Kamis, 26 April 2012

JIL (Jaringan Islam Liberal)



Jaringan Islam Liberal[1] adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad

Sejarah
Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim di ISAI (Institut Sutid Arus Informasi) yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing group via internet yang beralamat islamliberal@yahoogroups.com. Pada tahun 2001, forum ini mendapat bantuan yang sangat beasr dari jurnalis senior Goenawan Muhamad, baik berupa sebidang tanah yang dijadikan sekretaria resmi, maupun berupa pendanaan.
Secara ruhani dan substansi Islam liberal ini telah digagas oleh Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Abdur Rahman Wahid dan mendiang Ahmad Wahib, namun secara formal makhluk ini lahir sebagai bentuk evolusi dari pemikiran-pemikiran era 90-an, tepatnya di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 Maret 2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, IAIN Ciputat, dll, semisal Ulil Abshar Abdallah dari Lakpesdam NU dan ISAI (Institut Studi Arus Informasi – KUK Kajian Utan Kayu) Jakarta, Budi Munawar Rachman (Paramadina), Nasruddin Umar (Rahima), Rizal Malaranggeng (Freedom Institute), Saiful Muzani (Ohio Unversity), Ihsan Ali Fauzi (Jerman), Deny JA (Ohio University), Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka, Goenawan Muhammad (Majalah Tempo Jakarta).
Dan sejak Maret 2001 tersebut forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, dan Hadimulyo.[2]
Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile"[3] dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme, Radikalisme dan Revivalisme; yaitu kelompok umat Islam yang anti Barat dan masih memegang teguh ajaran dakwah dan jihad".
Meletakkan istilah “Liberal” terhadap Islam adalah perang tendensius secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang menjadi focus dalam Liberalisme adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani (Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi (Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius) mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas final dalam menilai teks-teks sumber suci agama[vi].
Oleh karena itu Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju". Iajuga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal oportuniti, modernisasi, trust dan tolerance, memiliki sence of community yang nasional)".
Luthfi juga menulis, "…kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya kira jawabannya jelas: Liberating (pembebasan) yaitu bebas dari otoritas masa silam dan Being Liberal (kebebasan) yaitu bebas untuk menafsirkan dan mengkritisi otoritas tersebut".
Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan sekularisme.
Pembahasan yang diusung oleh JIL-ISLIB sebenarnya adalah tema-tema klasik dalam sejarah firqah-firqah Munharifah. Tetapi mereka menampilkannya secara lebih vulgar dan berani. Tema itu seperti Islam dan Negara, Islam dan Demokrasi, Kebebasan Perempuan, Pluralisme Agama, Toleransi Agama, Kontekstualisasi Al-Qur'an, Rekonstruksi Hadits, Sunnah dan Syari’ah, dan Pemisahan Agam dan Politik.
JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan inklusivisme. Setelah Ulil Abshar-Abdalla dan Hamid Basyaib, saat ini koordinator JIL adalah Luthfi Assyaukanie, seorang tokoh Islam liberal muda alumni Yordania, ISTAC Malaysia, dan University of Melbourne, Australia. Di awal masanya, JIL juga bekerja sama dengan The Asia Foundation sebuah yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme, liberalisme, hingga kesetaraan gender. Saat ini ada beberapa lembaga donor yang bekerja sama dengan JIL, di samping dana sumbangan dari perorangan.
Untuk menularkan virus-virus pemikirannya ini JIL memiliki jaringan di seluruh Nusantara dengan media Koran (Radar) Jawa Pos setiap Minggu, Talk Show Radio 68 H yang disiarkan di seluruh jarigan Islam liberal, Mailist ISLIB, diskusi-diskusi rutin di KUK – ISAI Jakarta. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku seperti buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002, yang disunting oleh Luthfi Syaukanie), buku Kekerasan: Agama Tanpa Agama (2002, Thomas Santoso, ed) yang diterbitkan oleh Pustaka Utan Kayu.



