Jaringan Islam Liberal[1] adalah
forum intelektual terbuka yang
mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia.
Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan
Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual
senior Goenawan Mohammad
Sejarah
Forum ini berawal dari komunitas
diskusi beberapa intelektual muda muslim di ISAI (Institut Sutid Arus
Informasi) yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah
jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang
menjadi forum mailing group via
internet yang beralamat islamliberal@yahoogroups.com. Pada tahun 2001, forum
ini mendapat bantuan yang sangat beasr dari jurnalis senior Goenawan Muhamad,
baik berupa sebidang tanah yang dijadikan sekretaria resmi, maupun berupa
pendanaan.
Secara ruhani dan substansi Islam liberal
ini telah digagas oleh Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Abdur Rahman Wahid dan mendiang Ahmad
Wahib, namun secara formal makhluk ini lahir sebagai bentuk evolusi dari
pemikiran-pemikiran era 90-an, tepatnya di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula
dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 Maret 2001. Pemrakarsanya,
sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina,
NU, IAIN Ciputat, dll, semisal Ulil Abshar Abdallah dari Lakpesdam NU dan ISAI
(Institut Studi Arus Informasi – KUK Kajian Utan Kayu) Jakarta, Budi Munawar
Rachman (Paramadina), Nasruddin Umar (Rahima), Rizal Malaranggeng (Freedom
Institute), Saiful Muzani (Ohio Unversity), Ihsan Ali Fauzi (Jerman), Deny JA
(Ohio University), Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi,
Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka, Goenawan Muhammad (Majalah Tempo
Jakarta).
Dan sejak Maret 2001 tersebut forum ini mulai aktif sebagai Jaringan
Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia
awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi
beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish
Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy
Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan
Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, dan
Hadimulyo.[2]
Latar belakang berdirinya, karena
kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis
dalam "Profile"[3] dinyatakan bahwa lahirnya
JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme,
fundamentalisme, Radikalisme dan Revivalisme; yaitu kelompok umat Islam yang
anti Barat dan masih memegang teguh ajaran dakwah dan jihad".
Meletakkan istilah “Liberal” terhadap
Islam adalah perang tendensius secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis.
Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu
terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang menjadi focus dalam Liberalisme
adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi
agama Nashrani (Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John
Locke), ekonomi (Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham,
John Stuart Mill dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama
(Liberal religius) mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai
pemegang otoritas final dalam menilai teks-teks sumber suci agama[vi].
Oleh karena itu Deni JA, kolumnis yang
juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita harus menempelkan kata
Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan bukan interpretasi Islam
yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang sesuai dengan dasar
Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju". Iajuga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang
mendukung atau paralel dengan civic
kultur (pro pluralisme, equal oportuniti, modernisasi, trust dan tolerance,
memiliki sence of community yang nasional)".
Luthfi juga menulis, "…kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya
kira jawabannya jelas: Liberating
(pembebasan) yaitu bebas dari otoritas masa silam dan Being Liberal (kebebasan)
yaitu bebas untuk menafsirkan dan mengkritisi otoritas tersebut".
Menurut Greg Barton, prinsip sentral
"Islam Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu komitmen pada
rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad,
penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta
pemisahan agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara".
Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas,
kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan sekularisme.
Pembahasan yang diusung oleh JIL-ISLIB
sebenarnya adalah tema-tema klasik dalam sejarah firqah-firqah Munharifah. Tetapi mereka menampilkannya
secara lebih vulgar dan berani. Tema itu seperti Islam dan Negara, Islam
dan Demokrasi, Kebebasan Perempuan, Pluralisme Agama, Toleransi Agama,
Kontekstualisasi Al-Qur'an, Rekonstruksi Hadits, Sunnah dan Syari’ah, dan
Pemisahan Agam dan Politik.
JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan
inklusivisme. Setelah Ulil Abshar-Abdalla dan Hamid Basyaib, saat ini
koordinator JIL adalah Luthfi Assyaukanie, seorang tokoh Islam liberal muda
alumni Yordania, ISTAC Malaysia, dan University of Melbourne, Australia. Di
awal masanya, JIL juga bekerja sama dengan The Asia Foundation sebuah
yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme,
liberalisme,
hingga kesetaraan gender. Saat
ini ada beberapa lembaga donor yang bekerja sama dengan JIL, di samping dana
sumbangan dari perorangan.
