beliau adalah Nabi yang paling afdhal, paling mulia, paling sempurna, nabi yang khaatam dalam segala kebaikan sebagai manusia dan nabi Allah. Hz. Zaid ra. statusnya hanyalah sebagai anak angkat dan dipelihara oleh Nabi Saw. Dahulu ia adalah seorang budak belian yang telah dibebaskan, tetapi tidak mau pulang kembali kepada orang tuanya. Untuk meningkatkan derajat dari budak belian yang tadinya tidak merdeka, maka Hz. Sayyidina Rasulullah s.a.w. meminta Hz. Siti Zainab ra. (anak dari bibi Rasulullah Saw. yang seorang bangsawati Arab) agar mau menikah dengan Zaid. Pernikahan ini dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan dan pembagian kelas dalam masyarakat. Namun perkawinan dengan perbedaan bibit-bobot-bebet, tidak adanya persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid, dan mungkin juga cara hidup yang menyolok itu nampaknya atau terbukti menimbulkan beberapa masalah, sehingga perkawinannya menjadi tidak harmonis. Allah Ta’ala dalam ayat 33:41 ini telah menerangkan dengan amat jelas bahwa: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu” [artinya Nabi Muhammad Saw. bukanlah bapaknya Zaid, dan Nabi Saw. tidak mempunyai anak laki-laki, karena semua anak laki-lakinya telah meninggal pada masa kanak-kanak], akan tetapi beliau Saw. adalah Rasul Allah dan Khaataman-Nabiyyiin. Bagi Hz. Siti Zainab ra. yang telah menjadi janda karena bercerai dari Hz. Zaid ra., maka Hz. Rasulullah Saw. kembali ingin mengangkat derajat janda yang pernikahannya dahulu itu adalah atas dasar rekomendasi beliau Saw., dengan menjadikannya sebagai isteri Nabi, ummul mukminin. Dengan demikian, hikmah pernikahan Nabi Saw. dengan Hz. Zainab ra. - yang sebelumnya telah mendapat kecaman dan cacian dari para penentangnya - memiliki makna: (i) Menggugurkan tradisi larangan menikahi janda (bekas istri) anak angkat, dan (ii) mengangkat derajat janda bekas budak belian menjadi ummul mukminin (Ibu orang-orang beriman). Jadi, selain ayat 33:41 di atas tentang Khaataman-Nabiyyiin, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam. Lihat dalam catatan kaki Suryawan, Hitam Putih, hal. 28-29
[82] Malik Ghulam Farid
[83] Peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah Saw. wafat, Rasulullah Saw. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” (H. R. Ibnu Majah). Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau Saw. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat jelas bahwa Nabi Saw. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau Saw. tidak mengungkapkan pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.
[84] Pada masa jahiliyah, anak laki-laki merupakan kebanggaan dan penerus silsilah para raja, kepala suku atau kepala keluarga, sehingga anak perempuan tidak layak untuk dipelihara bahkan dibunuh dengan cara-cara biadab.
[85] Menurut data statistik populasi umat beragama untuk tahun 2000, populasi manusia di bumi adalah 19.6% beragama Islam. (Sumber: “Number of adherents of world religions,” http://www.religioustolerance.org/worldrel.htm.
[86] Nabi Muhammad Saw.
[87]Ma’a terjemahan yang dipakai di sini adalah termasuk, rujukan kata ini dapat dilihat dalam Surah an-Nisaa’ : 146-147 dan Surah Ali ‘Imran : 194
[88] Malik Ghulam Farid
[89] Suryawan, Hitam Putih, hal. 33
[90] Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pelita III/ Tahun IV/1982/1983, hlm. 130. Selanjutnya disebut Depag RI.
[91] Depag RI
[92] QS. Al-Nisâ' [4]: 146-147 dalam terjemahah Malik Ghulam Farid
[93] Malik Ghulam Farid
[94] Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuthi, Turunnya Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman, a. b. A.K. Hamdi, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), hal. 64-65.
[95] Malik Ghulam Farid
[96] Malik Ghulam Farid
[97]Malik Ghulam Farid

[98] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[99] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[100] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[101] Suryawan, Hitam Putih, hal. 41
[102] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[103] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[104] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[105] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[106] Suryawan, Hitam Putih, hal. 42
[107] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[108] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[109] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[110] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[111] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[112] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[113] Suryawan, Hitam Putih, hal. 43
[114] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[115] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[116] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[117] Suryawan, Hitam Putih, hal. 44
[118] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1998).
[119] Mahmud, Tiga Masalah. Hal. 27
[120] Suryawan, Hitam Putih, hal. 47
[121] Suryawan, Hitam Putih, hal. 47
[122] Suryawan, Hitam Putih, hal. 48
[123] Suryawan, Hitam Putih, hal. 49
[124] Suryawan, Hitam Putih, hal. 49
[125] Rasulullah Saw. bersabda: “Aku adalah nabi yang terakhir dan mesjidku adalah mesjid yang terakhir.” (H. R. Muslim).
[126] Hadits ini merupakan referensi satu-satunya untuk istilah aakhirul-anbiya’ (nabi terakhir), dan Hadits ini tidak pernah ditampilkan oleh para penentang Ahmadiyah di dalam tulisan-tulisan mereka untuk memperkuat konsep Muhammad Saw. sebagai nabi terakhir.
[127] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997), hlm. 9. Selanjutnya dibaca: Ahmad.
[128] Mahumud, Tiga Masalah, hal. 28
[129] Ahmad, hal. 8
[130] Ahmad, hal. 7
[131] Ahmad, hal. 8
[132] Ibrahim adalah putra Nabi Muhammad Saw. dari ummul mukminin Hz. Maria Qibtiyah r.a.
[133] Suryawan, Hitam Putih, hal. 54