Akar liberalisme
Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam [Charless Kurzman: xx-xxiii]
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18..) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ja membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Pelopor Agung Rasionalisme [William Montgomery Waft: 132]
Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh al-Qur’an hanyalah system demokrasi tidak yang lain.[Charless: xxi,l8]
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-quran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam.[4]
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.[Fazhul Rahman: 21; William M. Watt: 142-143]
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid [Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88]
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” [Nurcholis Madjid : 239]
Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menghasung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya.
Demikian sanad Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham mereka yang rasionalis dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis La’natullah ‘alaih. (Ali Ibn Abi aI-’Izz: 395) karena itu JIL bisa diplesetkan dengan “Jalan Iblis Laknat”. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak tokoh-tokoh gereja yang melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesar’s and to the God what the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Muhammad Imarah : 45) Karena itu ada yang mengatakan: “Cak Nur Cuma meminjam pendekatan Kristen yang membidani lahirnya peradaban barat” Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan keimanan Fir’aun dan mengunggulkannya atas nabi Musa ‘alaihis salam [Muhammad Fahd Syaqfah: 229-230]
"Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebutkan 'Islam Liberal." (Asaf  'Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981]).
Perkenalan istilah "Islam Liberal" di tanah air terbantu oleh peredaran Islamci Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Blinder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahn buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. versi Indonesia buku Binder dicetak Pustka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan Greg Barton di Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta, dan menyususun alat ukur Islam Liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf 'Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah "Islam Liberal"dan "Islam Protestan" untuk untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang compatible terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.
"Liberal" dalam istilah itu, menurut Luthfi Assaukanie, ideology JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern ynag kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam Liberal" bukan hal baru. "Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaharuan Islam dimulai," tulis Luthfi.
Periode itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan "liberal age" (1798-1939). "Liberal" di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dan kolonialisme yang saat itu menguasai hapir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagaman yang menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abdu (1849-1905) sebagai figure penting gerakan liberal pada awal bad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
Ada dua kelompok yang dikategrikan "musuh" utama Islam liberal. Pertama, konservatisme yan telah ada sejak gerakan liberalisme Islam  pertama kali muncul. Kedua, fundamentaslime yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah Negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.
Bila Luthfi mengembalikan semangan liberal pada abad ke-19, aktivitas JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Ruukanny adalah pada Umar bin Khattab. Dialah figure yang kerap melakukan terobosan ijtihad. Umar beberap kali meninggalkan makna tekstual Al-Qur'an demi kemaslahatan substansial. Munwair Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya kepada Umar ketika memperjuangankan kesetaraan hak waris anak laki-laki dan perempuan.
Umar menjadi inspirator berkembangnya madzhab rasional dalam bidang fiqih yang dikenal sebagai madrasatu ra'yi. Dengan demikian, Sahal menyimpulkan, Islam liberal memiliki geneologi yang kukuh dalam Islam. Akhirnya, Islam Libeal adalah anak kandung yang sah dari Islam.

Liberalisasi Islam di Indonesia
Pemikiran-pemikiran keagamaan yang liberal ini sebelum berevolusi menjadi JIL agaknya menetas dan diternakkan dalam dua inkubator, yaitu: Ciputat dan Sapen. Berikut ini sedikit informasi tentang dua inkubator ini.

a. Inkubator Ciputat, Jakarta
Yang dimaksud dengan inkubator Ciputat ini adalah IAIN Syarif Hidayatullah yang kini menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Embrio pemikir-pemikir liberal Ciputat identik dengan HMI (KAHMI) yang dimotori oleh Nurkholish Madjid era 70-an, terus berlanjut ke era 80-an, setelah bergelar Doktor dari Chicago bersama inkubator Paramadina yang didirikannya tahun 1986, selain di program Pasca Sarjana IAIN Syahid.
Embrio-embrio yang lain pada era 80-an hingga 90-an bergabung dalam wadah diskusi yang bernama FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat). Tokoh-tokoh FORMACI antara lain: Budi Munawar Rachman, Saiful Muzani, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Sahal, Fachri Ali, dan sebagainya.
Sementara yang menjadi grand master dari pemuda-pemuda yang liberal ini adalah Rektor IAIN sendiri yaitu Prof. Harun Nasution, Mu’tazilahnya Indonesia, kader terkemuka Mc. Gill University, Canada[iv]. Dan yang menjadi Founding Fathers-nya adalah Prof. Munawir Sadjzali, mantan Menteri Agama RI era Soeharto, yang berperan dalam melakukan pertukaran dosen dan pengiriman Mahasiswa/Dosen IAIN ke negara-negara barat, khususnya ke Mc. Gill University di Canada. Pada masanya saja (1983-1993) lebih dari 200 dosen belajar Islam ke Barat.
Selanjutnya pada tahun-tahun 90-an, doctor-doktor baru pulang dari Amerika, EROPA dan sedikit dari Timur Tengah seperti Azumardi Azra (sekarang Rektor UIN), Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina), Kautsar Azhari Noer (Paramadina), Bachtiar Effendy (PP Muhammadiyah), Sa’id Aqil al-Munawwar (Menag), Said Aqiel Siradj (PBNU), dll. Orang-orang baru ini semakin menguatkan barisan Ciputat.