Untuk menularkan virus-virus pemikirannya
ini JIL memiliki jaringan di seluruh Nusantara dengan media Koran (Radar) Jawa
Pos setiap Minggu, Talk Show Radio 68 H yang disiarkan di seluruh jarigan Islam
liberal, Mailist ISLIB, diskusi-diskusi rutin di KUK – ISAI Jakarta. Selain itu
mereka juga menerbitkan buku-buku seperti buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002, yang disunting oleh Luthfi
Syaukanie), buku Kekerasan: Agama Tanpa
Agama (2002, Thomas Santoso, ed) yang diterbitkan oleh Pustaka Utan Kayu.
Akar liberalisme
Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling
berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok
orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal
(JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan
agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq
tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak
sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid’ah yang
ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18
dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada
digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan
gerakan pemurnian, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah
cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762),
menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan
kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad
Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya
lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873)
memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani
(Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata
pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam [Charless Kurzman:
xx-xxiii]
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18..) yang membujuk kaum
muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada
tahun 1877 ja membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh
(1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam
berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu
Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Pelopor Agung Rasionalisme [William Montgomery Waft: 132]
Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi
pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari
pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan
pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd.
Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak
memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu
diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang
dikehendaki oleh al-Qur’an hanyalah system demokrasi tidak yang lain.[Charless:
xxi,l8]
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di
Perancis, ia menggagas tafsir al-quran model baru yang didasarkan pada berbagai
disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda),
antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam
berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan
keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.[4]
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di
Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir
konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia
mengatakan al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral,
yang dituju oleh al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih
pantas untuk diterapkan.[Fazhul Rahman: 21; William M. Watt: 142-143]
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di
Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi,
Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid [Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal
dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88]
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun
l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan
menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham
kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama
akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap
manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” [Nurcholis Madjid : 239]
Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang menghasung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain
yang cocok dengan pikirannya.
Demikian sanad Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William
Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut
maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham mereka yang rasionalis
dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis La’natullah
‘alaih. (Ali Ibn Abi aI-’Izz: 395) karena itu JIL bisa diplesetkan dengan
“Jalan Iblis Laknat”. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara
berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak tokoh-tokoh gereja yang
melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesar’s and to the God what
the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang
menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Muhammad Imarah : 45) Karena itu ada yang
mengatakan: “Cak Nur Cuma meminjam pendekatan Kristen yang membidani lahirnya
peradaban barat” Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung
sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan keimanan Fir’aun
dan mengunggulkannya atas nabi Musa ‘alaihis salam [Muhammad Fahd Syaqfah:
229-230]
"Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah
nama harus diberikan padanya, marilah kita sebutkan 'Islam Liberal."
(Asaf 'Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981]).
Perkenalan istilah "Islam Liberal" di tanah air terbantu
oleh peredaran Islamci Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Blinder dan
Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman.
Terjemahn buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. versi
Indonesia buku Binder dicetak Pustka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan Greg Barton di Universitas
Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. namun, dari
ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar,
membuat peta, dan menyususun alat ukur Islam Liberal. Para aktivis Jaringan
Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang
lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf 'Ali Asghar Fyzee,
intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah
"Islam Liberal"dan "Islam Protestan" untuk untuk merujuk
kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang
compatible terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan,
bukan masa silam.
"Liberal" dalam istilah itu, menurut Luthfi Assaukanie,
ideology JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya
nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam
modern ynag kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam
Liberal" bukan hal baru. "Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19,
ketika gerakan kebangkitan dan pembaharuan Islam dimulai," tulis Luthfi.
Periode itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan "liberal
age" (1798-1939). "Liberal" di sana bermakna ganda. Satu sisi
berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dan kolonialisme yang saat itu
menguasai hapir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim
dari cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abdu (1849-1905) sebagai figure penting
gerakan liberal pada awal bad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer,
menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel,
Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan
(konservatif) dan kiri (liberal).
Ada dua kelompok yang dikategrikan "musuh" utama Islam
liberal. Pertama, konservatisme yan telah ada sejak gerakan liberalisme
Islam pertama kali muncul. Kedua,
fundamentaslime yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah
Negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.