b. Inkubator Sapen, Yogyakarta
Tepatnya inkubator ini terletak di desa Sapen di komplek IAIN SUKA (Sunan Kalijaga) dengan Rektornya Prof. Mukhti Ali yang pernah menjadi Menteri Agama. Mukhti Ali merupakan seorang tokoh pendiri gerakan antar agama di Indonesia, dengan mendirikan jurusan perbandingan agama dalam Fakultas Ushuluddin IAIN. Mukhti Ali juga memiliki kelompok diskusi yang dikenal dengan Limited Groups Discussion, yang beranggotakan: Djohan Effendy, Masdar F. Mas’udi, Ahmad Wahib, M. Dawam Raharjo, M. Amien Rais, Kuntowijoyo, Syafi’i Ma’arif, dll.
Setelah itu alumni Limited Groups ini aktif di LSM-LSM di Jakarta, Masdar di LP3M dan kini menggantikan posisi Hasyim Muzadi di PBNU, Dawam pernah di LP3ES, LESFI dan pernah menjadi Rektor UNISMA Bekasi, sementara Djohan pernah di Litbang Depag, penah menjadi Mensesneg era Gus Dur dan sekarang menjadi Ketua di Indonesian Conference Religion and Peace (ICRP) (Dia anggota aliran sesat Ahmadiyyah), sementara Syafi’i kini menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyyah dan Pendiri Ma’arif Institute yang menjadi inkubator bagi virus JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah).
Sejak 2002 inkubator Sapen dipimpin oleh Prof. Amin Abdullah (Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyyah) dan didukung oleh Abdul Munir Mulkhan (Ketua Program Studi Agama dan Filsafat PPs IAIN, Sosiolog), Musa Asy’arie (Derektur PPs IAIN SUKA), dll.

Misi
Misi Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya : rnenghancurkan) gerakan Islam fundamentalis. mereka menulis: “sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”
Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan firqah liberal adalah orang yang memiliki lima cirri-ciri,yaitu.
[1]. Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat
[2]. Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu
[3]. Mereka yang bertujuan menerapkan syariat Islam
[4]. Mereka yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara
[5]. Mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.
Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon [Muhammad Imarah : 75]
Dan, seperti yang disebut dalam websitenya, misi JIL adalah: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Agenda dan Gagasan Islam Liberal
Dalam tulisan berjudul “Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi Asy-Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal.
Pertama : Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) sama saja.
Kedua : Mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam.
Ketiga : Emansipasi wanita dan
Keempat : Kebebasan berpendapat (secara mutlak).
Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah.
[1]. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad
[2]. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
[3]. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
[4]. Permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara[5]

Landasan Liberalisme
Nama "Islam Liberal" menggambarkan prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. JIL percaya, Islam selalu dilekati kata sifat, sebab kenyataannya Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya. JIL memilih satu jenis tafsir –degnan demikian juga memilih satu kata sifat –yaitu "Liberal." Untuk mewujudkan Islam Liberal, JIL membentuk "Jaringan Islam Liberal." Dan sekaligus sebagai pintu gerbang penafsiran JIL untuk memahami teologi Islam liberal secara detail dan adil perlu kiranya kita mengetahui 6 prinsip atau wawasan yang mereka muat dalam situs mereka Islamlib.com yang diambil pada 7 Oktober 2002, yaitu sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
JIl yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. JIL menentang Negara gama (teokrasi). JIL yakin, bentuk negra yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah Negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negera yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalh sumber inspirasi yan dpat memengaruhi kebijkan public, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan uruan public harus diselenggarakan melaui proses konsensus.

Teologi JIL
Dari enam uraian di atas itulah JIL mengambil perumpamaan Al-Qur'an dengan menyatakan bahwa keimanan itu bagaikan akar yang menghujam ke dalam jantung bumi.[6] Sementara dahan-dahan, ranting-ranting, dan bahkan buah-buhaa yang menghasilkan merefleksikan sehat-tidaknya akar keimanan. Karena itu, bagi sebagian besar ulama, iman itu tidak cukup dengan pengakuan dengan hati (tashdiq bi al-qalb) dan penegasan dengan lisan (iqrar bi al-lisan), tetapi juga memerlukan pengamalan dengan anggota badan (al-'amal bi al-jawarih).pengamalan dengan anggota badan in merupakn pengejawanthan dari keiman. Dalam kontes ini, bisa dipahami bahwa teologi memerlukan pijakan yang menggambarkan keutuhan dimensi-dimensi keberagaman manusia. Teologi yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keiman yang pluralis pula.
Setiap kaum mempunyai Nabi, yaitu penuntun jalan menuju kebenaran dan tidak ada satu uamt pun kecuali telah pernah datang kepadanya seorang Nabi pemberi peringatan.

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul)."[7]

Ayat di atas, dan yat-ayat lain dalam isu yang sama menegaskan bahw pada seitap umat atau golongan ada seorang nabi. Par Nabi itu diutus dengan bahsa kaumnya masing-masing, namun semuanya dengan tujuan yan sama yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang maha Esa dan kewajiban menghambakan diri anya kepada-Nya. Selain ajaran pokok keiman terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu, para Rasul juga menyeru perlawnan kepada taghut, yakni kekuatan jahat dan dzalim. Kaum beriman harus percaya kepada seluruh Nabi dan Rasul tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri.

"Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya."[8]

Menurut JIL, din inti semua agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia, Alalh menetapkan syir'ah/jalan dan manhaj/cara yang berbeda-beda, sebab Alalh tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sam semua dalam segala hal. Alalh menghendaki agar merek saling berlomba-lomba menuju kepada bebagai kebaikan. Seluruh uamt manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusai itu.

"Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,[9]

Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau manasik mereka yang harus mereka laksanakan:

"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)."[10]

Berkaitan dengan ini keterangan slam Al-Qur'an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah/titik orientasi yang dialambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Mekkah dengan masjid al-Haram dan Ka'bah untuk kaum muslim. Umat manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu dan yang terpenting ialah semuanya berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Di mana pun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua menjadi satu (jami'ah).
Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip antaragama yang dapat diturunkan dari Al-Qur'an yang menegaskn adanya pluralitas agama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan pluraliras itu dalam berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[11]

Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam Al-Qur'an yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik Karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agam lain. Sekaligus dianggap sebagai ajaran yang menyesatkan karena semangatnya yang serba menyamakan ajaran agama Islam dengan ajaran agama lainnya.






[1] Liberalisme adalah sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasrkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mengusahakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh kebebesan berpkiri para individu, pembatasan kekuasaan, khususnya dari pemerintah dan agma, penegakan hokum, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendudukung usaha pribadi (private enterprise) yang relative bebas, dan suatu system pemerintahan yang transparan, yang di adlamnya hak-hak minoritas dijamin. Dalam masyarkat modern, kaum liberal lebh menyukai demokrasi liberal dengan pemilihan yang terbuka dan adil, di maana smua warga Negara mempunyai hak yang seserajat oleh hokum dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil.
[2]  Informasi mengenai JIL lihat di situs JIL dengan alamat islamliberal@yahoogroups.com
[4] Mu’adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur’an, Jurnal Salam vol.3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143.

[5] Lihat Greg Bertan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina, 1999)

[6] Seluruh infromasi menegnai landasan teologis pluralis keiman JIL ini penulis nukil dari buku Blueprint kaum JIL dengan judul Lintas Agama (ed). Mun'im A. Sirry, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 17-21.
[7] QS. Al-Nahl [16]: 36
[8] QS. Al-Baqarah [2]: 136
[9] QS. Al-Maidah [5]: 48
[10] QS. Al-Hajj [22]: 34
[11] QS. Al-Baqarah [2]: 148

1 komentar:

  1. The Poker Room - JTG Hub
    Poker 공주 출장샵 Room. 549.8K Ratings. 9.8K Ratings. 김천 출장샵 4.7K 의왕 출장샵 Ratings. 3.3K Ratings. 5.9K 의정부 출장안마 Ratings. 1.8K Ratings. 포항 출장안마 6.1K Ratings.

    BalasHapus