Bila Luthfi mengembalikan semangan liberal pada abad ke-19,
aktivitas JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Ruukanny
adalah pada Umar bin Khattab. Dialah figure yang kerap melakukan terobosan
ijtihad. Umar beberap kali meninggalkan makna tekstual Al-Qur'an demi
kemaslahatan substansial. Munwair Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya
kepada Umar ketika memperjuangankan kesetaraan hak waris anak laki-laki dan
perempuan.
Umar menjadi inspirator berkembangnya madzhab rasional dalam bidang
fiqih yang dikenal sebagai madrasatu ra'yi. Dengan demikian, Sahal
menyimpulkan, Islam liberal memiliki geneologi yang kukuh dalam Islam.
Akhirnya, Islam Libeal adalah anak kandung yang sah dari Islam.
Liberalisasi Islam di
Indonesia
Pemikiran-pemikiran keagamaan yang liberal
ini sebelum berevolusi menjadi JIL agaknya menetas dan diternakkan dalam dua
inkubator, yaitu: Ciputat dan Sapen. Berikut ini sedikit informasi tentang dua
inkubator ini.
a. Inkubator Ciputat, Jakarta
Yang dimaksud dengan inkubator Ciputat ini
adalah IAIN Syarif Hidayatullah yang kini menjadi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
Embrio pemikir-pemikir liberal Ciputat
identik dengan HMI (KAHMI) yang dimotori oleh Nurkholish Madjid era 70-an, terus
berlanjut ke era 80-an, setelah bergelar Doktor dari Chicago bersama inkubator
Paramadina yang didirikannya tahun 1986, selain di program Pasca Sarjana IAIN
Syahid.
Embrio-embrio yang lain pada era 80-an
hingga 90-an bergabung dalam wadah diskusi yang bernama FORMACI (Forum
Mahasiswa Ciputat). Tokoh-tokoh FORMACI antara lain: Budi Munawar Rachman,
Saiful Muzani, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Sahal, Fachri Ali, dan sebagainya.
Sementara yang menjadi grand master dari pemuda-pemuda yang
liberal ini adalah Rektor IAIN sendiri yaitu Prof. Harun Nasution,
Mu’tazilahnya Indonesia, kader terkemuka Mc. Gill University, Canada[iv]. Dan yang menjadi Founding Fathers-nya adalah Prof. Munawir Sadjzali, mantan Menteri
Agama RI era Soeharto, yang berperan dalam melakukan pertukaran dosen dan
pengiriman Mahasiswa/Dosen IAIN ke negara-negara barat, khususnya ke Mc. Gill
University di Canada. Pada masanya saja (1983-1993) lebih dari 200 dosen
belajar Islam ke Barat.
Selanjutnya pada tahun-tahun 90-an,
doctor-doktor baru pulang dari Amerika, EROPA dan sedikit dari Timur Tengah
seperti Azumardi Azra (sekarang Rektor UIN), Komaruddin Hidayat (Yayasan
Paramadina), Kautsar Azhari Noer (Paramadina), Bachtiar Effendy (PP
Muhammadiyah), Sa’id Aqil al-Munawwar (Menag), Said Aqiel Siradj (PBNU), dll.
Orang-orang baru ini semakin menguatkan barisan Ciputat.
b. Inkubator Sapen, Yogyakarta
Tepatnya inkubator ini terletak di desa
Sapen di komplek IAIN SUKA (Sunan Kalijaga) dengan Rektornya Prof. Mukhti Ali
yang pernah menjadi Menteri Agama. Mukhti Ali merupakan seorang tokoh pendiri
gerakan antar agama di Indonesia, dengan mendirikan jurusan perbandingan agama
dalam Fakultas Ushuluddin IAIN. Mukhti Ali juga memiliki kelompok diskusi yang
dikenal dengan Limited Groups Discussion, yang beranggotakan: Djohan Effendy,
Masdar F. Mas’udi, Ahmad Wahib, M. Dawam Raharjo, M. Amien Rais, Kuntowijoyo,
Syafi’i Ma’arif, dll.
Setelah itu alumni Limited Groups ini
aktif di LSM-LSM di Jakarta, Masdar di LP3M dan kini menggantikan posisi Hasyim
Muzadi di PBNU, Dawam pernah di LP3ES, LESFI dan pernah menjadi Rektor UNISMA
Bekasi, sementara Djohan pernah di Litbang Depag, penah menjadi Mensesneg era
Gus Dur dan sekarang menjadi Ketua di Indonesian Conference Religion and Peace
(ICRP) (Dia anggota aliran sesat Ahmadiyyah), sementara Syafi’i kini menjadi
Ketua Umum PP Muhammadiyyah dan Pendiri Ma’arif Institute yang menjadi
inkubator bagi virus JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah).
Sejak 2002 inkubator Sapen dipimpin oleh
Prof. Amin Abdullah (Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyyah) dan didukung oleh
Abdul Munir Mulkhan (Ketua Program Studi Agama dan Filsafat PPs IAIN,
Sosiolog), Musa Asy’arie (Derektur PPs IAIN SUKA), dll.
Misi
Misi Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya : rnenghancurkan)
gerakan Islam fundamentalis. mereka menulis: “sudah tentu, jika tidak ada
upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu,
boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan
yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan
mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab
pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar
kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen.
Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah
salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”
Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan firqah
liberal adalah orang yang memiliki lima cirri-ciri,yaitu.
[1]. Mereka
yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat
[2]. Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu
[2]. Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu
[3]. Mereka
yang bertujuan menerapkan syariat Islam
[4]. Mereka
yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara
[5]. Mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.
[5]. Mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.
Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard
Nixon [Muhammad Imarah : 75]
Dan, seperti yang disebut dalam websitenya, misi JIL adalah: Pertama,
mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang
kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang
dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang
dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya
struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Agenda dan Gagasan Islam Liberal
Dalam tulisan berjudul “Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi
Asy-Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas
Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal.
Pertama : Agenda politik. Menurutnya
urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer
(demokrasi) sama saja.
Kedua : Mengangkat kehidupan antara
agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin
majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam.
Ketiga : Emansipasi wanita dan
Keempat : Kebebasan berpendapat (secara
mutlak).
Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah.
[1]. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad
[1]. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad
[2].
Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
[3]. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama
[4]. Permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara[5]
[4]. Permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara[5]
Landasan Liberalisme
Nama "Islam Liberal" menggambarkan prinsip yang mereka
anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari
struktur sosial-politik yang menindas. JIL percaya, Islam selalu dilekati kata
sifat, sebab kenyataannya Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan penafsirannya. JIL memilih satu jenis tafsir –degnan demikian juga
memilih satu kata sifat –yaitu "Liberal." Untuk mewujudkan Islam
Liberal, JIL membentuk "Jaringan Islam Liberal." Dan sekaligus sebagai pintu gerbang
penafsiran JIL untuk memahami teologi Islam liberal secara detail dan adil
perlu kiranya kita mengetahui 6 prinsip atau wawasan yang mereka muat dalam
situs mereka Islamlib.com yang diambil pada 7 Oktober 2002, yaitu sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas
teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa
bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau
secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan
demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad
bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat
(ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang
berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam
penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah
kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab
setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah
cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus
berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada
kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik
yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan
dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas,
mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama
adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak
membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau
kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan
politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus
dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal
yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah
negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi
yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci
untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat,
dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
JIl yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. JIL
menentang Negara gama (teokrasi). JIL yakin, bentuk negra yang sehat bagi
kehidupan agama dan politik adalah Negara yang sehat bagi kehidupan agama dan
politik adalah negera yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalh
sumber inspirasi yan dpat memengaruhi kebijkan public, tetapi agama tidak punya
hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang
privat, dan uruan public harus diselenggarakan melaui proses konsensus.
Teologi
JIL
Dari enam uraian di atas itulah JIL
mengambil perumpamaan Al-Qur'an dengan menyatakan bahwa keimanan itu bagaikan
akar yang menghujam ke dalam jantung bumi.[6] Sementara
dahan-dahan, ranting-ranting, dan bahkan buah-buhaa yang menghasilkan
merefleksikan sehat-tidaknya akar keimanan. Karena itu, bagi sebagian besar
ulama, iman itu tidak cukup dengan pengakuan dengan hati (tashdiq bi al-qalb)
dan penegasan dengan lisan (iqrar bi al-lisan), tetapi juga memerlukan
pengamalan dengan anggota badan (al-'amal bi al-jawarih).pengamalan
dengan anggota badan in merupakn pengejawanthan dari keiman. Dalam kontes ini,
bisa dipahami bahwa teologi memerlukan pijakan yang menggambarkan keutuhan
dimensi-dimensi keberagaman manusia. Teologi yang inklusif dan pluralis
pastilah lahir dari teologi dan paham keiman yang pluralis pula.
Setiap kaum mempunyai Nabi, yaitu penuntun jalan menuju kebenaran dan
tidak ada satu uamt pun kecuali telah pernah datang kepadanya seorang Nabi
pemberi peringatan.
"Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu." Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul)."[7]
Ayat di atas, dan yat-ayat lain dalam
isu yang sama menegaskan bahw pada seitap umat atau golongan ada seorang nabi.
Par Nabi itu diutus dengan bahsa kaumnya masing-masing, namun semuanya dengan
tujuan yan sama yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran
dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang maha Esa dan kewajiban menghambakan
diri anya kepada-Nya. Selain ajaran pokok keiman terhadap Tuhan Yang Maha Esa
itu, para Rasul juga menyeru perlawnan kepada taghut, yakni kekuatan
jahat dan dzalim. Kaum beriman harus percaya kepada seluruh Nabi dan Rasul
tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri.
"Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada
Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami
tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh
kepada-Nya."[8]
Menurut JIL, din inti semua
agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia, Alalh
menetapkan syir'ah/jalan dan manhaj/cara yang berbeda-beda, sebab
Alalh tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sam semua dalam segala hal.
Alalh menghendaki agar merek saling berlomba-lomba menuju kepada bebagai
kebaikan. Seluruh uamt manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang
akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusai itu.
"Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,[9]
Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa
untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau manasik
mereka yang harus mereka laksanakan:
"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan
(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah
direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena
itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)."[10]
Berkaitan dengan ini keterangan
slam Al-Qur'an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah/titik
orientasi yang dialambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Mekkah
dengan masjid al-Haram dan Ka'bah untuk kaum muslim. Umat manusia tidak perlu
mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu dan yang
terpenting ialah semuanya berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Di
mana pun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua menjadi satu (jami'ah).
Penjelasan tersebut menegaskan
prinsip-prinsip antaragama yang dapat diturunkan dari Al-Qur'an yang menegaskn
adanya pluralitas agama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan pluraliras itu dalam
berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta
perlakuan yang sama.
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[11]
Itulah titik pusat ajaran
pluralitas dalam Al-Qur'an yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat
unik Karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agam lain.
Sekaligus dianggap sebagai ajaran yang menyesatkan karena semangatnya yang
serba menyamakan ajaran agama Islam dengan ajaran agama lainnya.
[1] Liberalisme adalah sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi
politik yang didasrkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang
utama. Secara umum, liberalisme mengusahakan suatu masyarakat yang dicirikan
oleh kebebesan berpkiri para individu, pembatasan kekuasaan, khususnya dari
pemerintah dan agma, penegakan hokum, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi
pasar yang mendudukung usaha pribadi (private enterprise) yang relative bebas,
dan suatu system pemerintahan yang transparan, yang di adlamnya hak-hak minoritas
dijamin. Dalam masyarkat modern, kaum liberal lebh menyukai demokrasi liberal
dengan pemilihan yang terbuka dan adil, di maana smua warga Negara mempunyai
hak yang seserajat oleh hokum dan mempunyai kesempatan yang sama untuk
berhasil.
[4]
Mu’adz, Muhammad Arkoun
Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur’an, Jurnal Salam vol.3 No. 1/2000
hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143.
[5]
Lihat Greg Bertan, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina, 1999)
[6] Seluruh infromasi menegnai landasan teologis pluralis keiman JIL ini
penulis nukil dari buku Blueprint kaum JIL dengan judul Lintas Agama
(ed). Mun'im A. Sirry, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 17-21.
The Poker Room - JTG Hub
BalasHapusPoker 공주 출장샵 Room. 549.8K Ratings. 9.8K Ratings. 김천 출장샵 4.7K 의왕 출장샵 Ratings. 3.3K Ratings. 5.9K 의정부 출장안마 Ratings. 1.8K Ratings. 포항 출장안마 6.1K Ratings.